Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya.
Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya."Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah."Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta."Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendDOR! Sebuah peluru menembus kepala seorang pria. Gelas yang ia genggam terjatuh dan membentur lantai, pecah berhamburan. Darahnya menyembur ke mana-mana, meninggalkan jejak merah yang menyayat hati. "Aakkh!! Papa!" suara seorang wanita, terengah-engah, berlari mendekati tubuh suaminya yang tergeletak di lantai, bersimbah darah. "Kalian!! Apa yang kalian lakukan!!" DOR! Wanita itu terdiam, terkejut dan tak bisa bergerak saat peluru berikutnya menembus kepalanya. Darah segar mengalir, dan seketika itu juga tubuhnya ambruk, jatuh tak berdaya. "Berisik." Suara pria yang tidak menunjukkan sedikit pun tanda kepanikan itu terdengar dingin dan tanpa emosi. "Bos." Anak buahnya memanggil, menunduk. Pria bernama Malvin itu menoleh, wajahnya datar, seakan tidak terpengaruh dengan darah yang membanjiri lantai rumah mewah itu. Di depannya, seorang wanita dengan rambut hitam panjang bergelombang, mengenakan piyama chemise putih, terdiam di ambang pintu. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan tubu
Sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah besar bergaya klasik dengan dinding putih. Rumah itu berdiri megah, tiga lantai, dengan halaman yang cukup luas. “Wah, besar sekali,” gumam seorang remaja perempuan saat keluar dari mobil. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya Hans,” sambut pelayan rumah dengan sopan. “Kalian sudah tahu kami ke sini untuk apa, kan?” suara Monica, istri Hans, terdengar dingin. “Ya, Nyonya, saya tahu,” jawab pelayan itu pelan. “Kalau begitu, bawakan barang-barang kami. Ayo, sayang,” Monica menarik tangan suaminya. Mereka adalah Hans, adik tiri Tuan Panduwinata, bersama istrinya Monica. Mereka membawa kedua anak mereka: Aldo, putra sulung yang cuek, dan Adellia, putri bungsu yang penuh rencana di balik senyumnya. Para pelayan memandang dengan tatapan tidak suka. Mereka tahu, kehadiran keluarga Hans bukan kabar baik. Dan kalian akan segera mengerti alasannya. ---🥀--- “Sarah? Siapa yang berisik itu?” suara seorang gadis terdengar pelan dari dalam kamar. “Maaf,
Malvin duduk di meja kerjanya, memandang tumpukan uang yang baru saja dihitungnya. Sebagai seorang mafia, pekerjaan apapun bisa ia jalankan, baik yang baik maupun yang buruk. Bahkan, ia tidak ragu untuk menghapus nyawa seseorang jika diperlukan. Meskipun wajahnya sudah dikenali oleh banyak polisi, mereka tidak memiliki kuasa untuk menangkapnya, kecuali jika Malvin sendiri yang menyerahkan diri. Tok! Tok! "Masuk," perintah Malvin dengan suara datar, masih fokus pada uang di hadapannya. Kevin, anak buahnya yang masuk, tampak ragu. Malvin menatapnya, menunggu untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan. "Ada apa, Kevin?" "Tuan, bolehkah saya izin keluar markas?" tanya Kevin, suaranya terdengar penuh kehati-hatian. "Kenapa kau masih bertanya padaku? Pergilah." jawab Malvin, tidak terlalu mempedulikan hal itu. Namun, Kevin tetap berdiri, matanya tertuju pada tumpukan uang yang sedang dihitung Malvin. Malvin mendongak, menatapnya. "Berapa yang kau butuhkan?" Kevin terkeju
Zico memandang Malvin dengan mata terbelalak, jantungnya berdegup begitu kencang hingga nyaris terasa di tenggorokan. Perlahan, pria dewasa itu mengeluarkan pistol dari saku celananya. Dengan tenang, Malvin mengisi senjata itu dengan tiga peluru, membiarkan satu slot kosong. Keringat dingin mulai membasahi kening Zico. Napasnya tersengal, sementara Malvin meletakkan pistol di meja di hadapannya. "Jika kau benar-benar ingin menjadi anak buahku, lakukan sesuatu yang bisa membuatku tertarik padamu," ucap Malvin, senyum licik mulai merekah di bibirnya. Zico menunduk, kedua tangan gemetar. Namun ia mengangguk pelan. "Baiklah." Dengan hati-hati, Zico mengambil pistol itu. Ia mengarahkannya ke tangan kirinya, jari kanannya bersiap menarik pelatuk. Malvin dapat mendengar detak jantung remaja itu, musik yang indah di telinganya. Tatapan Malvin melekat pada wajah ketakutan di hadapannya. Zico menelan ludah keras-keras. Tek! Tubuhnya tersentak, napas tercekat di tenggorokan. Zico mendongak
“Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setiamu tidak menemani, ada mata-mata jahat yang mengintai tubuhmu,” ucap Malvin perlahan, suaranya seakan menembus dinding kesopanan, membuat Aldo, putra Paman Hans, berkeringat dingin. Tanpa berkata apa-apa, Aldo memilih mundur pelan dari ruang tengah itu. Vinka mematung, matanya melebar tak percaya. Ucapan Malvin barusan seperti cambuk di tengah sunyi. Seluruh keluarga Hans, termasuk Adellia dan Nyonya Monica, ikut terdiam. Wajah mereka memucat, tak percaya ada yang berani berbicara seberani itu di dalam rumah mereka. “Bagaimana kau tahu hal seperti itu akan terjadi?!” bentak Vinka, kesal, suaranya bergetar di ujung kalimat. “Itu bukan sesuatu yang akan terjadi,” jawab Malvin dingin. “Itu sudah terjadi.” Ia menoleh santai pada Hans. “Jika keponakanmu tetap menolak keberadaanku di sini, lebih baik aku pergi.” “Tunggu!” Hans mengangkat tangannya, menatap Vinka dengan tatapan tegas. “Baiklah. Kau bisa mulai bekerja hari ini. Sarah, tunjukk
"Tidak mungkin," ucap Sarah tak percaya, setelah selesai membaca isi surat itu. Malvin menggeleng pelan. "Kita tidak tahu rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas itu dari tangan Sarah, melipatnya rapi, dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Sarah menatapnya lekat-lekat. "Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran. "Aku tidak tahu pasti. Pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka. Saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia." ---🥀--- Beberapa tahun silam, Tuan Panduwinata turun dari mobil, menggendong putrinya yang baru berusia lima tahun. Istrinya menyusul, berusaha menghindari kubangan di jalanan becek. "Permisi, apakah Anda tahu alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata kepada seorang warga yang sedang sibuk mengelas kayu. Pria itu melirik kertas yang disodorkan. "Jalan lurus saja. Kalau kau lihat ada satu rumah berdiri sendiri, ya itu dia. Siapa yang mau kau bunuh?" tanyanya, setengah bercanda. Mendengar itu, Tuan Panduwinata cepat-cepat menutup kedua
Malvin berusaha memejamkan matanya, tapi malam terasa begitu panjang, dan matanya justru semakin lebar. Dengan gerakan kasar, ia menarik kaosnya dan melemparkan ke lantai. "Sial!" desisnya, menggertakkan gigi sambil meremas bantal, lalu melemparkannya ke dinding. Ia duduk di pinggir ranjang, memijit pelipisnya pelan. "Baiklah." gumamnya lirih. Malvin bangkit perlahan, mengenakan kembali kaosnya, lalu melangkah menuju pintu. Tangannya memutar gagang pintu perlahan, agar tidak menimbulkan suara berderit yang bisa membangunkan siapa pun di rumah besar itu. Lorong panjang di depannya remang, hanya diterangi lampu dinding yang temaram. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Hatinya berdebar aneh ketika ia sampai di depan kamar Vinka. Namun, alisnya langsung mengerut. Kenapa pintu kamar itu terbuka? Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang khas. "Menarik." bisiknya dalam hati. ---🥀--- Pagi hari, matahari merambat naik perlahan d
