Anggota Mafia disebut "mafioso", yang berarti "pria terhormat". "Tidak ada Jodoh untuk seorang Mafia." Itu yang selalu di ucapkan Malvin pada anak buahnya. Malvin adalah ketua mafia bayaran, yang memiliki anak buah di penjuru dunia. Mereka selalu menjalankan tugas dari pelanggan dengan bayaran tertinggi. Begitu juga dengan tugas yang ia jalankan saat ini, membunuh keluarga besar Panduwinata. Namun, ia menyisakan satu orang dalam rumah itu. Seorang wanita, Vinka. Entah apa rencana Malvin, ia memata-matai Vinka dan keluarga adik Tuan Panduwinata, dengan menjadi pelayan di rumah mereka. Tidak ada yang tau, bahwa dirinya adalah seorang mafia yang mengicar nyawa seseorang, bahkan ia harus merubah suaranya yang dingin menjadi sedikit ceria di depan Vinka. "Ini menjijikan." Selama Malvin di rumah keluarga Panduwinata, ia bisa melihat sifat asli mereka, yang membuatnya semakin ingin memberikan pelajaran. Namun, berjalannya waktu, Malvin harus mencari jodoh, untuk dirinya, setidaknya ia harus memiliki anak laki-laki untuk menggantikannya nanti. Pengantin untuk Tuan Mafioso. Pengumuman itu terlihat jelas, banyak yang menginginkannya, namun mereka tidak tau siapa Tuan Mafioso itu, mereka hanya tau dia adalah "Pria terhormat."
View MoreDOR!
Sebuah peluru menembus kepala seorang pria. Gelas yang ia genggam terjatuh dan membentur lantai, pecah berhamburan. Darahnya menyembur ke mana-mana, meninggalkan jejak merah yang menyayat hati. "Aakkh!! Papa!" suara seorang wanita, terengah-engah, berlari mendekati tubuh suaminya yang tergeletak di lantai, bersimbah darah. "Kalian!! Apa yang kalian lakukan!!" DOR! Wanita itu terdiam, terkejut dan tak bisa bergerak saat peluru berikutnya menembus kepalanya. Darah segar mengalir, dan seketika itu juga tubuhnya ambruk, jatuh tak berdaya. "Berisik." Suara pria yang tidak menunjukkan sedikit pun tanda kepanikan itu terdengar dingin dan tanpa emosi. "Bos." Anak buahnya memanggil, menunduk. Pria bernama Malvin itu menoleh, wajahnya datar, seakan tidak terpengaruh dengan darah yang membanjiri lantai rumah mewah itu. Di depannya, seorang wanita dengan rambut hitam panjang bergelombang, mengenakan piyama chemise putih, terdiam di ambang pintu. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan tubuhnya terbungkus kedinginan. Ketiga pembunuh itu memandangi wanita itu. Salah satu dari mereka, yang tampaknya lebih muda, mulai menggenggam senjatanya, bersiap untuk menembak. Namun, Malvin mengangkat tangannya, memberi tanda untuk menahan diri. “Ayah... ibu...?” wanita itu memanggil dengan suara lirih, langkah kakinya terhuyung, berjalan pelan ke arah tubuh kedua orangtuanya yang tak bernyawa. Tangannya meraba-raba udara, mencari sesuatu untuk menopang dirinya. “Dia buta?” bisik salah satu pria itu, suaranya terkejut. “Ah! Siapa itu!?” wanita itu tiba-tiba berteriak panik, merasakan kehadiran seseorang yang tak ia kenal. “Tenang,” ujar Malvin dengan suara dingin. “Tugas kita selesai. Mari pergi.” Tanpa menunggu lebih lama, ia memberi perintah kepada anak buahnya. “Tidak... kalian tidak bisa pergi begitu saja!” wanita itu berteriak histeris, tubuhnya mulai gemetar. “Siapa kalian?! Kenapa kalian melakukan ini?!” Ketiga pria itu melompat keluar melalui jendela rumah besar tersebut, tertawa terbahak-bahak sambil berlari di halaman yang luas, meninggalkan wanita yang tak tahu apa-apa dan rumah yang kini hanya dipenuhi oleh darah. Mereka naik ke dalam mobil pickup putih dan menghilang dalam kegelapan malam. Beberapa detik kemudian, para polisi akhirnya datang, namun tak menyadari kehadiran para pembunuh yang baru saja melarikan diri. Mobil mereka bahkan sempat berpapasan, namun tak ada yang menyadari. BRAK! Sebuah meja di ruang kerja dipukul keras oleh seorang pria bertubuh besar. Wajahnya dipenuhi amarah, matanya tajam menatap ke arah seseorang yang tampak sibuk dengan pekerjaannya. “Aku menyuruh kalian untuk membunuh seluruh keluarga Panduwinata! Kenapa kalian menyisakan anak gadisnya?!” teriak pria itu dengan nada mengguntur. “Pak, jangan marah pada saya,” jawab salah seorang pria yang terdengar lebih