Hari ke lima pencarian Ardi.
Beberapa kapal berpencar seperti biasanya, mereka saling mengarahkan cahaya senter ke permukaan laut berharap jenazah Ardi akan mengapung di permukaan. Mereka juga memakai teropong sederhana untuk mencari keberadaan kapal Ardi. Mungkin saja kapal itu kehabisan bahan bakar hingga kapalnya hanya terombang-ambing di tengah lautan luas. “Terasa tidak, sejak Ardi menghilang laut menjadi sunyi dan menyeramkan,” keluh Yoyok. “Iya, karena itu aku mengajakmu ikut naik di kapalku. Aku sekarang bahkan tidak berani melaut sendirian,” jawab Toni. Laut beraroma kematian, itulah yang selalu nelayan keluhkan bahkan hingga nanti hari ke empat puluh hilangnya Ardi. Malam semakin sunyi, kapal lain yang berjauhan satu sama lain membuat rasa sunyi semakin menggelayuti. Bulu kuduk Toni dan Yoyok berdiri, embusan angin bahkan terasa sangat dingin hingga membuat mereka menggigil. “Yok, tarik jaringannya! Kita pulang saja, Ngeri Yok,” Toni mengatakan itu dengan wajah penuh ketakutan. Ia tak tahan lagi pada aroma mistis yang menyeruap dari permukaan laut. Yoyok segera menarik jaringnya naik. Anehnya tak ada satu pun ikan terjaring, justru sebuah benda aneh yang ketika mereka dekati itu adalah potongan jari tangan yang tersangkut. “Aaaaa....!” teriak mereka serentakMereka begitu terkejut hingga saat mundur badan mereka bersamaan terjatuh. Jari itu masih bergerak-gerak mencoba keluar dari jaring yang mengikatnya. “Yok, buang jaringmu Yok!” perintah Toni. Yoyok segera mengambil dayung kayunya dan mencungkil jaringnya ke laut. Mereka kini bisa bernafas lega meski tubuh Yoyok dan Toni tak henti gemetaran. Di perahu lain milik Sapto yang berisi juga dengan Danu dan Warjo, mata mereka kini berbinar. Cahaya senter Warjo menemukan mayat mengambang, bayangan mobil bak milik Ardi kini sudah ada di depan mata jika bisa membawa pulang mayat Ardi. “Cepetan To, arahkan mendekat!” Wanto sedang mengemudi kapalnya lebih mendekat ke arah mayat yang mengambang dengan tengkurap itu. Danu dan Sapto bersiap di pinggir untuk menarik mayat itu masuk ke dalam kapal mereka. Saat tangan Sapto dan Danu hendak menarik, secara tiba-tiba badan mayat tengkurap itu terbalik. Aaaaaa.... Pekikan panjang Sapto dan Danu membahana. Mereka terkejut melihat wajah mayat itu hancur lebur seperti sudah di koyak oleh ikan-ikan yang mencabiknya. “Ada apa?” tanya Wanti sambil memegang kemudi. “A-a-Ardi, wajahnya hancur!” jawab Sapto“Yang penting itu Ardi kan? Jangan kebanyakan pikir, cepat naikkan mayatnya!” titah Wanto. Danu dan Sapto segera meraih tubuh yang sudah mengembung itu tapi saat mereka hendak sejengkal meraihnya, secara perlahan mayat itu bergerak menuju ke dasar laut. “Loh, bagaimana ini?”“Aku akan berenang membawa naik mayat itu. Cepat ambil saat aku berhasil menaikkan tubuhnya!” Danu melepas bajunya hingga tersisa celana dalam, ia hendak terjun tetapi tangan Sapto menahannya. “Jangan, kamu mungkin akan di bawa tenggelam oleh mayat itu juga!” Danu menatap tajam tak mengerti, yang ia pikirkan sekarang hanya hadiah mobil bak baru seharga seratus juta lebih. “Saat kamu berganti baju, aku melihat mayat itu tersenyum menyeringai,” jawab Sapto. Whuushh! Angin dingin menerpa tubuh Danu yang hampir telanjang. Ia seketika menggigil saat ia menoleh ke arah terakhir mayat itu. Mayat itu sudah hilang tanpa jejak bahkan meski cahaya senter mereka di arahkan semakin dalam ke dasar laut. Mereka bertiga bergidik ngeri, bahkan angin mulai menebarkan aroma busuk yang menyengat. Kejanggalan menimpa beberapa kapal lain, mereka yang mengalami gangguan tidak berlayar lagi setelah itu untuk waktu yang cukup lama.Pada hari