Monica tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa pria di depannya, Malvin, sudah mengetahui rencana busuk yang telah disusunnya. Senyuman yang terukir di wajah Malvin itu begitu khas, namun Monica tidak bisa memahami makna di balik senyumannya. Apakah itu senyuman penuh kemenangan, ataukah senyuman yang meremehkan? Tak ada yang bisa membedakan keduanya. “Apa maumu, Malvin?” tanya Monica dengan nada penuh amarah. Malvin memandang Desi yang berdiri di samping Monica, matanya tertunduk dalam ketakutan. “Percuma saja jika saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami Anda pasti akan memihak kepada Andaujar Malvin, dengan nada yang tenang, meskipun perkataannya tajam dan penuh makna. “Apa katamu? Hans sudah tahu?” tanya Monica dengan nada tak percaya, matanya membelalak kaget. “Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya. Lagipula, tugas kita di sini sama,” Malvin menjelaskan sambil meletakkan sebuah foto Vinka di atas meja. “Siapa yang menyuruhmu?” tanya Monica dengan suara
Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya.Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya."Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah."Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta."Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mend
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi
Jessie berusaha melepas ikatan di kaki dan tangannya dengan serpihan kaca kecil yang ia selipkan diam-diam di saku gaun. Sejak awal ia sudah berhati-hati agar tak melukai diri sendiri, tapi kenyataannya tak semudah itu, jari tengahnya tergores saat mencoba menarik keluar serpihan itu. Ia bahkan merasakan perih di pinggang, tempat ia menyembunyikannya tadi. “Sial.” gumam Jessie pelan sambil meringis. Meski begitu, ia tetap gigih memotong tali tambang yang mengikat pergelangan tangannya, meski setiap gerakan kecil membuat lehernya pegal. “Aduh… kenapa sih mereka tega begini? Semakin menarik saja, mafia-mafia ini.” Jessie bergumam sendirian, mencoba menjaga pikirannya tetap sibuk agar tidak panik menghadapi situasi gawat ini. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu. Jessie reflek berhenti, buru-buru berpura-pura seperti tahanan yang patuh. “Ah, sialan…” sumpahnya dalam hati. Pintu terbuka kasar. Seorang pria bertubuh besar mendorong seorang wanita masuk. Jessie menatap wanita
Jessie melangkah anggun di antara para tamu pesta. Dengan tubuh ramping dan gaun yang memeluk lekuknya, ia tampak seperti Nyonya besar sejati. Tak heran jika hampir semua mata pria tertuju padanya malam itu. Tak jauh, Hans mendekati Malvin dengan senyum menyeringai. “Drama wanita itu… luar biasa, ya,” bisiknya. Malvin membalas dengan senyum tipis. “Dia mirip Monica, bukan?” ucapnya, sengaja membalikkan keadaan. Hans sejenak tersipu, lalu memilih menjauh dengan langkah kecil, pura-pura tidak terusik. Dengan gerakan kecil, Malvin memencet tombol kecil di jasnya. Jessie dan Hans melakukan hal yang sama, alat komunikasi mungil mereka tersambung. Tak lama, Malvin menghampiri seorang wanita elegan di tepi ruangan. Ia menyunggingkan senyuman ramah. “Sudah sering datang ke acara seperti ini?” suaranya hangat, penuh ketenangan. Wanita itu, yang memegang gelas anggur, tersenyum menggoda. “Sudah sepuluh tahun. Ini dunia kecil saya.” Malvin mengangguk pelan. “Saya baru pertama kali. Ada sa
“Berapa banyak topeng yang kau pakai, hah!?” bentak Sarah, suaranya bergetar menahan marah. “Sarah!!” seru Malvin, suaranya memecah ketegangan di ruangan itu. Semua orang langsung terdiam. Kevin segera memberi isyarat pada Jessie dan Zico untuk meninggalkan ruangan, dan keduanya patuh tanpa banyak tanya. “Tuan Hans tidak tahu apa-apa…” suara Malvin melembut. “Awalnya Vinka bersamaku. Tapi seseorang menculiknya. Aku minta maaf padamu.” Sarah menatap tajam. “Dan sekarang dia di mana?” “Aku sedang berusaha mencarinya. Jadi, bisakah kau diam sejenak? Kita perlu menyusun rencana. Mohon, mengertilah…” Dengan helaan napas berat, Sarah melangkah ke kursi dan duduk perlahan. “Baiklah. Itu urusanmu. Aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.” “Sarah…” Daniel hendak bicara, tapi Malvin mengangkat tangan menghentikannya. Tanpa berkata apa-apa, Malvin menuju ruangannya. Dia melihat Zico berdiri di dekat pintu. “Zico.” panggilnya pelan. Anak muda itu langsung paham maksudnya dan segera memang