tenang, “tanyakan ini pada Tuan kami.” “Tuan kalian! Di mana dia?!” Pria itu tak sabar, suaranya serak menahan amarah. Pintu ruang kerja terbuka. Seorang wanita keluar, tersenyum dengan wajah anggun yang tidak mencerminkan ketegangan apapun. “Dia Tuanmu?” tanya pria itu dengan kebingungan, menunjuk wanita itu. Wanita tersebut melambai-lambaikan tangannya, mencoba menenangkan. "Bukan. Aku bukan siapa-siapa. Tuan ada di dalam." Seketika, pria itu melangkah masuk, berharap menemukan penjelasan. Namun, ia mendapati ruangan itu kosong. “Ada yang bisa saya bantu?” suara berat dari belakangnya membuat pria itu terkejut. Ia menoleh, dan di sana berdiri seorang pria tinggi besar, tubuhnya gagah dengan lengan yang terlihat kuat di balik kemeja yang ia kenakan. “Kenapa kau tidak membunuh gadis itu?” tanya pria itu tanpa basa-basi. “Gadis? Yang mana?” jawab Malvin, tetap tenang. “Anak gadis Tuan Panduwinata!” jawabnya, gusar. Malvin tersenyum tipis, bibirnya melengkungkan senyum tajam yang membuat udara seakan menegang. “Bisakah kau... tidak tersenyum seperti itu?” kata pria itu, merasa sedikit terganggu oleh ekspresi Malvin yang begitu dingin dan penuh teka-teki. “Alasannya sederhana,” ujar Malvin, memutar kursi kerjanya. “Kami punya sumpah. Tidak membunuhnya adalah bagian dari itu. Lagi pula... gadis itu bisa menjadi alat yang berguna. Bukankah itu yang kau inginkan?” Mendengar itu, pria tersebut terdiam sejenak, seakan berpikir, sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan keluar. “Tentu, saya akan melakukannya,” katanya sambil pergi. Di tempat lain, seorang pelayan wanita sedang mengikat rambut seorang gadis muda, tampaknya berusia sekitar 20 tahun, yang duduk di depan cermin. Gadis itu adalah Vinka, putri dari keluarga Panduwinata, yang menjadi korban pembunuhan mengerikan semalam. Namun, Vinka tak bisa melihat kejadian itu, dia buta. “Nona Vinka?” pelayan itu menyapa, khawatir. Vinka menoleh sedikit, meski tak bisa melihat apa-apa. “Tidak apa-apa,” jawabnya lemah, suaranya terdengar teredam dan cemas. Tok! Tok! Tok! Pintu kamar terdengar diketuk. Seorang pelayan lain muncul. “Ada apa, Desi?” tanya pelayan yang sedang membantu Vinka. “Ada polisi dan keluarga adik Tuan Besar di ruang tamu, Nona,” jawab Desi. Vinka hanya mengangguk, merasa seolah dunia sekitarnya terbalik. Ia terjebak dalam dunia yang tak ia pahami, namun begitu penuh dengan kegelapan. Di ruang tamu, Vinka digandeng dengan hati-hati oleh pelayan, Desi, menuruni tangga. “Vinka,” suara lembut seorang wanita datang dari belakangnya. Vinka tahu itu suara Victoria, bibinya, istri Tuan James, pengusaha sukses. Victoria memeluk Vinka erat, memberi dukungan. "Tabah ya, sayang. Tante dan Om akan selalu ada untukmu." Polisi yang ada di ruangan itu memandang mereka, terhitung sangat berhati-hati. “Mungkin... dia mengenali suara pelaku?” tanya polisi, berbicara dengan pelan. Victoria mengangguk. "Mungkin, dia bisa memberi kami petunjuk." Namun, kebutaan Vinka membuatnya tak bisa mengenali wajah. Saksi hidup yang hanya bisa mengingat suara, itulah yang dimiliki mereka sekarang. Di ruang pribadi yang gelap, Malvin menatap foto di tangannya dengan senyum yang tak terbaca. Foto itu milik Vinka. Ia tersenyum tipis, menyadari sesuatu yang lebih besar akan datang. "Secara tidak langsung... aku sudah membungkukkan badan padanya," gumam Malvin pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Vinka... ini menarik," tambahnya, memandangi foto itu dengan penuh rasa penasaran yang mengerikan. Malvin tersenyum tipis, matanya masih menatap foto Vinka. Tangan kirinya memegang benda lain, sebuah benda kecil yang mengingatkannya pada sebuah janji. Itu adalah cincin pernikahan yang pernah dimiliki oleh ayah Vinka. Cincin yang sudah lama hilang, kini ia temukan kembali, sebagai bagian dari permainan yang lebih besar. “Aku harus bergerak cepat,” gumamnya, lalu bangkit dari kursinya dengan kecepatan yang tak terduga. Ia meninggalkan ruang gelap itu, hanya meninggalkan seberkas cahaya yang temaram di belakangnya. Di luar, hujan mulai turun dengan deras. Malvin melangkah