Share

4 : Operasi Pencarian

Pagi Hari Bik Sum sudah menunggu di bibir pantai, para nelayan sudah menyandarkan kapalnya kecuali satu kapal milik Ardi. Bik Sum mulai berdiri penuh kecemasan, saat matahari mulai meninggi sementara bendera kapal anaknya saja tak terlihat sedikit pun mendekat ke arah pantai. 

“Masih belum sandar kapal Ardi Bik?” tanya Parto, tetangga Bik Sum yang juga seorang nelayan. Ia sudah pulang dari melaut sejak subuh tadi, kini ia heran tak biasanya Ardi pulang terlambat bahkan hingga siang hari. 

“Belum, ada apa ya? Semoga ia baik-baik saja,” kata wanita tua itu penuh harap. 

“Apa semalam kamu tidak menjaring di dekat kapalnya?” tanya Bik Sum lebih lanjut. 

“Aku sempat berada di sekitar kapalnya, tapi hanya sampai jam 11 malam, aku dan teman-teman lalu menuju ke tempat lain karena di sana kami tak mendapat ikan satu pun.”

“Lalu apa Ardi tidak ikut pindah?” 

“Terakhir kali sebelum aku pergi kapalnya masih berdiam diri di sana.”

Bik Sum tidak ada pilihan lain selain menunggu di bibir pantai, tempat Ardi bekerja bukan daratan di mana ia bisa datang sambil berjalan dan mencari ke tempat kerjanya. Di depan matanya hanya ada samudera luas, seorang manusia hanya titik kecil di atasnya. 

Pardi sendiri merasa heran, kemarin malam bahkan tidak ada badai tapi kenapa Ardi begitu terlambat pulang. 

‘Ah mungkin dia ketiduran dan terlambat bangun!’ Pardi mencoba menepis semua pikiran negatif yang terus berdatangan. 

Bik Sum masih berdiri di tepi pantai  hingga sore menjelang, ia tidak beranjak bahkan untuk makan. Beberapa orang yang merasa prihatin mulai berinisiatif untuk memanggil Lek Harso Sang Juri kunci lautan. 

Lelaki yang usianya tak jauh berbeda dengan Bik Sum itu berjalan menghampiri teman masa kecilnya dulu. Jarik wanita tua itu terkibas-kibas oleh angin laut, rambut putihnya yang keluar dari gulungan rambutnya juga menjuntai ke segelah arah terkena embusan angin. 

“Pulanglah, ia sudah tidak akan kembali!” kata Lek Harso pada Bik Sum, tatapan wanita tua dengan bercak putih katarak di bola hitamnya itu melebar ke arah Lek Harso. Meski teman masa kecil, selama ini Bik Sum selalu menghormatinya sebagai orang yang dituakan sejak ia menjadi juru kunci sepeninggal ayahnya. Tapi kini hatinya begitu panas ketika lelaki itu mengatakan bahwa putranya tak akan kembali. 

“Pergi saja kamu jika hanya akan memperkeruh suasana!” usir wanita tua itu. 

“Dia sudah menjadi pengantin Ratu Segara, kamu bahkan sudah menerima maharnya,” terang Lek Harso. 

Bik Sum semakin mendidih, jemarinya yang keriput mengepal ingin menghantamkan pukulan keras ke wajah pria di depannya, tapi ia begitu lemas. Seharian ia tidak makan dan kabar bawah putranya tak akan kembali lagi membuat kekuatan di tubuhnya menguap.

Banyak orang yang mulai bergidik setelah mencuri dengar pembicaraan dua orang tua di bibir pantai itu. Orang-orang memang sedang berkumpul untuk mencari jalan keluar setelah Ardi tak juga pulang seharian ini. 

“Hai kalian semua!” pekik Bik Sum 

“Akan kuberikan mobil bak baru anakku bagi siapa saja yang bisa membawa kembali pulang anakku!” 

Wanita tua itu hilang akal, ia harus menemukan putranya, dan itu berarti ia harus menggerakkan orang-orang untuk memulai operasi pencarian. Tapi ia sadar tanpa imbalan mereka hanya akan tetap diam, karena bagi mereka kata-kata Lek Harso adalah kepercayaan. Lelaki tua itu mereka percayai sebagai penghubung antara daratan dan penguasa samudera. Jika ia bilang tak akan kembali, maka orang itu tak akan pernah kembali. Itu selalu berlaku bagi siapa saja yang pernah tenggelam di laut ini. 

“Dia gila! Sudah jelas anaknya di incar Ratu Segara sejak lama, itu sebabnya selama sebulan ini mereka di hujani oleh uang!” kata Bu Warni

Para ibu-ibu di sebelah wanita itu saling mengangguk seolah mengamini perkataan Bu Warni. 

“Apakah jika hadiah itu juga termasuk jika kami menemukan jasadnya?” tiba-tiba seorang pria yang juga preman di pulau ini mengajukan pertanyaan yang membuat Bik Sum seperti di hantam batu besar. Ia menelan ludah untuk menenangkan jiwanya. 

“Iya, termasuk itu!” dengan bergetar ia mengatakan hal yang sebenarnya sangat tidak bisa ia bayangkan tapi Bik Sum tak punya cara lain jika ingin para lelaki di sini menarik mesin diesel kapalnya menuju tengah laut untuk memulai pencarian. 

Harta tak berarti apa pun baginya jika tanpa Ardi, ia hanya akan menjadi wanita tua sebatang kara yang menunggu giliran mati. 

“Baiklah, mari kita mulai pencarian. Ratu Segara hanya akan mengambil jiwanya tapi tidak dengan jasad Ardi.”

Para pemilik kapal di pulau ini mulai menarik jangkarnya menuju tengah laut. Bahkan jika berhasil menemukan kapal Ardi saja itu adalah harta karun terbesar. Kapal itu baru dan lebih besar dari pada milik mereka. Bik Sum tidak punya anak lain, jadi mereka bisa mengambil alih kapal itu bagi siapa saja orang yang pertama kali menemukan. 

Pencarian panjang dan melelahkan di mulai, ada banyak kejanggalan yang mewarnai. Sudah tujuh hari mereka melaut sambil mencari kapal Ardi, sebagian dari mereka mulai mundur akibat gangguan yang mereka alami. Bau kematian di tengah laut begitu menyebar. Mereka akan mengalami itu hingga empat puluh hari kematian Ardi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status