Suara napas memburu menggema di ruangan dengan penerangan temaram. Di balik selimut, terbujur kaku mayat bersimbah darah yang berceceran di lantai dan kasur.
Empat orang bertopeng hitam saling memandang. Ada kekalutan dan rasa takut menyelimuti di antara mereka.
"Bos, kita harusnya tidak membunuhnya dengan cara seperti ini," ujar pria dengan postur tubuh paling pendek.
"Biarkan saja, dia yang melawan," sahut pria dengan tubuh kekar. Ada tato berbentuk naga di lengannya.
"Tap-tapi, Bos. Nanti sidik jari kita akan terbaca." Giliran pria bertubuh kurus berucap dengan nada bergetar.
Di lain sisi, satu orang di antara mereka hanya bungkam dengan mata menatap nanar mayat yang terbujur kaku di depannya. Rasa takut begitu kentara dari sorot mata itu.
"Sudahlah, sebaiknya kita pergi. Aku pastikan tidak ada sidik jari yang tertinggal. Buang sarung tangan kalian. Tua bangka ini tidak memberikan informasi apa pun. Apa kalian sudah menggeledah semua tempat?" tanya pria bertato naga dengan berkacak pinggang.
"Sudah, Bos. Tapi, tidak ada barang yang kita cari," jawab si pendek.
Pria bertato naga mendengkus, kesal. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul 05.00 WIB, sudah tidak ada waktu lagi untuk membereskan kekacauan karena ulah dia dan tiga anak buahnya.
Kalau saja pria paruh baya itu mau diajak kerja sama, maka kejadiannya akan berbeda. Tidak ada yang perlu disesalkan. Untuk sekarang, lebih baik pergi dan melapor kepada tuannya.
"Ayo!" seru pria bertato naga itu.
Mereka semua pergi melalui jendela, meninggalkan mayat yang tergeletak, mengenaskan.
Namun, sebelum pergi satu di antara mereka bergumam pelan, hampir tidak terdengar.
"Maaf," gumamnya seraya menatap mayat itu sebelum pergi.
***
Harum bunga Kamboja mengiringi isak tangis yang menggema di antara kerumunan pelayat di pemakaman seorang hakim.
Mereka masih tidak percaya nasib nahas telah merenggut pria yang dikenal adil dan tidak pandang bulu itu. Ternyata, keramahan dan sikap baiknya tidak menutup kemungkinan aman dari musuh dan incaran penjahat.
Di depan pusaran bertabur bunga, seorang gadis cantik bertubuh mungil hanya mampu terisak dan tertunduk dalam, meratapi kematian keluarga satu-satunya. Dia tidak menyangka akhir hidup ayahnya akan seperti itu.
Ayahnya orang yang baik, walaupun seorang hakim, tapi dia tidak pernah mau menerima suap atau bentuk apa pun untuk kelancaran satu kasus.
"Ayah, Senja sekarang sendiri. Senja harus bagaimana, Yah?" tanya gadis itu, berbicara pada nisan yang bertuliskan Wijaksana.
Bagi Senja, sang ayah adalah kehidupannya. Walaupun ditinggal ibu sedari kecil, tapi tak sedikit pun sosoknya hilang karena ayahnya yang menggantikan.
"Sen-Senja harus ke mana, Yah?" Suaranya bergetar, menahan tangis yang sudah mulai mengering.
Orang-orang yang hadir untuk mengucapkan bela sungkawa, kini mulai bepergian, meninggalkan gadis itu tanpa menawarkan sebuah pelipur lara. Hingga dua orang hadir tanpa tahu identitasnya.
Pria paruh baya berseragam polisi datang bersama seseorang dengan badan tinggi, tegap bertubuh atletik. Wajah tampan dengan potongan rambut cepak menambah kesan wibawa padanya. Pria muda itu hanya terdiam menatap Senja yang masih menangis di depan pusaran sang hakim.
"Assalamualaikum, Nak Senja."
Pria paruh baya berseragam polisi itu berjongkok di depan Senja, diikuti pria muda yang ada di sampingnya. Mereka menadahkan tangan dan merapalkan doa.
Senja keheranan, tapi tidak bereaksi sama sekali. Kesedihan telah membuatnya lupa akan sekelilingnya.
"Nak, perkenalkan saya Aryan Prambudi dan ini Abimanyu," ujar sang polisi bernama Aryan selepas berdoa.
