Monica tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa pria di depannya, Malvin, sudah mengetahui rencana busuk yang telah disusunnya. Senyuman yang terukir di wajah Malvin itu begitu khas, namun Monica tidak bisa memahami makna di balik senyumannya. Apakah itu senyuman penuh kemenangan, ataukah senyuman yang meremehkan? Tak ada yang bisa membedakan keduanya.
“Apa maumu, Malvin?” tanya Monica dengan nada penuh amarah. Malvin memandang Desi yang berdiri di samping Monica, matanya tertunduk dalam ketakutan. “Percuma saja jika saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami Anda pasti akan memihak kepada Andaujar Malvin, dengan nada yang tenang, meskipun perkataannya tajam dan penuh makna. “Apa katamu? Hans sudah tahu?” tanya Monica dengan nada tak percaya, matanya membelalak kaget. “Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya. Lagipula, tugas kita di sini sama,” Malvin menjelaskan sambil meletakkan sebuah foto Vinka di atas meja. “Siapa yang menyuruhmu?” tanya Monica dengan suara rendah namun penuh tekanan. Malvin tersenyum, dengan senyuman yang tak bisa dipahami. “Itu privasi, saya tidak bisa memberitahunya,” jawabnya pelan. Monica semakin marah. “Katakan apa maumu, Malvin?” tanyanya, suaranya menuntut jawaban. “Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya,” kata Malvin dengan dingin, matanya menatap tajam pada Monica. Mata Desi terbelalak, ketakutan yang nyata tergambar di wajahnya. Tubuhnya gemetar, namun ia tak bisa berkata apa-apa. ---🥀--- Makan siang di penjara bawah tanah berlangsung hening. Penjaga membawa piring berisi nasi dengan lauk yang tampak tak jelas, dan Sarah dengan marah melemparkan piring itu ke dinding. “Kurang ajar, kau melawan kami!” teriak penjaga itu, sambil mengeluarkan rotan dari pinggangnya dan mempersiapkan diri untuk memukul Sarah. Rasa takut menyelimuti hati Sarah, dan ia hanya bisa pasrah menunggu pukulan yang tak kunjung datang. Namun, pukulan itu tak pernah datang. Sarah menoleh dan mendapati sosok yang sangat dikenal. “Malvin?” “Apa-apaan ini!?” seru penjaga itu, tak terima dengan kedatangan Malvin yang tiba-tiba. Malvin menyodorkan surat perintah yang dibuat oleh Monica, yang berisi perintah untuk membebaskan Sarah. Penjaga itu menatap surat tersebut sejenak, ragu-ragu, kemudian mendongak menatap Malvin. “Jika Anda tidak percaya, Anda bisa menanyakannya langsung kepada Nyonya Monica." kata Malvin dengan nada tegas dan dewasa. Penjaga itu menghela napas berat, membuka rantai yang mengikat kaki Sarah, lalu pergi meninggalkan mereka. Malvin mengamati kepergian penjaga itu. “Malvin, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sarah dengan kebingungan. Malvin menoleh dan tersenyum. “Nyonya Monica adalah pelakunya, tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena Tuan Hans pun melindunginya,” jelas Malvin dengan tenang. “Apa? Ini tidak adil!” Sarah hampir berteriak, frustasi dengan kenyataan yang ia hadapi. Malvin hanya tersenyum kecil. “Ya, inilah hidup. Kau harus siap memainkan peran di tengah-tengah pemeran utama,” ujar Malvin, sambil mencoba membantu Sarah berdiri. “Aaak!” Sarah terjatuh kembali, kesakitan. “Ada apa?” tanya Malvin, terkejut. Ia segera memeriksa kaki Sarah. “Penjaga itu terlalu kuat mengikat kakiku,” jawab Sarah dengan suara lemah. Malvin terdiam sejenak, memperhatikan kaki Sarah yang