ke tujuh kepergian Ardi, hanya tersisa tiga kapal nelayan yang masih berani melakukan pencarian. Mereka masih mengarungi lautan di sekitar pulau secara berkelompok dari pagi hingga malam hari.Malam ini salah satu kapal yang berisi Johan Si Preman pulau, Khafid dan Johar melihat penampakan kapal Ardi yang tengah terombang-ambing di tengah laut. Mata mereka berbinar, kapal itu adalah harta karun yang bernilai ratusan juta. Bahkan jika mereka berhasil menemukan mayat Ardi di dalamnya maka mereka juga akan mendapatkan mobil bak sesuai janji Bik Sum.Kapal Johan segera mendekati kapal Ardi yang gelap dan tak terdapat pencahayaan sama sekali. Mereka mengaitkan kedua kapal itu dengan sebuah tali.“Khafid, kamu tetap di kapal! Aku dan Johar akan masuk ke kapal Ardi,” titah Johar pada Khafid.Johar dan Johan segera melompat memasuki kapal Ardi. Angin dingin seolah berembus di tiap permukaan kapal kosong ini, menciptakan suasana men
Irawati tak bisa tidur hingga tengah malam, sekeras apa pun usahanya memejamkan mata cerita kengerian kematian anak Bik Sum membuat ia semakin terjaga dalam ketakutan. Irawati selalu merasa sedang ada yang tengah mengawasi dirinya, ia ingin sekali mengarahkan pandangan ke sudut kamar tapi rasa takut membuat ia hanya berani berpaling sementara rasa merinding semakin mengacaukan pikiran dirinya.Ia terus meringkuk dan gemetar, mulutnya tak berhenti berdoa hingga ia tertidur. Di dalam mimpi Irawati tengah berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan. Di sana ia sendirian dan ketakutan, hingga sosok wanita tua menghampiri dirinya.“Kamu berikutnya!” Suara serak wanita tua itu begitu menakutkan. Wajahnya yang pucat dan rambut yang terurai basah membuat Irawati menjerit ketakutan.“Buk, bangun buk!” Sekar menggoyangkan tubuh Irawati yang mengigau ketakutan. Tubuh majikan wanitanya itu sudah basah kuyup oleh keringat dingin dan nafa
Irawati bagai di sambar petir, ‘Perjanjian Gaib' adalah hal yang baru ia dengar ditelinganya. Ia gemetar, bahkan kepalanya terasa berputar-putar, ia begitu ketakutan hingga menggigit ujung bibirnya hingga berdarah.“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Irawati dengan suara yang parau, sebagai seorang ibu ia akan melakukan apa pun untuk membuat anaknya kembali bahkan meskipun cara itu terlihat gila dan tak masuk akal.“Sena akan dikembalikan dalam keadaan hidup, tapi saat dewasa ia akan di ambil lagi oleh Ratu Segara sebagai Pengantin Samudera,” jawab Lek Harso.Irawati mundur perlahan, wajah putus asa ibu muda itu terlihat jelas, dengan rambut yang acak-acakan karena angin pantai yang terus menyentuh rambutnya membuat ia terlihat seperti wanita gila.“Baiklah,” jawab Irawati setelah melewati gejolak batin. Setidaknya anak yang ia cintai kembali kepadanya dalam keadaan hidup. Ia akan mencari jalan kel
Irawati mulai membuka mata setelah pingsan selama hampir satu hari penuh. Ia menyapukan pandangan ke sekeliling dan mengenali bahwa ia sekarang sudah terbaring di kamar rumahnya sendiri.“Sena!” Pekik Irawati begitu terbangun.Sekar segera berlari ke kamar majikannya. Ia melihat wajah panik Irawati yang kini sudah berdiri dengan gugup mencari ke setiap sudut keberadaan Sena.“Bu, Sena ada di kamar sebelah. Bidan Desa baru saja pulang setelah memasang infus untuknya,” jawab Sekar menghampiri Irawati.Irawati segera berlari menuju kamar di sebelahnya, di sana ia melihat Sena masih tertidur lelap dengan infus yang berada di tangannya yang kecil.“Terima kasih Tuhan, aku benar-benar sudah membawa ia pulang!”Irawati menyapukan pandangan ke arah telapak kaki Sena sebelah kiri. Ia masih melihat tanda trisula yang membuat tubuhnya gemetaran, dengan sigap ia segera menarik selimut menutupi
“Ayah!” Sena berlari segera memeluk ayahnya yang masih mengenakan handuk. Pelukan tangan kecil itu terasa begitu kencang di pahanya. Ada air hangat yang mulai membasahi pahanya.“Ada apa? Kenapa kamu menangis?”“Kenapa sekarang banyak hantu yang suka jahil sama aku Yah?” tanya Sena sambil terisak.“Dia sudah seperti itu sejak beberapa hari lalu,” jawab Irawati yang sudah terbangun saat putranya Sena berteriak memanggil ‘Ayah!’“Apa sudah di periksakan ke dokter? Biasanya anak menjadi sensitif saat mereka sakit.”“Bidan Desa sudah sempat datang dan memberinya infus,” terang Irawati singkat. Suaminya baru saja pulang setelah sebulan penuh dinas di laut. Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya setelah mendapatkan waktu yang pas.Sena tenang dalam dekapan kedua orang tua di sisi kanan dan kiri tidurnya. Bocah itu tertidur p
Sena sudah melewati beberapa kali proses konseling dengan psikiater, tapi semua itu tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Ia terus ketakutan, Sena sering melihat penampakan yang membuat dirinya menggigil ketakutan.Sejak Indera ke enam Sena terbuka, banyak makhluk gaib yang terus berdatangan. Sena sudah seperti magnet tersendiri bagi mereka. Irawati dan Ekawira merasa tertekan, mereka juga kelelahan dan kurang tidur karena Sena yang terus saja terbangun ketakutan.“Sudah kubilang, kita pergi saja dari sini ya?” rengek Irawati setelah merasa begitu putus asa dengan keadaan Sena.Ekawira masih diam membisu, ia hanya memijat keningnya yang terasa sakit.“Baiklah, kita coba membawa Sena ke Mbah Bahar di desa seberang seperti saran Pak RT.” Ekawira akhirnya menerima saran Pak RT agar membawa ke tempat Mbah Bahar, salah satu tetua di pulau ini yang juga di sebut sebagai ‘orang pintar’. Para tetangga
Beberapa hari sepulang dari rumah Mbah Bahar, Sena sudah kembali ceria seperti anak yang berumur 10 tahun lainnya. Ia bahkan mulai masuk sekolah setelah hampir dua minggu absen. Meski kini Sena sudah hidup normal seperti sedia kala, tapi tidak bagi Irawati. Sering kali bekas sayatan keris yang melintang di tangannya terasa begitu sakit meski luka itu sudah mengering. Ia seolah merasakan lagi bagaimana perihnya luka itu ketika ia menaruh telapak tangannya pada air laut saat melakukan perjanjian di malam itu.Semakin ia memikirkan cara keluar dari perjanjian itu, semakin menyiksa pula rasa sakit yang ia rasakan di telapak tangannya.Tok.. tok.. tok..Terdengar suara ketukan pintu, dan suara salam dari Ibu Diah yang tak lain adalah tetangga Irawati.“Ada apa Bu Diah?” tanya Irawati setelah membuka pintu rumahnya.“Apa kamu masih mencari dukun hebat untuk memutuskan perjanjian gaib yang sudah terlanjur dibuat oleh
Irawati pulang ke rumah saat hari sudah malam, ia mengemudikan mobilnya melewati jalan sekitar pantai. Pandangan matanya teralihkan dengan sosok tak asing yang tengah berada di bibir pantai, ia adalah Lek Harso. Pria yang sedari tadi menatap lautan kini menoleh ke belakang sedang menatapnya, seolah mengetahui siapa di dalam pengemudi mobil yang berjarak 300 meter darinya.Irawati ingin memacu pedal gasnya, tapi anehnya di malah menekan rem dan turun menemui Lek Harso. Entah apa yang di pikiran wanita ini, tapi tatapan pria tua itu mengisyaratkan bahwa ia ingin berbicara dengan Irawati.“Dari pulau seberang Nak?” tanya Lek Harso dengan suara yang lembut.Dheg!Irawati terkesiap, bagaimana pria tua ini bisa mengetahui dari mana ia baru saja pergi. Jantungnya kini berdebar kencang seperti seorang yang baru saja tertangkap basah sudah menusuk dari belakang.“Dia akan mati!” lanjut Lek Harso.