MasukDipaksa menikah demi menyelamatkan keluarganya dari lilitan hutang, Evelyn Wijaya (21) harus menjadi istri dari Samudra Bumiputera (27) — pria dingin yang duduk di kursi roda dan menolak dicintai. "Cari Sugar Daddy, Eve! Siapa tahu bisa menyelesaikan masalah yang kamu hadapi sekarang." Saran Ane Jesslyn saat mereka sedang minum bersama di sebuah klub. "Gila! Aku bukan pelacur, An." Histeris Evelyn dengan semburat wajah bercampur. "Aku punya kenalan. Mereka membutuhkan pekerja paruh waktu, gajinya gede Eve. Kalau kamu mau, aku bisa atur pertemuan kalian." "Benarkah? Berapa yang bisa aku dapat dalam satu bulan?" matanya bersinar, seperti mendapatkan angin segar. "10 juta untuk merawat putranya yang sakit. Dan 100 milyar, jika kamu bersedia menikah dengannya." Ane menatap tajam, ia memberi pilihan yang sulit. Evelyn membeku, ia menelan salivanya mentah-mentah. Bagi Samudra, Evelyn hanyalah “pengantin titipan” yang datang karena terpaksa, bukan karena cinta. Namun bagi Evelyn, pernikahan ini adalah awal dari ujian terbesar dalam hidupnya— menghadapi pria yang membenci dunia… dan juga dirinya sendiri. Saat rahasia masa lalu mulai terbongkar, Evelyn dihadapkan pada pilihan: bertahan dengan cinta yang perlahan tumbuh, atau pergi sebelum hatinya hancur ketika mendapati ada dua wajah yang sama di hadapannya.
Lihat lebih banyakLampu neon berwarna ungu dan biru berpendar di antara kepulan asap rokok. Musik berdentum keras, seakan menelan setiap percakapan menjadi bisikan samar. “Udah, nikmatin aja malam ini. Nggak usah mikirin kerjaan dulu, lagian kamu baru balik dari Therondia.”
Evelyn Wijaya menatap kosong ke arah gelas mojito di tangannya. Es yang setengah mencair berputar pelan, persis seperti pikirannya malam ini—kacau, dingin, dan penuh kebuntuan. “Aku harus cari ke mana 150 milyar itu, Ane?” Hidupnya di usia 21 tahun seharusnya tidak sesulit ini. Ia seharusnya bisa bebas memilih jalan yang diinginkannya, tapi kenyataan menamparnya tanpa ampun. “Pelan-pelan, Eve. Aku akan bantu mendapatkan solusinya,” tatapannya serius, seakan telah menemukan jalan keluar bagi masalah yang tengah dihadapi sahabatnya itu. “Kamu? Memangnya kamu bisa?” Evelyn tertawa kecil sinis, seakan sangsi dengan ucapan Ane. Perusahaan keluarganya nyaris bangkrut, rumah mereka terancam disita, dan hutang yang menumpuk membuat ayahnya jatuh sakit. Evelyn merasa seolah seluruh dunia runtuh di atas pundaknya. “Eve .…” suara serak khas Ane Jesslyn menyelusup di tengah riuhnya musik. Sahabat sekaligus seniornya di kampus itu menyulut rokok, menatapnya dengan tatapan yang terlalu tajam untuk ukuran seorang teman. “Kalau kamu terus begini, kamu akan habis dimakan keadaan.” Evelyn mendengus, kepalanya jatuh di atas meja. “Apa yang bisa aku lakukan, An? Aku bukan superwoman. Uang yang harus kubayar terlalu besar.” Ane menyeringai kecil, lalu menyandarkan punggung ke sofa kulit. “Ada banyak cara untuk mendapatkan uang. Tapi kamu terlalu naif untuk melihatnya.” Alis Evelyn berkerut. “Apa maksudmu?” Ane mencondongkan tubuh, suaranya lebih pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Cari sugar daddy, Eve. Seseorang yang bisa menanggung semua masalahmu sekarang.” Evelyn sontak mendongak, matanya melebar dengan marah. “Gila kamu?! Aku bukan pelacur, An!” suaranya meninggi, nyaris menenggelamkan musik. Beberapa orang menoleh, tapi Ane hanya terkekeh dingin. “Aku tidak bilang