terluka. “Baiklah,” Malvin berkata dengan lembut, lalu mencoba menggendong Sarah dengan hati-hati. “Malvin, apa yang kau lakukan?” tanya Sarah, merasa canggung dengan perlakuan ini. “Diam saja, kalau kau terus berbicara, kau hanya akan bertambah berat,” jawab Malvin dengan nada santai. Sarah merasa sangat malu. Baru kali ini ia diperlakukan seperti ini oleh seorang pria. Malvin berjalan pelan menuruni lorong, membawa Sarah menuju kamar. Setiap pelayan yang mereka lewati hanya bisa menatap dengan heran. Sesampainya di kamar, Malvin dengan hati-hati membantu Sarah duduk di tempat tidur. “Terima kasih,” ucap Sarah, suaranya pelan namun penuh rasa terima kasih. “Cepat sembuhkan kakimu, karena aku punya misi untukmu,” jawab Malvin dengan tegas, lalu berbalik meninggalkan Sarah yang hanya bisa terdiam, sambil tersenyum tipis. ---🥀--- Keesokan harinya, udara pagi yang cerah tidak mampu menghangatkan suasana di dalam rumah besar tersebut. Sejak peristiwa racunnya Vinka, seluruh pelayan dan pekerja di rumah itu menjadi bungkam, menutup rapat-rapat pembicaraan tentang siapa pelaku di balik kejadian tersebut. Namun, bagi Monica, itu bukanlah masalah. Dia tahu, dia adalah orang yang berkuasa di sini, sementara Desi harus menanggung akibatnya. Bahkan Sarah, sahabatnya, sudah tak lagi memperdulikannya. Tiba-tiba, Desi menabrak seseorang dan langsung membungkuk meminta maaf. “Tidak apa-apa, Desi, semua orang bisa berbuat salah, bukan?” kata Malvin sambil melanjutkan langkahnya, meninggalkan Desi yang masih terisak menahan amarah dan air mata. Sarah mendekat, menyaksikan kepergian Desi yang kini terpinggirkan. “Jadi, apa rencanamu?” tanya Sarah penasaran, matanya tidak lepas dari wajah Malvin. Malvin tersenyum dengan misterius. ---🥀--- “Aku ingin kau menjaga Vinka, sementara aku pergi mencari obat penawarnya.” “Lalu?” “Terus jaga dia, jangan pernah keluar dari kamar itu. Kalau perlu, kunci saja pintunya.” Malvin membuka pintu kamar Vinka, lalu dengan cepat mengunci pintu tersebut. “Aku sengaja mengunci kamar ini, agar si brengsek itu tidak bisa berbuat hal yang sama lagi.” “Lalu Tuan Hans? Apa dia tidak marah?” tanya Sarah, sedikit cemas. “Dia sudah tahu siapa aku,” jawab Malvin sambil tersenyum penuh arti. “Benarkah?” tanya Sarah, tak yakin. Malvin hanya tersenyum kembali, lalu meninggalkan Sarah yang duduk di samping Vinka yang masih tertidur. Sarah membelai rambut majikannya itu dengan lembut. “Aku akan menjaganya, kau tenang saja,” ucap Sarah dengan penuh keyakinan. Malvin melangkah mundur dan meninggalkan kamar, berlari cepat menuju kamar untuk mengambil tasnya, lalu menuju mobil dengan langkah penuh tujuan. Ia bergegas keluar dari rumah besar itu tanpa sepengetahuan siapa pun. Namun, di sebuah jendela lantai dua, seseorang memperhatikan setiap gerakan Malvin dengan tajam. ---🥀--- Malvin berjalan menuruni tangga menuju markas pribadinya. “Tuan!” seru Zico dengan gembira. “Hai, Zico, apa kabar?” “Seharusnya aku yang bertanya, ke mana saja Tuan?” jawab Zico, penuh rasa ingin tahu. Malvin tersenyum tipis. “Tentunya mengerjakan tugas,” jawabnya, tidak membocorkan apapun. Daniel dan Kevin yang sedang duduk di meja memandang Malvin, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Aku punya tugas untuk kalian,” ujar Malvin, sambil mengeluarkan sebuah botol kaca dari dalam sakunya dan meletakkannya di atas