Senja membisu, dia tidak tertarik untuk berurusan dengan orang yang tidak dikenalnya.
Aryan dan Abimanyu saling pandang, bingung dengan reaksi yang diberikan Senja. Lalu, seulas senyum terbit di wajah pria yang sudah lama mengabdikan diri pada negara itu.
"Nak, kami adalah utusan ayahmu sebelum beliau meninggal," tutur Aryan membuat Senja menatap mereka bergantian.
Raut kebingungan begitu jelas di wajah Senja. Memang banyak pertanyaan yang bersarang di benak gadis itu terkait meninggalnya Wijaksana. Namun, dua orang di depannya lebih membuatnya bingung. Apa tujuan mereka?
***
Lima belas menit berlalu pasca Aryan mengutarakan wasiat sang ayah, tapi Senja belum juga bersuara. Dia masih tidak percaya dengan semua yang dijelaskan Aryan.
"Jadi, maksudnya apa?" tanya Senja masih diliputi kebingungan.
Aryan tersenyum ramah, sudah dipastikan Senja tidak mengerti. Karena terlalu berat untuk gadis berusia 20 tahun itu menanggung masalah dari buntut kematian sahabatnya, Wijaksana.
"Nak, ayahmu menitipkanmu pada saya. Karena dia tahu, bahwa kamu tidak punya lagi keluarga. Maka dari itu, agar bisa melindungimu sampai kasus kematian ayahmu terungkap, saya bawa Abimanyu untuk menjadi bodyguard-mu," terang Aryan membuat mata senja membulat sempurna.
Ditatapnya pria tegap yang sedari tadi diam memandang dirinya. Risi tatkala sorot mata Abimanyu seolah menjelajahi setiap inci tubuhnya.
Aryan mengamati Abimanyu dan Senja bergantian. Sedetik kemudian dia terkekeh.
"Bi, kamu jangan melihat Senja seperti itu. Dia ketakutan," ujar Aryan membuat Abimanyu menoleh lalu kembali lagi menatap Senja lekat.
"Saya hanya memastikan bahwa orang yang akan saya jaga dikenali dari ciri-ciri fisiknya," timpal Abimanyu.
Senja menegang ketika suara berat itu keluar dari Abimanyu. Dengan tubuh atletik dan wajah tampan ditambah suara khasnya, membuat sosok sang bodyguard terlihat sempurna sebagai tipe pria ideal.
Senja menggeleng, menepis semua pemikiran yang baru saja hinggap. Dia tidak boleh berkhianat walaupun hanya sebatas angan. Karena, pemilik hatinya saat ini adalah Dewantara, kekasih yang akan menikahinya kelak.
"Nak?" tanya Aryan setelah Senja cukup lama diam.
Senja mendongak, menatap Aryan dan Abimanyu bergantian. Tidak nyaman rasanya saat harus berurusan dengan orang asing, terlebih mereka mengaku utusan Wijaksana.
Melihat tulisan dan tanda tangan di wasiat itu, Senja tidak dapat memungkiri bahwa semuanya memang asli ayahnya yang membuat. Namun, semua serba mendadak. Bahkan Wijaksana tidak pernah membahas perihal itu.
"Em, Pak. Maaf sebelumnya, bolehkah saya diskusi dulu dengan calon suami saya?"
Aryan mengernyit. Setahunya, Wijaksana tidak pernah mengatakan bahwa anaknya berencana menikah dalam waktu dekat.
"Calon suami?" Aryan masih terheran-heran seraya menegakkan tubuh yang sebelumnya bersandar.
"A-anu, maksud saya kekasih saya."
"Tidak perlu!" sergah Abimanyu membuat Senja melonjak, kaget.
Kedua orang itu saling menatap nyalang. Rasa tidak suka kepada Abimanyu muncul tiba-tiba.
"Apa hakmu? Ini urusan pribadiku!" seru Senja, kesal.
"Kamu tidak punya privasi mulai saat ini," pungkas Abimanyu, tenang.
"Kamu orang baru! Yang lebih tahu kehidupanku adalah aku!" sentak Senja mulai tersulut emosi.
Abimanyu diam, dia menoleh pada Aryan yang sedari tadi hanya menonton perdebatan mereka.
Aryan dan Abimanyu seolah berkomunikasi, hingga Aryan tiba-tiba menganggukkan kepala.