keluar dengan kepala tegak, menuju kendaraan yang sudah menunggu. Mobil itu membawa dirinya jauh dari kekacauan ini, namun di dalam hatinya, ketegangan tetap menggantung. Masih ada satu hal yang belum selesai. ---🥀--- Di rumah besar Panduwinata, suasana menjadi lebih mencekam setelah insiden malam itu. Vinka yang tak bisa melihat kejadian berdarah tersebut, mulai merasakan keanehan yang datang dari dalam dirinya. Keheningan di sekelilingnya terasa semakin menekan, seakan ada yang mengawasinya setiap saat. Setiap langkahnya di rumah itu terasa semakin berat. Victoria, bibinya, terus memberikan dukungan, namun Vinka bisa merasakan adanya ketidakberesan di antara mereka. Bibi yang selalu tampak perhatian, kini terlihat berbeda. Ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan, dan Vinka mulai merasa curiga. “Victoria... ada yang tidak beres, kan?” tanya Vinka lirih, suaranya sedikit gemetar. “Katakan yang sebenarnya, apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa mereka dibunuh?” Victoria menatapnya dalam-dalam, lalu menunduk. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Vinka, ada banyak hal yang... mungkin kamu tidak siap untuk mengetahuinya,” jawab Victoria pelan. Vinka merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pembunuhan yang terjadi malam itu, dan ia merasakannya dalam setiap getaran tubuhnya. Di luar jendela, suara petir menyambar, dan angin kencang menggoyang pohon-pohon besar di halaman rumah. Sesuatu yang buruk akan datang. ---🥀--- Kembali di markas Malvin, pria itu duduk di ruang utama yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya dari layar komputer di depannya. Ia mengklik beberapa file yang berisi informasi tentang keluarga Panduwinata. Setiap klik semakin memperjelas rencananya, namun juga membuka lebih banyak pintu yang berisiko. Tiba-tiba, sebuah suara berdering, menandakan pesan masuk. Malvin membuka pesan itu dengan cepat. Di layar, tertulis pesan singkat: “Mereka tahu tentangmu.” Malvin terdiam. Pesan ini datang dari sumber yang sangat tepercaya, seseorang yang telah lama bekerja di belakang layar, dan memiliki informasi yang sangat berharga. Namun, sekarang, ancaman itu datang semakin dekat. “Tunggu dulu, Vinka,” gumamnya. “Aku akan memastikan semuanya berakhir dengan cara yang aku inginkan.” Dengan cepat, ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. “Segera. Aku butuh informasi lebih banyak tentang gadis itu dan siapa yang mungkin sedang melindunginya.” Pesan singkat yang ia terima beberapa saat lalu hanyalah permulaan dari masalah yang lebih besar. Sebuah permainan besar telah dimulai, dan Malvin berniat untuk menjadi pemenangnya. ---🥀--- Di rumah Panduwinata, Vinka merasakan seakan dunia sekitarnya menghilang. Ia berdiri di balkon, menatap ke luar jendela, memperhatikan hujan yang deras. Sekejap, bayangan seseorang melintas di belakangnya, namun ketika ia menoleh, tak ada siapa pun. Ia menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, entah mengapa, ia merasa ada yang mengikuti, ada yang mengawasi dari kejauhan. Sesuatu yang jahat, sesuatu yang gelap dan tak terduga. “Apa yang terjadi padaku?” Vinka bergumam, merasakan kegelapan yang semakin mendekat. Namun, ia tak tahu bahwa jawaban dari pertanyaannya sudah mulai ada di depan matanya. Malvin, dengan rencananya yang kejam, hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. ---🥀--- Dengan langkah yang penuh perhitungan, Malvin menyelesaikan segalanya dengan satu tujuan: mendapatkan kendali penuh atas keluarga Panduwinata dan menghancurkan mereka dari dalam. Tapi, Vinka, anak gadis itu, adalah kunci dari segalanya. Entah ia tahu atau tidak, Vinka adalah bagian dari takdir yang lebih besar, yang akan mengubah semua yang ia kenal. Waktu semakin sempit. ---🥀--- Di ruangan gelap itu, Malvin memandangi cincin yang ada di tangannya sekali lagi, menatap simbol dari masa lalu yang akan membawa mereka ke masa depan yang tak terduga. Sebuah permainan yang penuh dengan darah, kebohongan, dan takdir yang tak bisa dihindari.Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments