Share

3 Alex Sang Penolong

Melangkah kaki wanita cantik yang masih tertatih dan sangat hati-hati. Renata bahkan sesekali mendesis merasakan sensasi pedih di bagian inti miliknya. Dia tidak mengira akan sesakit itu efeknya.

“Apa sakit sekali Nona?” tanya Alex dengan polosnya memicu kemarahan seorang Renata. Gadis manis nan anggung yang nyatanya bisa marah juga.

“Jelas saja ini sakit. Kau tahu aku sampai menahan buang air kecil dari tadi,” desis Rena sambil menahan rasa sakitnya.

Alex yang juga tidak mempunyai pengalaman tentang hal seperti itu pun hanya bisa melongo. Entah apa yang dipikirkannya, namun dia terlihat kosong dan tetap tidak mengerti apa-apa.

“Apa iya sesakit itu? Aku biasa saja,” lirih Alex berbicara merasakan apa yang dirasakannya sisa semalam yang sama sekali tidak terasa sakit sama sekali.

Rena yang kesal akan kepolosan Alex itu pun menampol kepala pengawalnya dengan tangan kosong. Alex sama sekali tidak merasakan sakit, akan tetapi Renata yang merasakan sakit dibagian tangannya. Alex sudah terbiasa menahan pukulan, akan tetapi Renata dia begitu lembek dalam hal itu.

“Auh! Sakitnya. Jelas saja sakit Lex, kau pikir saat selaput robek tidak akan menimbulkan sensasi sakit? Kalau tidak sakit kenapa berdarah!” ketus Renata dengan tatapan matanya yang begitu nyalang. Dia emosi menghadapi kepolosan Alex.

“Ah, mana aku tahu Nona. Aku saja tidak melihat jejaknya di seprai.”

“Aku malu Lex, jadi aku menutupinya dengan bantal dan selimut!” sentak Rena lagi dengan emosi yang semakin memuncak.

Alex menyodorkan minuman dingin untuk anak majikannya itu. Meskipun saat ini dirinya sudah dikatakan tidak lagi bekerja dengan keluarga Harisson, namun Alex merasa dirinya harus bertanggung jawab atas Renata.

“Ini Nona minum dulu biar tidak emosi.”

“Padahal aku emosi begini juga gara-gara ulahmu!”

Alex lalu berjongkok di depan Rena dan apa yang dilakukannya itu membuat Rena mengerutkan keningnya bingung.

“Ap—apa yang kau lakukan?”

“Cepatlah naik ke punggungku, aku akan menggendongmu. Sudah setengah jam kita dari tadi hanya sampai basement mau sampai kapan berjalan seperti siput begini Nona?”

“Ah, iya. Kau benar.” Renata tersenyum simpul sambil mengusap tengkuknya pelan. “Tapi rokku ini pendek. Nanti kalau ada yang mengintipnya dari belakang bagaimana?” imbuhnya bertanya dengan mata yang membulat cantik.

Alex, dia lalu memakaikan jasnya, mengikatnya dipinggang Rena dan membuat bagian bokong wanita itu seperti memakai rok hingga lutut. Alex lalu kembali berjongkok dan Rena naik ke punggungnya dengan sedikit mendesis menahan sensasi nyeri.

“Sshh ....”

Alex sesaat menoleh ketika Rena mendesis, dia lalu kembali melangkah seolah mengabaikan apa yang Rena rasakan. Namun tidak begitu kenyataannya.

Setelah sampai di dalam unit apartemen yang isinya seperti kapal pecah, Alex langsung menghubungi temannya yang seorang dokter. Sementara Renata, dia duduk dengan kaki yang berselanjar di atas sofa.

“Kau terbiasa dengan tempat yang berantakan seperti ini?” tanya Renata dengan manik mata yang memindai ke seluruh sudut ruang tamu.

Alex menggulung lengan kemeja putihnya. Dia lalu mulai merapikan semua kekacauan dengan mode serius. Apa yang Rena tanyakan membuatnya sedikit menoleh dan menjawab, “Apa Nona lupa? Aku juga ikut mempersiapkan jalannya acara pertunangan Nona yang berakhir kacau ini. Bagaimana bisa kita ....”

