Share

Bab 4

Malam kembali tiba dan hutan menjadi gelap gulita. Tidak ada cahaya bulan yang mencuri ruang di sana. Hal itu dikarenakan awan gelap yang merotasi sepanjang waktu di atas kawasan hutan tersebut.

Tadi siang dewa itu memberinya banyak buah dan Tanya menghabiskan semuanya. Walaupun tidak sepenuhnya pulih, Tanya cukup bugar sekarang. Dengan dahi berkerut dia menatap dewa yang berada di seberang api unggun itu.

"Apa tidak akan sakit perut jika kita memakan ikan itu?" Tanya berkomentar ketika ikan yang dibakar dewa tersebut menghitam. "Mereka tampak gosong dan tidak bisa dimakan," lanjutnya kemudian.

"Kalau kau tidak ingin. jangan memakannya. lagi pula kau makan banyak sekali buah siang tadi. Aku tidak percaya ada orang dengan nafsu makan sepertimu."

"A-aku hanya mempertanyakan keamanannya. Aku juga mau makan ikan gosong. Soal makan siang, itu sudah lama sekali dan sangat wajar bagiku menghabiskannya. Kau sendiri yang mengatakan bahwa balok es itu mengambil energiku. Aku perlu memulihkannya ... apa itu salah?"

"Ini aman. makanlah!" Dewa tersebut menyodorkan satu ikan pada Tanya. "Jangan terburu-buru karena ini masih panas. Kamu bisa meniup-niupnya agar lebih cepat dingin," lanjutnya.

"Terima kasih."

Mereka makan dengan perlahan. Sebagai orang yang pertama kali mencicipi makanan seperti ini. Tanya rasa tidak buruk sama sekali tentang cita rasanya. Meski ada sedikit rasa pahit, tidak dipungkiri bahwa rasa manis dan gurih lebih dominan.

Dia mencuri pandang ke seberang api unggun. Bertanya-tanya siapakah laki-laki ini? keluarga Tanya sudah lama tinggal di dekat hutan malapetaka. Dan dia tahu sendiri bahwa tidak ada siapapun yang diperbolehkan masuk ke hutan. Harusnya tidak ada eksistensi lain selain dirinya dan orang-orang yang mengejarnya.

"Menatapku tidak akan membuatmu kenyang!" Tanpa balik menoleh lelaki tersebut memperingatkan. "Cepat habiskan makananmu dan pergi tidur. Besok kamu harus langsung pulang."

"A-aku tidak memandangimu!" kata Tanya sembari membuang muka. "Jangan berpikir aku menyukaimu. Kita berada di level yang berbeda."

"Tentu saja berbeda. Aku seorang dewa dan kamu hanya seorang manusia."

Apa dia memang seorang dewa? Apa dia memang sangat kuat seperti yang dia katakan? Sungguh sulit bagi Tanya mempercayai hal tersebut.

"Huh ... aku meragukanmu yang mengaku-ngaku sebagai dewa. Apa tugasmu hingga harus berada di dunia fana? Jangan terlalu membual tentang dirimu sendiri. Tidak ada bukti tentang yang kamu katakan."

Lelaki itu mengernyitkan dahi lalu menjawab, "Apa kamu lupa? Aku melepas sebagian kekuatanku dan kau bahkan menangis ketakutan memanggil ayahmu."

"Kau ...." Tanya tidak bisa berkata-kata. Saat Ayahnya marah dia memang pernah merasakan aura menakutkan. Namun, laki-laki di depannya memiliki aura yang lebih memaksa.

"Kenapa diam? Apakah kamu sudah tidak ingat cara menyombongkan diri?" Sambil tersenyum kemenangan lelaki tersebut mengolok.

"Itu tidak membuktikan apa-apa. Bisa saja kau hanya seorang laki-laki yang tahu caranya mengintimidasi seorang wanita," ucap Tanya cukup kesal karena orang di depannya tidak mau mengalah sedikitpun.

Dewa tersebut hanya bisa tersenyum masam. Berdebat dengan Perempuan perkara yang sangat melelahkan. Dibandingkan berdebat dengan mereka, menurutnya, lebih mudah menyelesaikan tantangan melawan ribuan monster di hutan.

Lelaki itu berpikir sejenak untuk mengalihkan topik. Dia ingat bahwa perempuan di depannya pernah berkata dia adalah seorang putri. Mengejar topik tersebut harusnya bisa mengorek informasi bagaimana keadaan di luar hutan.

"Kau sangat angkuh, tidak mau kalah, dan sepertinya sangat manja pada ayahmu. Kalau kamu memang seorang putri. Kau pasti seorang putri yang tidak berguna."

"Baguslah kalau kamu mengakuinya. Tapi perilakuku sangat wajar. Secara aku sangat terkenal dan dijuluki peri kecantikan. Jelas aku tercipta dari gabungan seluruh keindahan di dunia ini."

Lelaki itu menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Ini pertama kalinya aku menemukan manusia percaya diri kelebihan batas. Seharusnya, ketika aku mengatakan kau tidak berguna. Setidaknya kamu harus sedikit merasa sakit hati."

"Aku sudah sering mendengar hal itu dari orang-orang. Ayahku bilang untuk mengabaikannya dan fokus pada kelebihan diriku."

"Walaupun hanya satu, setidaknya aku pernah melihat perempuan yang lebih cantik. Jadi jangan Terlalu melangitkan diri hanya karena ayahmu berkata begitu. Aku yakin, dia pasti bermaksud menjaga hati putrinya yang sangat tidak berguna."

Sudut mulut Tanya berkedut mendengarnya. Perkataan orang di depannya entah kenapa terlalu memaksa dirinya untuk melihat kenyataan. Dia tidak bisa belajar beladiri karena tidak memiliki energi yang banyak. Di dunia dimana kekuatan adalah segalanya. Bisa dikatakan dirinya memang tidak berguna.

Tanya hanya bisa tertawa nanar dan membela diri, "Perempuan cantik? Kamu pasti sedang bermimpi. Tidak mungkin ada perempuan cantik di hutan ini. Kalau ingin mengkonfirmasi betapa banyaknya orang yang menganggap aku nomor satu dalam hal itu. Kamu bisa melihatnya di televisi atau koran-koran."

"Televisi?"

"Di sini pasti tidak ada benda tersebut, ya? Orang-orang yang hidup di hutan pasti tidak paham tentang teknologi."

Dewa itu hanya tertawa heran. Tinggal di hutan? Dia rasa hanya orang gila yang mau tinggal di hutan. Kalau saja bukan untuk memenuhi tugasnya menghapus keberadaan semua monster di dunia ini. Dewa itu tidak akan mau mengemban tugas mulia yang menyita banyak waktu tersebut.

"Aku tidak akan menyangkal lagi. Mungkin saja kamu diciptakan dengan bakat membanggakan diri, tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Jadi, mari jelaskan apa yang dilakukan seorang putri di hutan? Bukankah kamu bilang mustahil ada perempuan berada di sini?"

Semua warna menghilang dari wajah Tanya. Kebencian dalam dirinya seolah tersulut api kembali. Dia bertekad untuk membalaskan dendam keluarganya.

"Aku tidak tahu. Keluargaku diserang dan aku melarikan diri ke hutan ini."

"Bagaimana dengan pengawal? Seorang putri pasti banyak pengawal, kan?"

"Mereka semua mati. Awalnya ayahku juga berhasil selamat. Tapi dia kembali lagi untuk mencari ibuku dan mengamankan pusaka berharga milik klan kami. Sekarang aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak."

Saling membunuh adalah masalah kekal milik manusia. Dewa itu tidak lagi terkejut dengan segala hal yang terjadi di dunia fana. Sebelum terjadi perang besar antara manusia dan monster. Manusia hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Ketika perang meletus, manusia mengalami kekalahan, dan hanya sedikit dari mereka yang selamat.

Setelah kehilangan kemudi pun mereka tetap tidak mau berubah. Beban yang harusnya di tanggung bersama seolah di serahkan kepada satu orang dengan imbalan kata pemanis seperti pahlawan. Mereka bersuka ria merayakan keberhasilan sang pahlawan seolah pengorbanan satu orang itu layak.

Tentu saja, sang pahlawan pasti memiliki orang yang mencintainya dengan tulus. Seseorang yang berpikir bahwa lebih baik dunia hancur ketimbang berjuang menyelamatkan mereka yang tidak layak untuk diselamatkan. Namun, benarkah sang pahlawan berjuang untuk umat manusia?

"Mendengar dari cerita itu. Sepertinya kamu sudah menghabiskan seluruh keberuntungan di hidupmu. Aku rasa hanya kesialan yang akan menunggu selanjutnya."

"Aku tidak peduli sesulit apa kedepannya. Aku pasti akan membalaskan dendam seluruh keluargaku!" jawab Tanya penuh tekad.

Keinginan yang begitu kuat dapat dilihat oleh Lelaki tersebut. Dia tersenyum hangat pada Tanya.

"Entah benar begitu ... atau semua yang kamu upayakan berakhir kegagalan. Kamu perlu persiapan, sekurang-kurangnya bercermin dahulu," ucapnya menyarankan.

Tanya berpikir sejenak, apa yang dikatakan oleh laki-laki di depannya benar. Dia hanya manusia gagal tanpa kemampuan beladiri. Apa yang bisa dilakukan oleh perempuan lemah yang hanya memiliki kecantikan? Kalau Tanya keluar hutan terlalu cepat, orang-orang yang menginginkan nyawanya pasti membunuhnya tanpa ampun.

"Kau harus mengajariku bertarung!"

Lelaki itu memandang Tanya lalu berkata, "Aku tidak mau. Kamu itu perempuan manja yang merepotkan."

"Aku akan membayar berapapun jumlahnya."

Apa Tanya tidak melihat posisinya sekarang? Dewa itu tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa untuk merespon penawaran tersebut. Uang sama sekali tidak dibutuhkan di tempat seperti ini.

"Apa kau pikir di hutan ini ada orang berjualan atau semacamnya? Uangmu sama tidak berharganya seperti daun-daun yang berjatuhan."

Tanya memang terbiasa menyelesaikan masalah menggunakan uang. Sebelumnya, dia tidak berpikir jauh bahwa cara tersebut tidak begitu berguna di sini. Dia mungkin harus menawarkan sesuatu yang diinginkan dewa tersebut agar kesepakatan bisa terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status