meja. Semua anak buah Malvin langsung menatap botol itu dengan serius. “Itu racun, kan?” tanya Daniel. “Ya.” “Lalu, Anda membunuhnya dengan racun?” tanya Kevin, penasaran. “Aku ingin kalian mencari tahu siapa pembuat racun ini. Jika sudah, laporkan padaku,” kata Malvin dengan nada tegas. “Baik, Tuan!” jawab anak buah Malvin serempak. Malvin melihat Zico yang sibuk menyiapkan keperluan untuk Daniel. “Daniel, jaga anak buahmu,” ucap Malvin sambil menepuk pundaknya. “Baik, Tuan,” jawab Daniel dengan hormat. Malvin berjalan menaiki tangga menuju bar. Namun, saat hendak keluar, seseorang tiba-tiba menarik tangannya. “Malvin, maafkan aku. Ayo kita perbaiki semuanya.” Dengan perlahan, Malvin melepaskan tangan wanita itu. “Maafkan aku, Rose. Kau tidak bisa mengurungku lagi.” “Malvin?” “Maafkan aku.” Malvin melangkah mundur dan meninggalkan Rose, meninggalkannya bersama pengunjung bar yang menatap penuh perhatian. Rose menangis, menutup wajahnya dengan kedua tangan. ---🥀--- Malvin menatap gedung putih yang menjulang tinggi di depannya, penuh ketegasan dan keanggunan. “Baiklah,” ujarnya pelan, lalu melangkah masuk ke dalam gedung tersebut. Penjaga pintu membukakan pintu untuknya dan memberikan salam. “Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang resepsionis dengan sopan. “Saya ingin bertemu dengan Tuan Bram.” “Apakah sudah membuat janji?” “Bilang padanya, Malvin ingin bertemu.” Resepsionis itu segera mengangkat telepon dan berbicara dengan seseorang. Belum sampai sepuluh detik, resepsionis itu tersenyum dan memberi isyarat. “Silakan, Anda di tunggu di ruangannya.” Malvin berjalan menuju lift, menuju lantai tiga. Sepi, tak ada siapa pun di sana. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang sedang mengepel lantai. Malvin mencari ruang dokter Bram. Langkahnya terhenti di depan pintu ruang dokter. Berat rasanya untuk melangkah masuk, karena hari ini, saat ini, detik ini, ia melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, merasa peduli pada seseorang. Malvin melangkah mundur, berniat pergi dari tempat tersebut. “Malvin,” panggil seseorang dari belakang. Dokter Bram, yang memeriksa Vinka, mendekat dan menepuk pundak Malvin, membuatnya terkejut. “Apa kau masih ragu-ragu?” tanya Bram dengan nada lembut. Malvin menatap Bram dengan mata yang dalam, seolah berusaha mencari jawaban dari dirinya sendiri."Apa kau masih ragu?" tanya Bram, menatap Malvin dengan tajam. Mata Malvin membalas tatapan Bram, penuh keraguan. "Saya sudah membawa stempel racun yang Anda minta," jawab Malvin, suaranya bergetar. Bram mengamati Malvin dengan cermat. "Kau tidak apa-apa, Malvin? Sepertinya kau bimbang memilih jalan mana yang akan kau ambil." Malvin mengangguk pelan, mengusap keningnya yang berkeringat. "Setidaknya, kau harus menggunakan kekuatanmu sendiri," ujar Bram, memecah keheningan. Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria paruh baya tersebut. Tidak ada yang mencolok di laboratorium itu, hanya berbagai alat dan bahan yang akan diuji coba oleh Bram. Hidup Bram sepenuhnya terikat pada Rumah Sakit ini. Sejak kepergian istri tercinta, Bram lebih sering berada di sini daripada bersama keluarganya, yang terus mendesaknya untuk mencari pendamping hidup baru. Namun, bagi Bram, cinta yang telah ia kenal, akan tetap abadi. "Ini racun Belladona," ujar Bram, menunjukkan
"Daniel, boleh aku bicara denganmu sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu. Malvin mengerti aura ini. Ia hanya bisa tersenyum. ---🥀--- "Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel." ucap Malvin pada Sarah. Sarah hanya diam, melihat Malvin tidak percaya. "Berikan aku alasannya?" tanya Sarah. "Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah. Sarah terdiam. Ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur. Sebenarnya, ia sudah tahu alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca, dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka. Dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut. ---🥀-- Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya. "Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah. Mendengar itu, Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang. "Tidak ada jodoh untuk seorang mafia." ucap Malvin, melihat Sarah lekat-lekat, membuat Sarah sedikit takut. "Kenapa kau t
“Bagaimana kalau besok kita berwisata?” tanya seorang wanita dengan nada ringan, senyum tipis terukir di wajahnya. Adellia dan Monica spontan menoleh, mata mereka membesar, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Wanita itu... tersenyum. Sejenak ruangan dipenuhi keheningan yang pekat. Ada rasa panik berdesir di dalam dada mereka, tapi tak satu pun berani menunjukkannya. “Vinka? Kau sudah sadar?” suara Monica terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seakan takut kalau suara keras akan membuat kenyataan itu menghilang. “Iya, Tante,” jawab Vinka sambil tersenyum manis, matanya menoleh sebentar ke arah Sarah. “Ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku... dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya.” Monica menarik napas pelan, menyembunyikan senyum masam di wajahnya. Mendengar nama-nama itu membuat pikirannya langsung bekerja. Mereka jelas bukan orang-orang di pihaknya, tapi sekarang ia punya ide. Ide busuk yang berbisik di telinganya: bagaimana menyingkirkan pewaris kelua
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan. “Selamat pagi, Vinka,” sapa Monica dengan senyum tipis. Tiba-tiba bulu kuduk Sarah meremang. Ada apa dengan nenek lampir ini? Tidak biasanya dia menyapa… bisiknya pelan ke telinga Vinka. Vinka hanya tersenyum geli lalu mencubit pinggang Sarah pelan. “Maaf, Nona,” ucap Sarah sambil menarikkan kursi untuknya. “Terima kasih, Sarah,” balas Vinka lembut. “Selamat pagi, Tante,” sapa Vinka sambil memberikan senyum manisnya. Senyuman itu malah membuat Monica semakin muak. Dasar anak munafik, pikirnya sinis. “Sarah, kau boleh sarapan. Nanti kau kan ikut menemani Nona Vinka, bukan?” tanya Monica datar. “Ya, Sarah, pergilah sarapan. Kalian semua juga,” tambah Vinka sambil menoleh pada para pelayan. “Terima kasih, Nona!” sahut para pelayan serempak, penuh semangat. Mereka berjalan menuju dapur. Sarah ikut melangkah, meski hatinya terasa berat meninggalkan Vinka bersama Monica. ---🥀--- Di dapur, suasana riuh. “Wah, nggak biasanya
