Share

Chapter 8 Sisi Gelap

Author: Riska Prakoso
last update Last Updated: 2021-06-14 02:13:40

Monica tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa pria di depannya, Malvin, sudah mengetahui rencana busuk yang telah disusunnya. Senyuman yang terukir di wajah Malvin itu begitu khas, namun Monica tidak bisa memahami makna di balik senyumannya. Apakah itu senyuman penuh kemenangan, ataukah senyuman yang meremehkan? Tak ada yang bisa membedakan keduanya.

“Apa maumu, Malvin?” tanya Monica dengan nada penuh amarah.

Malvin memandang Desi yang berdiri di samping Monica, matanya tertunduk dalam ketakutan.

“Percuma saja jika saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami Anda pasti akan memihak kepada Andaujar Malvin, dengan nada yang tenang, meskipun perkataannya tajam dan penuh makna.

“Apa katamu? Hans sudah tahu?” tanya Monica dengan nada tak percaya, matanya membelalak kaget.

“Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya. Lagipula, tugas kita di sini sama,” Malvin menjelaskan sambil meletakkan sebuah foto Vinka di atas meja.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Monica dengan suara rendah namun penuh tekanan.

Malvin tersenyum, dengan senyuman yang tak bisa dipahami. “Itu privasi, saya tidak bisa memberitahunya,” jawabnya pelan.

Monica semakin marah. “Katakan apa maumu, Malvin?” tanyanya, suaranya menuntut jawaban.

“Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya,” kata Malvin dengan dingin, matanya menatap tajam pada Monica.

Mata Desi terbelalak, ketakutan yang nyata tergambar di wajahnya. Tubuhnya gemetar, namun ia tak bisa berkata apa-apa.

---🥀---

Makan siang di penjara bawah tanah berlangsung hening. Penjaga membawa piring berisi nasi dengan lauk yang tampak tak jelas, dan Sarah dengan marah melemparkan piring itu ke dinding.

“Kurang ajar, kau melawan kami!” teriak penjaga itu, sambil mengeluarkan rotan dari pinggangnya dan mempersiapkan diri untuk memukul Sarah. Rasa takut menyelimuti hati Sarah, dan ia hanya bisa pasrah menunggu pukulan yang tak kunjung datang. Namun, pukulan itu tak pernah datang. Sarah menoleh dan mendapati sosok yang sangat dikenal.

“Malvin?”

“Apa-apaan ini!?” seru penjaga itu, tak terima dengan kedatangan Malvin yang tiba-tiba.

Malvin menyodorkan surat perintah yang dibuat oleh Monica, yang berisi perintah untuk membebaskan Sarah. Penjaga itu menatap surat tersebut sejenak, ragu-ragu, kemudian mendongak menatap Malvin.

“Jika Anda tidak percaya, Anda bisa menanyakannya langsung kepada Nyonya Monica." kata Malvin dengan nada tegas dan dewasa.

Penjaga itu menghela napas berat, membuka rantai yang mengikat kaki Sarah, lalu pergi meninggalkan mereka. Malvin mengamati kepergian penjaga itu.

“Malvin, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sarah dengan kebingungan.

Malvin menoleh dan tersenyum. “Nyonya Monica adalah pelakunya, tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena Tuan Hans pun melindunginya,” jelas Malvin dengan tenang.

“Apa? Ini tidak adil!” Sarah hampir berteriak, frustasi dengan kenyataan yang ia hadapi.

Malvin hanya tersenyum kecil. “Ya, inilah hidup. Kau harus siap memainkan peran di tengah-tengah pemeran utama,” ujar Malvin, sambil mencoba membantu Sarah berdiri.

“Aaak!” Sarah terjatuh kembali, kesakitan.

“Ada apa?” tanya Malvin, terkejut. Ia segera memeriksa kaki Sarah.

“Penjaga itu terlalu kuat mengikat kakiku,” jawab Sarah dengan suara lemah.

Malvin terdiam sejenak, memperhatikan kaki Sarah yang terluka.

“Baiklah,” Malvin berkata dengan lembut, lalu mencoba menggendong Sarah dengan hati-hati.

“Malvin, apa yang kau lakukan?” tanya Sarah, merasa canggung dengan perlakuan ini.

“Diam saja, kalau kau terus berbicara, kau hanya akan bertambah berat,” jawab Malvin dengan nada santai.

Sarah merasa sangat malu. Baru kali ini ia diperlakukan seperti ini oleh seorang pria. Malvin berjalan pelan menuruni lorong, membawa Sarah menuju kamar. Setiap pelayan yang mereka lewati hanya bisa menatap dengan heran. Sesampainya di kamar, Malvin dengan hati-hati membantu Sarah duduk di tempat tidur.

“Terima kasih,” ucap Sarah, suaranya pelan namun penuh rasa terima kasih.

“Cepat sembuhkan kakimu, karena aku punya misi untukmu,” jawab Malvin dengan tegas, lalu berbalik meninggalkan Sarah yang hanya bisa terdiam, sambil tersenyum tipis.

---🥀---

Keesokan harinya, udara pagi yang cerah tidak mampu menghangatkan suasana di dalam rumah besar tersebut. Sejak peristiwa racunnya Vinka, seluruh pelayan dan pekerja di rumah itu menjadi bungkam, menutup rapat-rapat pembicaraan tentang siapa pelaku di balik kejadian tersebut. Namun, bagi Monica, itu bukanlah masalah. Dia tahu, dia adalah orang yang berkuasa di sini, sementara Desi harus menanggung akibatnya. Bahkan Sarah, sahabatnya, sudah tak lagi memperdulikannya.