kamu pelacur,” Ane menyeringai, matanya berkilat penuh perhitungan. “Aku hanya bilang ada orang yang butuh kamu… dan dia punya uang yang bisa menyelamatkanmu.” Evelyn tercekat. “Apa maksudmu?” Ane mematikan puntung rokoknya, lalu menatap Evelyn dengan ekspresi serius. “Dia butuh seseorang untuk merawat anaknya. Gajinya lumayan gede. Sepuluh juta per bulan. Itu cukup untuk obat dan kebutuhan ayahmu sementara waktu.” Evelyn menahan napas. Sepuluh juta. Jumlah itu terasa seperti oksigen di tengah tenggelamnya hidupnya. “Lalu… apa syaratnya?” Ane menekuk senyum penuh misteri. “Kalau kamu hanya bekerja, kamu dapat sepuluh juta. Tapi kalau kamu mau menikah dengannya… kamu akan dapat seratus miliar.” Wajah Evelyn memucat. Kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam keras kepalanya. “Se… seratus miliar?” ia tergagap, menelan salivanya mentah-mentah. Ane mengangguk tenang, seolah jumlah itu bukan hal besar. “Ya. Satu pernikahan, satu kontrak. Dan semua masalahmu selesai.” Evelyn terdiam. Dunia di sekelilingnya seakan meredam. Musik, cahaya, tawa orang-orang—semuanya menghilang. Yang tersisa hanyalah suara detak jantungnya yang berpacu terlalu cepat, seolah tubuhnya menolak logika dari tawaran itu. “Cepat ambil keputusan, Eve. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Banyak yang mengantri untuk menjadi istri keluarga Bumiputera.” “Aku tidak mengenalnya, Ane.” kedua alisnya menukik tajam. “Jangan mikirin soal cinta, Eve. Pikirkan saja tentang uang yang diberikan mereka padamu.” Ane menatapnya, mencoba untuk meyakinkan. “Tapi masih belum cukup untuk menutupi kekurangannya, An….” raut wajahnya muram, hampir saja putus asa. “Gampang lah kalau masalah itu. Kamu bisa kumpulin dari uang bulanan yang diberikan suamimu nanti. Paling tidak hutang perusahaan ayahmu bisa berkurang banyak,” nasehatnya seakan mengentengkan masalah. “Dasar gila,” gumam Eve sambil memalingkan wajah, mulutnya mencebik. Menikah demi uang. Dengan pria asing. Dengan syarat yang bahkan ia belum tahu. Ia menggenggam erat gelasnya, jemarinya gemetar. "Gila, sungguh gila. Hidup macam apa ini...?" dan untuk pertama kalinya, Evelyn sadar—malam ini, hidupnya baru saja berubah selamanya. *** Udara pagi itu begitu asing bagi Evelyn. Seakan setiap hembusannya menegaskan bahwa ia sedang melangkah ke dunia yang bukan miliknya. “Tenanglah Eve, kamu bisa melewatinya dengan baik….” monolog Evelyn pada dirinya sendiri. Mobil hitam yang disediakan keluarga Bumiputera berhenti di depan gerbang besi besar. Plakat dengan nama “Bumiputera Residence” terpampang jelas, megah sekaligus menakutkan. “Lewat sini, mari ikut dengan saya Nona,” ujar kepala pelayan bernama Martha. Evelyn mengangguk, “Baik Nyonya....” "Martha, panggil saja Martha." Perempuan paruh baya itu tersenyum ramah. "Baik, Martha." Ujar Evelyn membalas senyumannya. Hatinya berdegup kencang. Evelyn menggenggam ujung gaun sederhana yang ia kenakan— gaun pinjaman dari Ane, agar ia terlihat ‘layak’ di hadapan orang-orang kaya. Ketika pintu kayu raksasa itu terbuka, Evelyn disambut dengan aroma lilac samar yang memenuhi ruangan. Interior rumah mewah itu terasa terlalu dingin, terlalu sunyi. Seakan setiap sudutnya menolak kehadiran manusia biasa sepertinya. “Silakan Nona Evelyn.” Kepala pelayan membungkuk hormat ketika ia memberi akses jalan untuknya. “Tuan muda sudah menunggu di ruang kerja.” Lanjutnya. Evelyn menelan ludah, lalu mengikuti langkah pelayan itu. Sepanjang koridor, ia bisa merasakan matanya sendiri berkaca-kaca. Seolah ia sedang berjalan menuju ruang sidang, bukan ruang pertemuan. “Tuan sudah berada di dalam Nona, silahkan.” Pintu ruang kerja terbuka. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, menyinari sosok pria berusia sekitar dua puluh tujuh tahun yang duduk di kursi roda hitam. Posturnya tegak, namun wajahnya menyiratkan kelelahan yang dingin. “Selamat pagi Tuan,” sapa Evelyn yang tidak bersambut baik. Tatapan mata pria itu tajam, menusuk, seolah bisa membaca isi hati siapa pun yang berani mendekat. Itulah Samudra Bumiputera. Evelyn sempat terpaku, jantungnya berdegup tak terkendali. Pria itu… berbeda dari bayangannya. Tampan, karismatik, tapi dingin bak tembok es. “Jadi… ini dia?” suara Samudra berat, namun datar tanpa intonasi. Ia menatap kepala pelayan yang berdiri di belakang Evelyn. “Benar, Tuan Muda. Nona Evelyn Wijaya.” Jawab Martha dengan sangat halus dan sopan. Mata itu kini beralih padanya. Evelyn merasa seolah dirinya sedang ditelanjangi hanya dengan tatapan. “Nama?” Samudra mengulang, meski jelas sudah mengetahuinya. “E… Evelyn. Evelyn Wijaya.” Suaranya bergetar. Samudra menyandarkan tubuhnya di kursi roda, jemarinya mengetuk pelan lengan kursi. “Jadi kamu yang katanya rela menikah denganku demi uang.” Wajah Evelyn memerah. “Bukan begitu, saya…” “Tentu saja begitu.” Samudra memotong cepat, bibirnya melengkung pada senyum tipis yang lebih mirip ejekan. “Semua orang punya harga. Dan rupanya harga dirimu setara dengan seratus miliar.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Evelyn menunduk, genggaman tangannya semakin erat. “Saya hanya… ingin menyelamatkan keluarga saya.” Keheningan singkat melingkupi ruangan. Samudra menatapnya lama, kemudian menghela napas berat. “Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan.” Ia mencondongkan tubuh, menatap Evelyn tajam. “Menikah denganku, bukan berarti kau bisa mencintaiku. Aku tidak butuh itu. Jangan berani mencoba. Kau hanya akan menyesal.” Suara itu begitu dingin, nyaris seperti peringatan terakhir. Evelyn menegakkan kepala, meski hatinya hampir hancur. Tapi tunggu! Dahinya mengernyit samar, sepertinya ia pernah bertemu dengan pria berjambang tipis di hadapannya. Serupa tapi tidak sama, tapi siapa dan di mana? Kemudian .... “Kalau itu syaratnya… saya terima.” Evelyn menyingkirkan pikiran yang dianggapnya tidak penting, di sini ia harus memutuskan. Senyum tipis Samudra melebar, dingin, tanpa kehangatan sedikit pun. “Bagus. Karena mulai hari ini, hidupmu bukan lagi milikmu, Evelyn Wijaya. Tapi milikku.” Dan dengan satu kalimat itu, Evelyn tahu— ia baru saja mengikatkan dirinya pada badai yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Explicit!Rate: 21+Harap bijak dalam memilih bacaan.🍁🍁🍁Samudra merasakan getaran halus dalam tubuh Evelyn saat wanita itu mengucapkan "Aku sudah memilihmu." Itu bukan hanya kata-kata—itu adalah sebuah deklarasi yang menyakitkan, sebuah penarikan garis tegas antara masa lalu yang dirindukan dan masa depan yang dipilih. Itu adalah tanda bahwa ia akhirnya membiarkan Dirga pergi.“Bagaimana kalau kita bersenang-senang di sini? Biarkan mereka pesta di bawah tanpa kita,”Evelyn tersenyum manis, “Bilang aja kalau Mas mau dienakin,” canda Evelyn sambil menyentil ujung hidung Samudra.“Mas yang akan enakin kamu. Gimana, hem… masih bisa terjaga, satu atau dua jam ke depan?” bisiknya menggoda.“Ah! Masss… nakal, ih!” gigitan kecil di bagian telinganya membuat Evelyn memekik kecil.Kelembutan yang diberikan Samudra hanyalah pendahuluan. Saat ia memeluk Evelyn dari belakang, tangannya yang besar dan hangat menangkup perut Evelyn yang membuncit, ia tidak hanya memberikan kenyamanan; ia mene
