"Apa kau masih ragu?" tanya Bram, menatap Malvin dengan tajam.
Mata Malvin membalas tatapan Bram, penuh keraguan. "Saya sudah membawa stempel racun yang Anda minta," jawab Malvin, suaranya bergetar. Bram mengamati Malvin dengan cermat. "Kau tidak apa-apa, Malvin? Sepertinya kau bimbang memilih jalan mana yang akan kau ambil." Malvin mengangguk pelan, mengusap keningnya yang berkeringat. "Setidaknya, kau harus menggunakan kekuatanmu sendiri," ujar Bram, memecah keheningan. Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria paruh baya tersebut. Tidak ada yang mencolok di laboratorium itu, hanya berbagai alat dan bahan yang akan diuji coba oleh Bram. Hidup Bram sepenuhnya terikat pada Rumah Sakit ini. Sejak kepergian istri tercinta, Bram lebih sering berada di sini daripada bersama keluarganya, yang terus mendesaknya untuk mencari pendamping hidup baru. Namun, bagi Bram, cinta yang telah ia kenal, akan tetap abadi. "Ini racun Belladona," ujar Bram, menunjukkan sebuah vial kecil. "Belladona mengandung tropane alkaloids dan atropine yang bisa merusak sistem saraf." "Itulah sebabnya dia tidak bisa melihat?" tanya Malvin, suara penuh ketegangan. Bram tersenyum tipis. "Sepertinya kau mulai peduli padanya," godanya. Malvin terdiam, matanya mengalihkan pandang ke arah lain. "Apakah ada kemungkinan dia bisa melihat lagi?" tanya Malvin, suara sedikit tersendat. Bram tertawa pelan, tangannya tetap sibuk menyiapkan obat penawar. "Tentu saja, tapi Tuan Panduwinata tidak menyetujuinya." Malvin terdiam, sudah tahu alasan di balik keputusan itu—karena dirinya. Tuan Panduwinata sengaja membiarkan putrinya buta, agar dia tidak menyaksikan apa yang akan terjadi. Vinka, akan tetap terjaga dari kenyataan yang menakutkan itu. "Malvin?" Malvin tersentak. Bram tersenyum sinis, lalu menyerahkan sebuah botol pada Malvin. Malvin menerima botol itu tanpa banyak bicara, matanya masih menatap tajam benda itu. "Jika dia bisa melihat, apakah... apakah dia akan membenciku?" tanya Malvin, suara penuh keraguan. Bram tersenyum, hampir menyeringai. "Tentu saja, dan hukum gantung diri sudah menunggumu." Ucapan Bram tidak membuat Malvin takut. Itu sudah menjadi risiko bagi seorang mafia seperti dirinya. "Terima kasih," jawab Malvin, lalu melangkah keluar dari laboratorium dengan langkah cepat. ---🥀--- Di tengah hiruk-pikuk kota yang sibuk, Malvin berjalan kaki. Ia tidak seperti mafia dalam cerita-cerita kebanyakan, yang selalu dikelilingi kemewahan. Meskipun ia memiliki mobil mewah, ia lebih memilih berjalan kaki di antara masyarakat. Baginya, uang itu bukan miliknya, tetapi milik negara. Sebagian besar bisnisnya datang dari pejabat yang ingin menghilangkan lawan mereka. Ia berhenti di persimpangan, menunggu lampu merah menyala. Sekelompok remaja wanita memandangnya dengan tatapan penuh kekaguman. "Ada yang salah dengan wajahku?" tanya Malvin, tersenyum sedikit menggoda. Mereka tertawa malu, salah seorang dari mereka berkata, "Tidak, Tuan, wajah Anda sempurna." "Berapa umurmu?" tanya mereka serempak. "Sudah sangat tua," jawab Malvin, berharap lampu segera berubah. "Berapa?" tanya mereka penasaran. "30," jawabnya singkat. Mereka terkesima. Bahkan Malvin mendengar bisikan di antara mereka yang tidak percaya bahwa seseorang seumur itu bisa terlihat begitu muda. "Apakah kamu sudah menikah?" tanya mereka lagi. "Kamu pasti sudah," salah seorang dari mereka berujar. "Belum. Ada di antara kalian yang ingin jadi istriku?" goda Malvin, membuat mereka terbahak histeris. Lampu lalu lintas menyala hijau, dan mereka melambaikan tangan, berpisah. Melangkah lebih jauh, matanya tertumbuk pada sepasang keluarga kecil—seorang pria yang menggendong anak laki-laki dan seorang wanita yang