Tiba-tiba, Desi menabrak seseorang dan langsung membungkuk meminta maaf. “Tidak apa-apa, Desi, semua orang bisa berbuat salah, bukan?” kata Malvin sambil melanjutkan langkahnya, meninggalkan Desi yang masih terisak menahan amarah dan air mata.

Sarah mendekat, menyaksikan kepergian Desi yang kini terpinggirkan.

“Jadi, apa rencanamu?” tanya Sarah penasaran, matanya tidak lepas dari wajah Malvin.

Malvin tersenyum dengan misterius.

---🥀---

“Aku ingin kau menjaga Vinka, sementara aku pergi mencari obat penawarnya.”

“Lalu?”

“Terus jaga dia, jangan pernah keluar dari kamar itu. Kalau perlu, kunci saja pintunya.”

Malvin membuka pintu kamar Vinka, lalu dengan cepat mengunci pintu tersebut. “Aku sengaja mengunci kamar ini, agar si brengsek itu tidak bisa berbuat hal yang sama lagi.”

“Lalu Tuan Hans? Apa dia tidak marah?” tanya Sarah, sedikit cemas.

“Dia sudah tahu siapa aku,” jawab Malvin sambil tersenyum penuh arti.

“Benarkah?” tanya Sarah, tak yakin.

Malvin hanya tersenyum kembali, lalu meninggalkan Sarah yang duduk di samping Vinka yang masih tertidur. Sarah membelai rambut majikannya itu dengan lembut.

“Aku akan menjaganya, kau tenang saja,” ucap Sarah dengan penuh keyakinan.

Malvin melangkah mundur dan meninggalkan kamar, berlari cepat menuju kamar untuk mengambil tasnya, lalu menuju mobil dengan langkah penuh tujuan. Ia bergegas keluar dari rumah besar itu tanpa sepengetahuan siapa pun. Namun, di sebuah jendela lantai dua, seseorang memperhatikan setiap gerakan Malvin dengan tajam.

---🥀---

Malvin berjalan menuruni tangga menuju markas pribadinya.

“Tuan!” seru Zico dengan gembira.

“Hai, Zico, apa kabar?”

“Seharusnya aku yang bertanya, ke mana saja Tuan?” jawab Zico, penuh rasa ingin tahu.

Malvin tersenyum tipis. “Tentunya mengerjakan tugas,” jawabnya, tidak membocorkan apapun.

Daniel dan Kevin yang sedang duduk di meja memandang Malvin, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Aku punya tugas untuk kalian,” ujar Malvin, sambil mengeluarkan sebuah botol kaca dari dalam sakunya dan meletakkannya di atas meja. Semua anak buah Malvin langsung menatap botol itu dengan serius.

“Itu racun, kan?” tanya Daniel.

“Ya.”

“Lalu, Anda membunuhnya dengan racun?” tanya Kevin, penasaran.

“Aku ingin kalian mencari tahu siapa pembuat racun ini. Jika sudah, laporkan padaku,” kata Malvin dengan nada tegas.

“Baik, Tuan!” jawab anak buah Malvin serempak.

Malvin melihat Zico yang sibuk menyiapkan keperluan untuk Daniel. “Daniel, jaga anak buahmu,” ucap Malvin sambil menepuk pundaknya.

“Baik, Tuan,” jawab Daniel dengan hormat.

Malvin berjalan menaiki tangga menuju bar. Namun, saat hendak keluar, seseorang tiba-tiba menarik tangannya.

“Malvin, maafkan aku. Ayo kita perbaiki semuanya.”

Dengan perlahan, Malvin melepaskan tangan wanita itu.

“Maafkan aku, Rose. Kau tidak bisa mengurungku lagi.”

“Malvin?”

“Maafkan aku.” Malvin melangkah mundur dan meninggalkan Rose, meninggalkannya bersama pengunjung bar yang menatap penuh perhatian. Rose menangis, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

---🥀---

Malvin menatap gedung putih yang menjulang tinggi di depannya, penuh ketegasan dan keanggunan.

“Baiklah,” ujarnya pelan, lalu melangkah masuk ke dalam gedung tersebut. Penjaga pintu membukakan pintu untuknya dan memberikan salam.

“Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang resepsionis dengan sopan.

“Saya ingin bertemu dengan Tuan Bram.”

“Apakah sudah membuat janji?”

“Bilang padanya, Malvin ingin bertemu.”

Resepsionis itu segera mengangkat telepon dan berbicara dengan seseorang. Belum sampai sepuluh detik, resepsionis itu tersenyum dan memberi isyarat.

“Silakan, Anda di tunggu di ruangannya.”

Malvin berjalan menuju lift, menuju lantai tiga. Sepi, tak ada siapa pun di sana. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang sedang mengepel lantai. Malvin mencari ruang dokter Bram.

Langkahnya terhenti di depan pintu ruang dokter. Berat rasanya untuk melangkah masuk, karena hari ini, saat ini, detik ini, ia melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, merasa peduli pada seseorang.

Malvin melangkah mundur, berniat pergi dari tempat tersebut.

“Malvin,” panggil seseorang dari belakang.

Dokter Bram, yang memeriksa Vinka, mendekat dan menepuk pundak Malvin, membuatnya terkejut.

“Apa kau masih ragu-ragu?” tanya Bram dengan nada lembut.

Malvin menatap Bram dengan mata yang dalam, seolah berusaha mencari jawaban dari dirinya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 29 Malam Penuh Pengkhianatan

    Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 28 Sebuah Pengakuan

    Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 27 Luka Yang Tidak Terlihat

    “Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 26 Bayangan Yang Tersembunyi

    Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 25 Tali Yang Renggang

    “Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 24 Kenangan Yang Menjerat

    Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status