LOGINLantai kayu yang dingin seolah menyerap seluruh energi dari tubuh Cassie. Kata-kata Dirga terus bergema di kepalanya, tumpang tindih dengan fakta-fakta yang baru saja ia saksikan.Epsilon. Tragedi. Samudra yang lumpuh. Serta kematian Lily.Setiap kepingan informasi itu seharusnya membuat Dirga tampak seperti korban, namun botol pil di sakunya menjadi pengingat pahit akan ketidakpercayaan yang sudah terlanjur mengakar. Jika Dirga memang tidak bersalah, mengapa ia harus bersikap sedingin itu? Mengapa ada aura kegelapan yang selalu menyelimuti setiap langkahnya?Cassie menarik napas panjang, mencoba menghentikan getaran di tangannya. Ia harus bisa memilih: menjadi istri dari pria yang mungkin adalah seorang korban yang disalahpahami, atau melarikan diri dari pria yang mungkin adalah manipulator ulung.Ia bangkit dengan lutut yang masih lemas. Dirga memberinya pilihan, sebuah kemewahan yang jarang pria itu berikan. Namun, Cassie tahu, di dunia Dirga, "pilihan" seringkali hanyalah sebu
Jantung Cassie seolah berhenti berdetak. Suara pantofel Dirga yang beradu dengan lantai kayu di lorong terdengar seperti hitung mundur menuju eksekusi. Dengan tangan yang basah oleh keringat dingin, Cassie menyambar ponselnya sendiri yang ternyata tertinggal di atas meja kerja. Dan dengan gerakan kalap, ia memotret layar laptop yang menampilkan dokumen autopsi Lily.Cekrek.Suara bidikan kamera itu terasa memekakkan telinga di ruangan yang sunyi. Cassie segera mematikan layar laptop, namun ia tidak punya waktu untuk lari ke pintu.Pintu jati itu terbuka lebar. Dirga berdiri di sana, masih dengan senyum tenang yang kini tampak seperti seringai monster di mata Cassie. Matanya langsung tertuju pada Cassie yang berdiri mematung di balik meja kerjanya."Sedang apa kamu di sini, Sayang?" suara Dirga merendah, ada nada peringatan yang tajam di balik kelembutannya.Cassie menyembunyikan ponsel di balik punggungnya, berusaha mengatur napas agar tidak terlihat seperti buronan. "Aku... aku
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah gorden sutra di kamar Cassie, namun kehangatannya tidak sedikit pun menyentuh kulit wanita itu. Cassie terjaga sepanjang malam. Matanya sembab, duduk meringkuk di sudut tempat tidur dengan tatapan kosong yang mengarah ke pintu yang terkunci.Terdengar bunyi klik. Pintu terbuka.Dirga masuk dengan nampan berisi sarapan mewah dan segelas susu hangat—pemandangan yang ironis setelah badai semalam. Ia tampak rapi, wangi maskulinnya memenuhi ruangan, seolah-olah teriakan dan cengkeraman kasar beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang tidak pernah terjadi."Selamat pagi, Sayang," suara Dirga lembut, kembali ke nada hangat yang dulu Cassie puja.Cassie tidak bergeming. "Di mana ponsel itu?"Dirga meletakkan nampan di nakas, lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia mengabaikan pertanyaan Cassie dan justru mengulurkan tangan untuk membelai rambut wanitanya. Cassie menghindar dengan gerakan refleks yang kentara.Tangan Dirga menggantung di udara se
Ketegangan di udara mendadak berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap. Dirga tidak lagi tampak seperti pria hangat yang tadi mengecup puncak kepala Cassie. Matanya berkilat penuh amarah, namun ada semburat kepanikan yang berusaha ia sembunyikan di balik rahangnya yang mengeras."Jangan bermain api, Cassie," suara Dirga merendah, vibrasinya terasa mengancam hingga ke tulang belakang Cassie. "Berikan ponsel itu. Sekarang!"Cassie tertawa, namun kali ini bukan tawa manja yang biasa ia sandiwarakan. Itu adalah tawa getir seorang wanita yang baru saja melihat dunianya runtuh. Ia melangkah mundur hingga pinggangnya menabrak pinggiran tempat tidur, sementara tangan kanannya masih menyembunyikan ponsel itu di balik punggung."Kenapa, Mas? Apa yang kamu takutkan? Takut aku melihat betapa bahagianya kamu dengan Evelyn?" Cassie menantang, suaranya bergetar hebat meski ia berusaha keras untuk tetap tegak. "Kapal itu... ciuman itu... semuanya terasa sangat nyata, ya? Jauh lebih nyata darip
Jantung Cassie seakan berhenti berdetak selama satu detik yang menyiksa. Tatapan Dirga yang tajam seolah mampu menembus kayu laci meja rias dan melihat botol pil yang baru saja ia sembunyikan. Keheningan di kamar itu terasa mencekik, hanya menyisakan suara tetesan air dari rambut Dirga yang basah ke atas bahunya yang telanjang.Cassie memaksakan sebuah tawa kecil yang terdengar manja, sebuah topeng yang ia asah dengan sangat hati-hati. Ia membalikkan badan, membiarkan jemarinya bermain di pinggiran meja rias sambil menatap pantulan Dirga di cermin."Mencari pelembab bibir, Mas," jawab Cassie dengan nada yang sengaja dibuat sedikit merajuk. Ia mengangkat sebuah tabung kecil lip gloss yang memang tergeletak di atas meja. "Bibirku pecah-pecah karena udara di pesawat tadi. Kamu mengejutkanku, aku pikir kamu masih di kamar mandi."Dirga tidak langsung menjawab. Ia melangkah maju, memperkecil jarak hingga dadanya yang hangat bersentuhan dengan punggung Cassie. Ia melingkarkan tangannya d
Penerbangan menuju Therondia memakan waktu berjam-jam, namun bagi Cassie, setiap detiknya terasa seperti hitung mundur menuju sebuah medan perang yang baru. Dirga tertidur di kursi kelas bisnis di sampingnya, tangan pria itu masih posesif melingkari jemari Cassie bahkan dalam mimpinya.Cassie menatap tangan itu. Tangan yang hangat, namun terasa seperti borgol yang terbuat dari sutra. Ia teringat kembali pada "benih" yang mungkin kini tengah berjuang untuk hidup di dalam rahimnya. Sebuah anugerah yang dipaksakan sebagai pengikat.‘Kau ingin mengikatku dengan seorang anak agar kau bisa melupakan Evelyn, Mas? Begitu picik cara mainmu,’ batin Cassie tajam.***Begitu roda pesawat menyentuh landasan pacu Bandara Internasional Therondia, Dirga terbangun dengan senyum kemenangan. Ia tampak seperti raja yang baru saja pulang membawa piala."Selamat datang di rumah kita yang sebenarnya, Cassie," bisik Dirga sambil mengecup keningnya.Sebuah limosin hitam sudah menunggu di lobi VIP. Sepa