bersandar mesra pada suaminya. Malvin berhenti sejenak, matanya memandang diri sendiri di kaca etalase toko. "Apakah sudah saatnya aku mencari pasangan hidup?" gumamnya, sebelum melanjutkan perjalanan ke bar. ---🥀--- Di depan bar, Malvin melihat seorang wanita paruh baya yang menjual bunga. Tanpa berpikir panjang, ia membeli seikat bunga mawar merah dari wanita itu. "Terima kasih, Tuan. Semoga wanita itu semakin menyukai Anda," ucap wanita itu, tersenyum penuh harapan. Malvin hanya tersenyum bingung. Untuk apa ia membeli bunga ini? Saat memasuki bar, seluruh mata tertuju padanya. Malvin melangkah mendekat ke Ziah, yang menyambutnya dengan senyuman lebar. "Hai, Tuan Mafioso," sapa Ziah dengan percaya diri. "Bunga itu untukku?" tanya Ziah, merujuk pada bunga yang Malvin pegang. Malvin menyerahkan satu tangkai mawar tersebut. "Terima kasih," ucap Ziah dengan senyum yang semakin lebar. "Berikan itu pada Rose, bilang padanya aku minta maaf," ujar Malvin, lalu berbalik dan pergi. Ziah berjalan, wajahnya cemberut, sementara seluruh pengunjung bar menertawakan situasi tersebut. Di ruang kerja Rose, ia sedang menyelesaikan jahitan pada baju pria yang duduk di depannya. "Selesai, baju Anda sekarang sudah rapi," ujar Rose sambil tersenyum. Pria itu memuji, "Terima kasih, Rose. Kamu luar biasa, berbeda dari wanita lain di sini." Rose hanya tersenyum, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa pujian itu tidak hanya sekadar kata-kata. "Rose!" Suara Ziah memecah keheningan, membuat mereka berdua terkejut. "Ziah, tolong yang sopan!" tegur Rose, tampak sedikit kesal. "Maafkan saya, Tuan," jawab Ziah dengan membungkuk hormat, sementara pria itu hanya tersenyum. Ziah memberikan bunga mawar itu pada Rose. "Ini dari Malvin, katanya dia minta maaf padamu," jelas Ziah. Rose menerima bunga itu dengan bingung, namun senyum manis terukir di wajahnya. Malvin benar-benar seorang pria yang penuh kejutan. ---🥀--- "Selamat siang, Tuan," sapa Kevin dengan sopan. "Di mana Daniel dan Zico?" tanya Malvin, mencari dua anak buahnya yang lain. "Mereka sudah di sana, menjaga kamar Nona Vinka," jawab Kevin. Malvin meletakkan bunga mawar yang ia bawa di atas meja, lalu mulai memijat pergelangan tangannya. Kevin tertawa kecil. "Kau tidak terbiasa dengan bunga, Tuan?" tanya Kevin dengan nada menggoda. "Daripada bunga, saya lebih suka senjata," jawab Malvin sambil mengernyitkan dahi. Kevin menyodorkan bunga itu kembali. "Bawa saja, Tuan. Mungkin Nona Vinka menyukainya." Malvin menghela napas berat sebelum menerima bunga itu, lalu melangkah keluar menuju kamar Vinka. ---🥀--- Zico terlihat sibuk mengompres Vinka. Sarah, yang mendampinginya, bertanya dengan rasa ingin tahu, "Berapa umurmu?" "17 tahun," jawab Zico singkat. "Wah, kamu yang paling muda ya?" Zico hanya mengangguk. Tiba-tiba, pintu kamar Vinka terbuka, dan Malvin muncul. "Bagaimana keadaannya?" tanya Malvin dengan nada khawatir. "Semakin parah, demamnya tinggi sekali," jawab Sarah. Malvin memberikan botol kaca itu pada Sarah. "Ini obat penawarnya" ujarnya pelan. Sarah dengan hati-hati mencampur obat dan air kompres, lalu mulai mengelap wajah Vinka yang pucat. Malvin membantu menyuapkan obat penawar tersebut pada Vinka. "Semoga saja berhasil," kata Sarah, berharap. "Semoga saja," balas Malvin dengan nada yang sama. Sambil menunggu hasilnya, Malvin memerintahkan Daniel dan Zico untuk kembali bekerja. "Selesaikan tugas kalian di sini." ucapnya. Namun sebelum mereka pergi, Sarah memanggil Daniel. "Daniel, bolehkah aku bicara sebentar?" Daniel menoleh, wajahnya menunjukkan kebingungannya. Malvin hanya tersenyum, mengetahui bahwa ada sesuatu di antara mereka.Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi