Share

4 Menata Hidup

Menetes air mata Rena sata dia melihat kabar yang tersiar di berbagai media sosial. Dia tidak menyangka bila semuanya akan hancur secepat ini. Pernikahan impiannya kini justru menjadi pernikahan terindah bagi Derina.

 "Sudahlah jangan kau lihat berita itu lagi Nona. Lupakan saja, mungkin takdirmu memang bersamaku."

 Alex berbicara dengan entengnya sembari memakai jasnya dan dia bersiap untuk bekerja.

 Rena hanya tahu jika Alex bekerja sebagai pengawal orang lain lagi saat ini dan dia bekerja sebagai pelayan di restoran milik teman Alex, yang bernama Rio.

 "Lex, secepat itu dia melupakanku dan mempercayai semua itu?" Rena berbicara dengan matanya yang berkaca-kaca menggambarkan betapa sedih hatinya.

 Alex duduk dan menepuk pelan pundak Rena. “Bagaimana tidak percaya, kau saja sekarang benar-benar mengandung. Hhh ... sejujurnya aku juga belum siap untuk menjadi seorang ayah. Tapi bagaimana lagi, dia darah dagingku dan aku tetap akan bertanggung jawab."

 Keadaan membuat keduanya kini berada dalam satu ikatan pernikahan. Sebuah pernikahan yang tercipta karena kehamilan. Pernikahan yang berlangsung dengan sangat sederhana dengan dua saksi yang merupakan teman dari Alex yaitu Dude dan Rio.

“Tolong jangan bicarakan tentang kehamilan ini Lex, aku pun belum siap menjadi ibu. Aku masih tidak tahu siapa yang membuat kita bisa melakukan semua itu. Malam itu, ah ... entahlah.” Rena mendengus memikirkan lagi apa yang pernah terjadi.

“Ini saatnya kita menata hidup Nona, jadi jangan kau pikirkan tentang hal itu lagi. Kita sama-sama dirugikan jadi ini saatnya bagi kita untuk sama-sama bangkit.” Alex menatap lekat Renata yang masih terlihat bersedih.

Bagaimana tidak sedih jika semua impian untuk hidup bersama laki-laki yang ia cintai hancur? Untuk pernikahan dan gaunnya, Renata merancang semuanya sendiri. Lalu sekarang justru Derina yang menikmati, memamerkannya ke seluruh penjuru negeri.

“Kau benar.” Rena menggumam dan dia bangkit dari duduknya.

Rena sudah siap untuk berangkat bekerja, dia memakai seragam restoran dan seperti biasa, dia berangkat bersama dengan Alex menggunakan mobil sport milik majikan Alex. Itu menurut pengakuan Alex, milik siapa mobil itu sebenarnya hanya Alex yang tahu.

Seperti biasa, Rena turun dan bekerja menjadi kasir di restoran itu. Dia masih sangat beruntung bisa mendapatkan pekerjaan di posisi sebagai kasir sehingga tidak terlalu berat pekerjaannya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila dia yang hamil muda justru bekerja di dapur menjadi asisten koki.

~~~**~~~

“Belakangan ini kau terlihat pucat,” ujar teman Rena di restoran.

Rena mengusap wajahnya dan dia tersenyum simpul. “Apa iya? Belakangan aku hanya tidak nafsu makan saja. Kurasa asam lambungku naik.”

“Oh ya? Sebaiknya kau minum ini.” Hera mengeluarkan obat magh miliknya. Dia berniat baik memberikan obat tersebut pada Rena.

“Hera, aku rasa aku tidak bisa sembarangan minum obat. Aku sedang mengandung.” Rena mengatakan hal tersebut dengan wajah yang semakin pucat.

Hera, dia langsung menutup mulutnya, dia terlihat sangat terkejut. “Oh ya? Wah ... cepat sekali si Bos pembenihannya,” ucapnya tanpa sadar.

“Si Bos?” kening Rena sampai berkerut. Asing sekali baginya seorang teman menyebut temannya sebagai bos.

“Ah, maksudku Alex. Alex itu ‘kan gayanya seperti bos. Jadi terkadang aku dan atasan suka kelepasan memanggilnya bos. Begitu,” ralat Hera dengan tersenyum canggung.

“Ya sudah, kalau begitu lanjutkan saja bekerjanya aku akan ke dapur. Jam istirahat sudah habis.” Hera berpamitan dan dia segera masuk ke dapur.

~~~**~~~

“Bos, kau ingat dengan pesan bos Alex?” tanya Hera saat berada di dalam ruangan Rio, si manager restoran.

“Iya.” Rio menyikapinya dengan acuh sembari membaca laporan penjualan bulanan.

Hera duduk dan menatapnya serius. “Bos, kau harus dengar ini. ini penting. Bos Alex meminta kita menjaga dengan baik nona bukan?”

“Iya, lalu? Bicara yang jelas lalu kembali bekerja.” Rio masih saja bersikap acuh.

“Nona Rena wajahnya pucat dan dia bilang perutnya sakit. Apa ini tidak bahaya?”

“Ah, mungkin hanya asam lambung atau gejala PMS,” sahut Rio dengan santainya sambil menyesap kopinya.

“Bukan, bukan itu. Aku sudah berbincang langsung dengannya. Dia hamil muda, kau tahu. Karena it ....”

Belum selesai Hera bicara dan Rio sudah menyemburnya menggunakan kopi yang berasal dari dalam mulutnya. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!”

“Apa katamu?” pekik Rio terkejut. Dia sangat terkejut bahkan sambil berdiri dia bertanya seperti itu.

“Dia hamil muda.” Hera berbisik sambil mengamati ke luar ruangan yang hanya bersekat kaca buram. “Kita harus tetap menjaganya bukan? Malah lebih ekstra.”

“Wah ... sialan! Kenapa bos Alex tidak bilang? Wah ... aku jadi merasa bersalah kemarin menyuruhnya mengangkat kardus air mineral itu.”

Hera langsung menoleh cepat. Dia menatap panik atasannya. “Bos, kau tahu bagaimana marahnya bos Alex ‘kan? Kenapa malah berani menyuruh wanitanya mengangkat kardus? Kau ini suka cari mati ya.”

Rio mengusap wajahnya kasar, dia tampak frustasi. “Eih, mana kutahu kalau dia hamil Hera. Bos Alex sama sekali tidak berpesan apa-apa bahkan tidak menyebut soal kehamilan.”

Dua bawahan Alex itu saling tatap dan mereka mengintip bersama melihat Rena yang sedang duduk di kursi kasir sambil mengusap perutnya.

“Bos, itu perutnya sedang diusap. Kalau terjadi sesuatu dengan janinnya karena mengangkat beban, kau bisa dipenggal oleh bos Alex.”

Tas!

Rio langsung menepuk kening Hera. “Jaga bicaramu, jelek sekali perkataanmu. Jangan menakutiku,” ucap Rio sudah dengan tangan yang gemetaran dan keringat dingin di keningnya.

Siapa Alex sebenarnya? Kenapa Rio dan Hera sangat tunduk padanya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status