"Maaf, Nak. Apa yang dikatakan Abimanyu benar, untuk saat ini kami tidak bisa mempercayakanmu kepada orang lain, termasuk kekasihmu," tutur Aryan. Sejenak dia menarik napas berat.
Dia menengadah menatap langit-langit ruang tamu bercat putih. Kelebatan masa-masa bersama hakim itu mulai bermunculan. Tentang kehidupan kedua belah pihak dan rencana mereka sebelumnya harus ditunda karena kematian Wijaksana.
"Maaf jika kami datang dan membuatmu merasa tidak nyaman. Tapi, kami mohon kerja samanya. Anggap ini permintaan terakhir ayahmu. Setelah semuanya selesai, kami janji akan memberimu kebebasan untuk memilih jalan yang kamu mau," sambung Aryan, menatap Senja lembut.
Sorot mata Senja meredup. Semua yang dikatakan Aryan benar. Mungkin dirinya terlalu egois hingga lupa jika Wijaksana melakukan semua ini untuk kebaikannya.
Dengan berat hati, Senja menyetujui semua yang dikatakan Aryan dan menerima Abimanyu sebagai boduguardnya.
Namun, dia merasa ada yang perlu dilakukan sebelum semua perubahan dimulai.
"Pak, bolehkah saya bertemu kekasih saya? Agar dia bisa mengerti posisi saya sekarang," ungkap Senja pada Aryan.
Aryan tampak berpikir sejenak, lalu dia mengabulkan keinginan Senja. Berbeda dengan Abimanyu yang hanya diam tanpa ekspresi.
Pria dingin itu memendam sesuatu yang sedari tadi ditahan. Bagaimanapun tugasnya harus berjalan sesuai rencana.
Aroma melati menguar di ruangan dengan lampu temaram, membuat suasana indah bertabur harapan dan doa.Di atas ranjang yang penuh bunga, dua orang tengah melepas rasa cinta dengan ikatan halal yang sudah diikrarkan.Tak ada ucapan yang keluar sebagai bentuk ungkapan rasa, hanya tatapan dan sentuhan sebagai perwakilan cinta. Mereka sudah membuka lembaran baru kehidupan.“Bi.” Senja membenarkan posisi tidurnya, dia bersandar di dada bidang Abimanyu.“Hmm, apa Sayang?” Pria itu membiarkan gadis yang sudah sah menjadi istrinya agar bisa leluasa untuk berbaring di sampingnya dengan nyaman.“Kenapa kamu selalu dingin padaku dulu?” tanya Senja penasaran.Abimanyu diam sejenak, dia lalu mengelus surai hitam milik Senja. “Aku memang seperti itu, Sayang. Mungkin karena profesiku yang selalu dalam bahaya, membentukku menjadi pria dingin. Tapi, nyatanya tidak seperti yang kamu kira, ‘kan?”Senja cengengesan, baru sadar akan kepribadian Abimanyu yang sesungguhnya. Peribahasa ‘Jangan menilai orang d
Abimanyu mengernyit, silau dengan cahaya yang terlalu terang. Dengan perlahan, dia mulai membuka mata menyesuaikan dengan cahaya di ruangan itu.Ruangan serba putih dengan bau obat yang menyengat, pria itu sudah bisa menebak keberadaannya saat ini. Dia menggerakkan tangan, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dengan kepala yang berdenyut, Abimanyu mencoba melihat ke sisi kanan. Seulas senyum terbit di bibir pucatnya, pelan dia mengusap surai hitam milik perempuan yang tengah terlelap seraya menggenggam tangannya.“Senja,” gumam Abimanyu dengan suara parau, sukses membuat orang yang dimaksud terbangun.Dengan pelan Senja mengucek mata, lalu dia membeku seraya menatap Abimanyu tak percaya, sedetik kemudian Senja berhambur ke pelukan Abimanyu.“Alhamdulillah, syukurlah. Akhirnya kamu sadar juga, Bi,” lirih Senja membuat tubuh Abimanyu yang lemah langsung menegang.Cukup lama Senja memeluk Abimanyu yang tak merespons. Khawatir, akhirnya gadis itu melihat keadaan Abimanyu.“Kamu kenapa?” tany
Rasti kebingungan mencari Senja di ruang tunggu operasi. Lampu di atas pintunya sudah mati, itu berarti operasi telah usia. Dia mendesah panjang, obrolannya dengan Deni terlalu lama sampai dia lupa ada orang yang perlu diperhatikan.Dengan cepat Rasti bertanya ke salah satu perawat tentang keberadaan Abimanyu. Setelah nomor dan nama ruangan didapatkan, Rasti segera meluncur ke tempat tujuan.Ruang anggrek nomor 17, dari kaca ruangan, dia melihat Senja duduk di depan Abimanyu yang terbujur lemah di brankar rumah sakit.Rasti segera masuk, dia menyerahkan bungkusan makanan untuk Senja. Rasti tetap memaksa gadis itu untuk makan.“Kalau kamu tidak makan, aku yang akan kena omel Abimanyu. Makanlah!” titah Rasti tak terbantahkan.Akhirnya, Senja mau menyantap makanan yang dia sediakan. Walaupun terlihat tak berselera, tapi Senja tidak mau menyusahkan Rasti.Setelah acara makan malam selesai, Rasti dan Senja sama-sama duduk di depan Abimanyu. Mereka berdua saling berhadapan.“Mbak, terima ka
“Oh, perempuan berambut sebahu yang berpakaian tomboi itu?” tanya Marisa, membuat perasaan Senja tak karuan.“Kamu kenal dia?” tanya Dewantara, dia berdiri menjulang di samping Marisa.Perempuan itu mengedikkan bahu, dia lalu mengajak Dewantara untuk duduk kembali.“Ya, dia temanku. Tapi, sayangnya dia juga tak mendukungku untuk berhubungan dengan Abimanyu. Menyebalkan. Ah, sudahlah. Selesaikan urusanmu dengan dua orang itu. Aku muak melihat mereka!” Marisa menatap Senja dengan benci, orang yang dia ajak berteman malah jadi musuh dalam waktu singkat.Dewantara bangkit dan kembali berhadapan dengan Abimanyu. Dia mulai kesal karena pria itu mengulur waktunya.“Abimanyu, cepat katakan di mana dokumen itu? Semua akan selesai dengan baik,” ujar Dewanta berusaha bernegosiasi.Abimanyu tersenyum miring, lalu tanpa diduga dia meludahi wajah Dewantara. Membuat pria itu menggeram kesal.“Kamu pikir aku sebodoh itu? Teruslah berusaha dan sampai mati pun aku tidak akan memberitahu di mana dokumen
Dia duduk di depan Senja dan Abimanyu yang sudah berpindah posisi. Rambut klimis dengan setelan jas hitam menambah kesan elegan, tidak lupa sepatu yang mengkilap dia letakkan di meja yang menjadi batas dengan dua tawanannya.“Apa kalian masih kaget dengan kedatanganku? Atau tak menyangka jika semua adalah ulahku?” tanya tuan muda pada Senja dan juga Abimanyu.Abimanyu tak bersuara, dia sedang memandang sosok di depannya dengan analisa yang terus berputar di benak.“Jadi, itu alasanmu bersikukuh ingin menikah dengan Senja, Dewantara?” tanya Abimanyu membuat Senja kembali bercucuran air mata.Senja tak mampu bersuara, walaupun mulutnya tak lagi dibekap, tapi fakta yang baru dia ketahui membuat dirinya sakit hingga tak ada kalimat yang mampu menjabarkannya.Pria yang menjalin hubungan dan melamarnya berkali-kali, ternyata bajingan berkedok malaikat.“Hemm, memang seperti itu,” jawab Dewantara, seraya memainkan sebuah kubik di tangannya.“Ah, aku kesal jika mengingat penolakanmu. Padahal,
Abimanyu terus menghubungi Rasti, ponselnya aktif, tapi tak ada jawaban dari seberang sana.Abimanyu harus memfokuskan hati, pikiran dan panca indranya pada jalanan dan titik biru di layar pipih sebagai petunjuk jalan.Dirinya benar-benar khawatir dan menyesal akan kelalaiannya. Harusnya dia langsung pulang dan tetap ada di dekat Senja. Untunglah, ponsel Senja masih bisa dilacak, jadi dia akan mengikuti jejak yang ada di ponsel Senja.“Kamu di mana, Senja?” gumam Abimanyu, hatinya sungguh dikabuti dengan kecemasan.Kini mobil sedan yang dia tumpangi masuk ke sebuah bangunan bekas pabrik gula yang sudah lama terbengkalai.Dengan sangat hati-hati, dia memarkirkan mobil di ujung bangunan. Sebelum keluar, dia mempersiapkan peralatan yang sekiranya diperlukan. Pistol yang sudah terisi penuh peluru juga belati yang dia selipkan dibalik ikat pinggang.Dengan keyakinan kuat dan tekad bulat, Abimanyu keluar dari mobil dan memasuki sarang penyamun seorang diri. Namun, sebelumnya dia kirim lokas