“Oh sudahlah.” Rena langsung menepisnya. Dia tidak mau menangis lagi untuk waktu yang lama. “Jangan bahas itu lagi Lex. Sekarang aku hanya fokus pada calon anak kita.”

“Hei! Sudah kukatakan tidak akan mungkin secepat itu Nona.” Alex kembali memperingatkan. Dia kesal karena Renata menyebut soal janin dan Alex sadar benar pertanggungjawabannya akan semakin besar jika sampai hal itu benar.

“Tapi aku sangat yakin. Ini adalah masa suburku. Beberapa Minggu yang lalu aku bahkan sudah melakukan imunisasi rutin untuk mempersiapkan kehamilan. Calon ibu mertuaku juga mengirimkan susu untuk membantuku segera hamil. Aku sangat yakin Lex.” Renata menatap tajam Alex.

Alex menghela nafasnya. Dia mere*as sampah yang digenggamnya. “Kalaupun benar kau hamil Nona, lalu apa rencanamu selanjutnya?”

Renata menatap hampa langit-langit ruangan, dia meletakkan satu tangannya di atas kening. Wanita itu benar-benar merasa frustasi dan tertekan. “Aku tidak tahu, harus bagaimana. Aku bahkan tidak membawa apa-apa. Apa kau ada pekerjaan untukku?”

Alex terdiam sesaat. Dia lalu bicara, “Ada temanku yang mempunyai restoran. Nanti akan kutanyakan apakah dia membutuhkan karyawan. Lebih bagus kalau kau ditempatkan di bagian kasir Nona.”

Berselang 30 menit, dokter yang Alex panggil datang. Dia mengenakan seragamnya dan terlihat menyelakan waktu khusus untuk Alex. Langkahnya terlihat tergesa dan caranya memandang Alex pun seperti orang yang tunduk dan patuh.

“Dude, bagaimana keadaannya?” tanya Alex sambil berdiri di samping Renata. Dia menatap lurus Dude tanpa ada raut ingin bercanda.

“Dia butuh vitamin, dan butuh istirahat,” jawab Dude sekedarnya. “Aku tuliskan resepnya dan ka—kau bisa menebusnya di apotik.”

“Iya. Terima kasih.” Alex menyambar kertas resep dan mengantar Dude untuk pergi.

Sampai di luar unit, dokter tersebut membungkuk meminta maafnya kepada Alex. Suatu pemandangan yang aneh bukan? Alex mengatakan Dude adalah temannya. Namun sikapnya seolah menunjukkan kalau Dude ini adalah bawahannya. Tapi kalau bawahan, itu artinya Alex orang yang tinggi? Siapa Alex sebenarnya?

“Maafkan saya yang tadi memanggil dengan sebutan kau Bos.” Dude meminta maafnya.

“Hem, cepatlah pergi.” Alex berbicara dengan datar dan masuk begitu saja menutup pintu di hadapan Dude tanpa permisi.

****

“Malam ini kita mau makan apa?” tanya Rena seraya berdiri di kitchen set dan membuka alat penanak nasi. Dia melihat nasi yang menjamur di dalamnya.

“Astaga! Alex Salim! Jorok sekali kau, kenapa sampai seperti ini? kau ingin budidaya jamur hah?” cerocos Rena yang terkejut melihat isi panci penanak nasi yang berjamur.

Alex yang masih menikmati buah apel dari lemari pendingin itu menatap datar nona majikannya. “Nona, sudah kubilang aku sangat sibuk mengurus pertunanganmu. Jadi jangan salahkan aku.”

Renata beralih ke kamar Alex dan saat membukanya dia sangat terkejut. Lebih terkejut dari pada saat melihat jamur nasi tadi. Kamar berantakan, banyak puntung rokok, bau tidak sedap, dan sirkulasi yang tidak baik.

“Oh, Alex. Aku sama sekali penyelamatku ini jorok sekali. Kenapa kau tidak membersihkan kamarmu?”

“Apa perlu aku ulang lagi Nona? Aku sibuk!” ketus Alex sambil berlalu dan duduk. Dia mengacuhkan Renata.

Pada akhirnya tetap Renata yang merapikan kekacauan tersebut. Dia membersihkan kamar Alex dan menumpuk pakaian kotornya.

“Sudah, kau tinggal membawanya ke laundry,” ucap Renata sambil mengibaskan tangannya lega.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status