Pintu terbanting keras, menggema di seluruh ruangan villa yang tak jauh lebih besar dari rumah keluarga Panduwinata. Mata mereka menyapu sekeliling, menelusuri setiap sudut dengan waspada. "Astaga, Vinka!!" teriak seseorang, berlari mendekat lalu memeluk Vinka dengan penuh kerinduan. Monica tertegun. Dia mengenali wanita itu—Victoria, adik kandung Tuan Panduwinata. Tidak disangka dia ada di villa ini. "Halo Monica, lama tidak bertemu! Ya ampun, ini si kembar, ya? Mereka tumbuh cepat sekali. Bagaimana sekolah kalian?" sapanya hangat, membuat kedua remaja yang berdiri di belakang Monica mulai terlihat bosan. "Kau sendiri di sini?" tanya Monica, mencoba mengalihkan perhatian. Victoria tersenyum samar. "Tidak, aku bersama James, tapi dia ada urusan mendadak di kantor. Huh, dingin sekali di sini. Ayo masuk, cepat!" Mereka pun mengikuti Victoria masuk ke dalam. "Sial," gumam seseorang di luar villa. ---🥀--- "Dingin sekali di sini... seandainya Sarah ada di dekatku..." bisik Daniel
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" teriak Daniel, suaranya memecah lamunan Malvin yang kosong menatap tanah. "Kau tidak apa-apa?" Daniel menepuk pelan bahu temannya. Malvin mengusap wajahnya, memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aku tak apa-apa. Lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat, Dan." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, menarik kantung besar berisi peralatan camping. "Malvin, bisa kau bantu aku di sini?!" serunya, sedikit kesal. Malvin tak menjawab. Matanya sayu, pikirannya melayang jauh. Daniel menghela napas, lalu mulai merakit tenda sendirian sambil mengomel pelan. Perlahan, potongan kenangan muncul di benak Malvin, membawa dirinya ke momen saat menerima perjanjian dari Tuan Panduwinata. "Tuan, ada tamu untuk Anda," kata seorang wanita, membuka pintu ruang kerja Malvin tanpa menunggu persetujuan. Seorang pria paruh baya masuk, jasnya rapi, sepatu pantofelnya mengeluarkan suara ketukan tegas saat melangkah. Di tangan kanannya, sebuah koper persegi hitam. "Selamat sian
Daniel menguap lebar, mengusap mata dengan malas. Malvin melirik kesal. "Maaf," gumam Daniel. "Kalau kau menguap selebar itu, hati-hati, lalat bisa masuk," sindir Malvin tajam. Tiba-tiba, terdengar suara jeritan dari kejauhan. "Itu... Vinka!" seru Malvin. "Suara perempuan buta itu, kan?" tanya Daniel panik. Tanpa pikir panjang, Malvin langsung berlari menuju sumber suara. "Malvin! Tunggu aku!" teriak Daniel, berusaha mengejar. Sayangnya, jalan berbatu membuat Daniel kesulitan. Nafasnya mulai terengah. "Astaga... anak itu makan apa sih, larinya cepat sekali?" gerutunya sambil duduk di atas batu besar, mencoba menarik napas. "Sudahlah... aku istirahat sebentar dulu..." ---🥀--- Beberapa saat sebelumnya, di tepi sungai Victoria memapah Vinka dengan hati-hati, membantu gadis buta itu melangkah di jalanan berbatu menuju tepian sungai. "Sepertinya sungainya sedang meluap," gumam Victoria sambil melirik ke arah arus yang semakin deras. "Kita jadi tidak jalan-jalan?" tanya Vinka p
Malvin terbatuk hebat, berusaha memuntahkan sisa air sungai yang memenuhi paru-parunya. Matanya yang memerah memandang cemas ke arah Vinka, yang tergeletak tak sadarkan diri di bawah tubuhnya. Dengan napas berat, ia membopong tubuh wanita itu, begitu ringan, seperti mengangkat sehelai kapas. Malvin sering diam-diam berolahraga, jadi membawa Vinka bukan perkara sulit baginya. Perlahan, ia menekan dada Vinka, tepat di tengah, berusaha memompa paru-parunya. Vinka mulai tersentak, terbatuk lemah, lalu membuka matanya yang sayu. “Malvin?” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. “Ya, Nona,” jawab Malvin lembut, tetap menggunakan suara remaja yang ia palsukan, karena belum saatnya Vinka tahu siapa dia sebenarnya. Ia membantu Vinka duduk perlahan. “Sudah lebih baik?” tanyanya, mata tajamnya mengawasi setiap gerakan Vinka. Vinka mengangguk pelan, lalu meringis. “Ngh… telapak kakiku sakit,” keluhnya pelan. Malvin segera berjongkok, meraih kakinya. “Biar saya cek. Angkat sedikit kaki
Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi
Jessie berusaha melepas ikatan di kaki dan tangannya dengan serpihan kaca kecil yang ia selipkan diam-diam di saku gaun. Sejak awal ia sudah berhati-hati agar tak melukai diri sendiri, tapi kenyataannya tak semudah itu, jari tengahnya tergores saat mencoba menarik keluar serpihan itu. Ia bahkan merasakan perih di pinggang, tempat ia menyembunyikannya tadi. “Sial.” gumam Jessie pelan sambil meringis. Meski begitu, ia tetap gigih memotong tali tambang yang mengikat pergelangan tangannya, meski setiap gerakan kecil membuat lehernya pegal. “Aduh… kenapa sih mereka tega begini? Semakin menarik saja, mafia-mafia ini.” Jessie bergumam sendirian, mencoba menjaga pikirannya tetap sibuk agar tidak panik menghadapi situasi gawat ini. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu. Jessie reflek berhenti, buru-buru berpura-pura seperti tahanan yang patuh. “Ah, sialan…” sumpahnya dalam hati. Pintu terbuka kasar. Seorang pria bertubuh besar mendorong seorang wanita masuk. Jessie menatap wanita
Jessie melangkah anggun di antara para tamu pesta. Dengan tubuh ramping dan gaun yang memeluk lekuknya, ia tampak seperti Nyonya besar sejati. Tak heran jika hampir semua mata pria tertuju padanya malam itu. Tak jauh, Hans mendekati Malvin dengan senyum menyeringai. “Drama wanita itu… luar biasa, ya,” bisiknya. Malvin membalas dengan senyum tipis. “Dia mirip Monica, bukan?” ucapnya, sengaja membalikkan keadaan. Hans sejenak tersipu, lalu memilih menjauh dengan langkah kecil, pura-pura tidak terusik. Dengan gerakan kecil, Malvin memencet tombol kecil di jasnya. Jessie dan Hans melakukan hal yang sama, alat komunikasi mungil mereka tersambung. Tak lama, Malvin menghampiri seorang wanita elegan di tepi ruangan. Ia menyunggingkan senyuman ramah. “Sudah sering datang ke acara seperti ini?” suaranya hangat, penuh ketenangan. Wanita itu, yang memegang gelas anggur, tersenyum menggoda. “Sudah sepuluh tahun. Ini dunia kecil saya.” Malvin mengangguk pelan. “Saya baru pertama kali. Ada sa
“Berapa banyak topeng yang kau pakai, hah!?” bentak Sarah, suaranya bergetar menahan marah. “Sarah!!” seru Malvin, suaranya memecah ketegangan di ruangan itu. Semua orang langsung terdiam. Kevin segera memberi isyarat pada Jessie dan Zico untuk meninggalkan ruangan, dan keduanya patuh tanpa banyak tanya. “Tuan Hans tidak tahu apa-apa…” suara Malvin melembut. “Awalnya Vinka bersamaku. Tapi seseorang menculiknya. Aku minta maaf padamu.” Sarah menatap tajam. “Dan sekarang dia di mana?” “Aku sedang berusaha mencarinya. Jadi, bisakah kau diam sejenak? Kita perlu menyusun rencana. Mohon, mengertilah…” Dengan helaan napas berat, Sarah melangkah ke kursi dan duduk perlahan. “Baiklah. Itu urusanmu. Aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.” “Sarah…” Daniel hendak bicara, tapi Malvin mengangkat tangan menghentikannya. Tanpa berkata apa-apa, Malvin menuju ruangannya. Dia melihat Zico berdiri di dekat pintu. “Zico.” panggilnya pelan. Anak muda itu langsung paham maksudnya dan segera memang