Koridor panjang itu diselimuti kehangatan temaram dari lampu dinding bergaya klasik, jauh berbeda dengan kilau kristal yang membutakan di ruang pesta. Bagi Evelyn, koridor ini terasa seperti batas antara dua dunia: dunia gemerlap yang menuntut senyuman palsu dan dunia sunyi tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang wanita hamil yang lelah dan berduka.Martha berjalan mendampinginya, langkahnya pelan dan penuh perhatian."Nyonya muda, apakah Anda membutuhkan teh hangat? Atau mungkin saya siapkan kompres untuk kaki Anda?" bisik Martha, nadanya dipenuhi keibuan yang tulus. Kepala pelayan itu sudah lama melayani keluarga Bumiputera dan telah menyaksikan setiap babak dalam kehidupan anak kembar itu—termasuk kisah cinta rahasia yang berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan.Evelyn menggeleng perlahan. "Terima kasih, Martha. Aku hanya ingin istirahat lebih cepat malam ini.”Saat mereka mencapai tangga besar menuju kamar tidur, Evelyn berhenti sebentar. Ia menoleh ke belakang, k
Sorak sorai dan ucapan selamat membanjiri Dirga dan Queen Aurora. Lampu kristal di langit-langit seakan ikut berkilauan merayakan pengumuman bahagia tersebut.Samudra tertawa lepas, menepuk bahu adiknya kembarnya dengan rasa bangga. "Dirga! Ini berita yang luar biasa! Selamat! Queen, selamat datang di keluarga besar Bumiputera! Kami harus segera merencanakan pesta besar-besaran untuk kalian!"Queen tersenyum anggun, memeluk Samudra singkat, lalu beralih menyalami Tuan Bumiputera dan Nyonya Celine yang terlihat sangat gembira. “Selamat ya, Sayang. Kamu… sangat cantik.” Puji Celine pada calon menantunya.Evelyn menatap adegan itu, merasa seolah ia sedang mengamati drama di panggung yang jauh. Tidak ada air mata, tidak ada tarikan napas kaget, hanya keheningan di tengah keramaian.Ia mengarahkan matanya ke Dirga.Dirga membalas tatapannya. Matanya yang tajam dan dewasa kini diselimuti oleh lapisan pelindung, tetapi Evelyn bisa melihat, di sudut terdalamnya, ada penyesalan yang tert
Di Braveheart, Evelyn terbangun dari tidur singkat. Ia merasa lebih kuat. Ia berjalan menuju jendela dan melihat keindahan taman yang terawat.Terdengar ketukan di pintu."Masuk," katanya, suaranya mantap.Pintu terbuka, dan Samudra masuk. Tatapannya dingin, namun ada keraguan yang tersembunyi di matanya."Hai," sapanya, nadanya terdengar canggung.Evelyn berbalik, menatapnya lurus. Di hadapannya, ia melihat pria yang harus ia coba cintai. Pria yang akan menjadi ayah dari anaknya."Hai," jawab Evelyn. Ia berdiam di tempat, menyentuh perutnya yang masih rata.Samudra terdiam. Ia hanya melihat perubahan dalam diri Evelyn yang begitu rapuh.”Mas, aku—”“Aku tahu. Semua perempuan akan melakukan hal yang sama, jika ada di posisimu.”Samudra melangkah mendekat, tangannya terangkat, menyentuh pergelangan tangan Evelyn dengan lembut."Mulai sekarang, aku akan menjagamu," bisik Samudra.🍁🍁🍁Delapan bulan kemudian di kediaman Bumiputera.Waktu terasa berjalan dengan kecepatan gan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.