Senja mengerjapkan mata, rasa kantuk masih menguasai, tapi perutnya tidak bisa berkompromi. Diliriknya jam weker yang ada di nakas dekat ranjang, baru pukul 02.00 WIB. Perutnya kembali berbunyi mendemokan meminta diisi. Makan malam tadi, dia hanya menyantap beberapa suap.Dengan gontai, Senja turun dari ranjang dan melangkah menuju dapur. Namun, baru saja beberapa langkah, Senja dikejutkan dengan kehadiran perempuan lain di rumah Abimanyu.“Kamu siapa?!” Senja bertanya dengan suara setengah berteriak, perempuan yang dimaksud menoleh, lalu dia tersenyum simpul.“Hai, Senja,” sapanya, polos. Dia tampak terkejut karena Senja bangun dini hari.“Kamu siapa?!” Kini Senja mulai takut dan curiga.Perempuan yang tidak lain Rasti mulai berbicara pelan-pelan, dia menjelaskan bahwa dirinya adalah partner Abimanyu yang diutus untuk menjaga Senja sementara. Awalnya, Senja tak percaya. Namun, saat Rasti memperlihatkan riwayat chatnya dengan Abimanyu, barulah Senja melunak.“Memang ke mana dia?” tan
Dewantara tersenyum senang, dia tidak menyangka Senja menghubunginya dan meminta untuk bertemu. Biasanya, Senja sulit untuk sekedar ditemui, karena ada Abimanyu. “Ayo, Sayang!” seru Dewantara, dia menarik kursi untuk kekasihnya.Senja yang agak sungkan pun dengan canggung akhirnya duduk juga. Padahal, bukan kali ini saja pria itu bersikap romantis, tapi sekarang ada rasa tak nyaman yang hinggap di relung hatinya. Setelah memesan makanan, akhirnya Senja membuka percakapan.“Mas, em ... apa lamaran Mas tempo hari masih berlaku?” tanya Senja langsung pada inti masalah.Tubuh Dewantara menegak, dia seperti mendapat sebuah lotre setelah sekian lama mencoba keberuntungan.“Tentu saja, Sayang. Bahkan, aku akan tetap memperjuangkanmu jika kamu masih menolak,” jawab Dewantara serius.“Kenapa?” Senja butuh kepastian dan meyakinkan hatinya.“Karena aku mencintaimu, tak rela jika kamu harus jatuh ke tangan orang lain. Apalagi, kamu sekarang sendiri, aku semakin khawatir.” Dewantara menggenggam e
Abimanyu melirik Senja yang terdiam menatap jalanan. Ada yang aneh pada gadis itu.Sore tadi, saat dirinya menjemput Senja, dia dikagetkan dengan matanya yang sembab. Jangan lupakan juga keterlambatan Senja dari jam yang sudah dijanjikan untuk dijemput.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Abimanyu, khawatir.Senja menoleh, dia menatap Abimanyu. Lalu, bayangan tentang Abimanyu dan Marisa yang sedang berpelukan, membuat Senja memalingkan wajah. Dia tak kuasa menatap Abimanyu.“Aku baik-baik saja,” jawab Senja. Menatap jalanan lebih baik untuknya.Abimanyu semakin bingung. Senja berlaku tidak seperti biasanya. Gadis itu tidak mengomel atau berceloteh tentang kegiatannya di kampus, seperti biasanya. Namun, Abimanyu tidak mau menanyakan lebih jauh. Dalam benaknya, Abimanyu menjaga perasaan Senja. Mungkin saja gadis itu tengah dirundung masalah pribadi.Tidak ada pembicaraan lagi hingga mobil memasuki pelataran rumah. Setelah mobil terparkir rapi, Senja bergegas keluar mobil dan masuk ke rumah. Dia