Share

Pengendali Arwah Terakhir
Pengendali Arwah Terakhir
Author: Roe_Roe

1| Tempat Pembuangan Segala Masalah

“Siapa kalian? Apa mau kalian? Turunkan aku di sini sekarang juga!” teriak Eryk.

“Diam dan jangan banyak bicara!” ujar pria yang terus-menerus menyedot rokoknya sambil mengemudi. “Kau hanya perlu duduk diam di sana dan kita akan tiba di tempat tujuan.”

Eryk terus memperhatikan jalanan yang mereka lalui. “Tapi, jalan ini tidak menuju ke rumahku atau ke pemakaman kakekku. Ke mana kalian akan membawaku?”

Eryk mulai sadar bahwa dia sedang berada dalam bahaya. Dia mulai mencari ponsel di dalam tasnya. Akan tetapi, pria yang duduk di samping kemudi menarik ransel Eryk dan merebut ponselnya. Ketika Eryk akan melawan, sebuah tinju melayang ke wajahnya. Pandangan Eryk  menggelap dan dia tidak ingat apa pun.

Ketika Eryk tersadar sekitar tiga jam kemudian, dia sudah disekap di sebuah gudang tua terbengkalai. Eryk  tidak tahu di mana dia berada saat ini. Seluruh pakaiannya telah dilucuti dan dia hanya mengenakan celana pendek miliknya. Tubuh Eryk sudah penuh dengan darah dan luka. Wajahnya lebam serta bibirnya pecah. Dia merasakan darah memenuhi mulutnya. Rasa nyeri dan sakit luar biasa menjalaei sekujur tubuh Eryk yang dipenuhi dengan luka pukulan.

“Siapa... kalian... sebenarnya?” ujar Eryk lirih di antara mulutnya yang terus memuntahkan darah. “Apa mau kalian dariku? Siapa yang mengirim kalian?” Dia tersedak darahnya sendiri saat bicara.

“Jangan banyak bacot! Kau tanda tangani saja berkas-berkas ini, lalu kau bisa bebas selamanya. Aku akan mengakhiri hidupmu agar kau tidak menderita lagi,” ujar pria yang sebelumnya menjadi pengemudi mobil SUV.

Beberapa jam yang lalu Eryk Wayland baru saja mendarat dengan pesawat komersil di bandara internasional setelah mendapatkan panggilan dari kepala pelayan keluarga bahwa kakeknya, Tuan Besar Wayland telah meninggal.

Selama dua tahun terakhir, Eryk dikirim oleh sang kakek untuk belajar di Melbourne. Pada tahun-tahun sebelumnya sejak usianya 13 tahun, Eryk bahkan harus tinggal di Finlandia seorang diri untuk menjauh dari kehidupan sang kakek di Kota Black Lake. Eryk tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan penuh luka batin. Dia merasa dibuang dan diasingkan oleh sang kakek meski segala kemewahan tersedia untuknya. Eryk merasa sang kakek tidak menginginkannya.

Saat Eryk akan pergi ke kampus seperti rutinitas biasanya, seseorang tiba-tiba menghubungi ponselnya dan mengatakan Eryk harus kembali ke Black Lake karena sang kakek meninggal. Meski Eryk kesal dan marah pada sang kakek, tapi dia tetap ingin kembali untuk melihat pria itu terakhir kalinya.

Eryk tiba di bandara dengan kacamata gelap. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari para paparazi. Berita kematian sang kakek memenuhi semua media nasional. Eryk terus memikirkan kematian kakeknya yang tiba-tiba. Sejauh pengetahuan Eryk, sang kakek tidak memiliki riwayat penyakit apa pun yang mungkin bisa merenggut nyawanya.

Eryk pikir seseorang dari anggota keluarganya akan mengirim jemputan di bandara. Dia mencari-cari sosok yang mungkin dia kenal, entah paman, sepupu, atau mungkin sang kepala asisten rumah tangga.

Eryk tak menemukan satu pun sosok yang dia kenal. Akan tetapi, seorang pria berpakaian serba hitam dengan topi menutupi matanya mendatangi Eryk. Rokok terjepit di antara bibir pria itu. Dia menunjukkan papan nama yang bertuliskan nama Eryk Wayland di sana.

“Tuan Eryk Wayland?” tanya pria itu dengan suara serak.

“Ya, itu aku. Apa keluargaku yang mengirimmu?”

“Ya, kami akan mengantarkan Anda. Di mana barang bawaan Anda?”

“Hanya ada ransel ini. Aku bisa membawanya sendiri.”

Eryk  kembali ke kota kelahiran orang tuanya hanya dengan membawa satu ransel kecil berisi pakaian yang cukup untuk dua atau tiga hari. Dia tidak berencana akan tinggal lama di sana meskipun kakeknya sudah meninggal. Justru kematian sang kakek akan menjadi alasan kuat bagi Eryk  untuk tidak lagi kembali ke Black Lake atau tinggal lebih lama di sana. Eryk  hanya akan menyampaikan perpisahan pada sang kakek sebelum dia dimakamkan.

“Aku mendapatkan perintah dari pamanmu untuk menjemputmu di bandara. Bukankah kau sedang terburu-buru untuk mendatangi pemakaman? Ikutlah denganku!” ujar pria itu dengan santai, bahkan tak menunjukkan rasa hormat sama sekali di hadapan Eryk.

Eryk tak ambil pusing. Dia lebih senang tidak menjadi pusat perhatian seperti itu. Eryk pun mengikuti pria itu keluar bandara dan sudah ada sebuah mobil SUV hitam yang menunggunya di sana. Di balik kemudi SUV ada seorang pria lain yang juga mengenakan pakaian serba hitam.

Eryk tak curiga dan tak memikirkan apa pun. Pria yang membawa papan nama dan menunggunya di bandara membukakan pintu belakang untuk Eryk. Setelah Eryk masuk, pria itu menutup pintu dan menguncinya dari luar.

Pada saat itulah Eryk mulai panik dan kebingungan. “Apa yang kau rencanakan?” Eryk mulai sadar bahwa ada yang tidak beres dengan dua pria yang menjemputnya.

Dua pria itu duduk tenang di bangku depan mobil. Mereka berkendara meninggalkan bandara. Tak satu pun yang menjawab rasa ingin tahu Eryk.

Buk!

Sebuah tinju mendarat di perut Eryk. Darah benar-benar menyembur dari mulutnya. matanya sudah tak bisa terbuka karena bengkak dan nyeri luar biasa.

Ponsel salah satu pria yang menyekap Eryk  berdering. Dia mengangkatnya dan berkata dengan singkat melalui ponsel. Suara ponsel cukup keras hingga Eryk bisa mendengarnya.

“Apa kalian berhasil mendapatkan tanda tangannya?”

“Tuan Sebastian, kami belum berhasil. Pemuda ini sangat keras kepala. Sekeras apa pun kami memukulinya, dia tetap saja menolak untuk membubuhkan tanda tangan.”

“Keparat kalian! Aku membayar mahal kalian berdua bukan untuk mendapatkan kabar buruk. Cepat dapatkan tanda tangannya! Oh, tunggu, biarkan aku berbicara langsung dengan keponakanku itu,” ujar sang paman.

Pria itu mendekatkan ponsel ke telinga Eryk. Kepala Eryk jatuh terkulai ke dadanya sendiri dengan kedua tangan tergantung ke langit-langit gudang. Kakinya bahkan melayang beberapa senti dari lantai. Tubuh Eryk sesekali berayun dan berputar seperti samsak. Eryk terlihat sangat lemah. Darah terus menetes-netes dari sekujur wajah dan tubuhnya yang penuh luka.

“Keponakanku tersayang,” ujar sang paman dengan nada lembut yang dibuat-buat. “Apa kau ingin terus menderita seperti ini? Bubuhkan saja tanda tanganmu, maka kau akan bebas setelahnya. Tidakkah kau ingin menemui kakekmu di pemakaman? Atau kau ingin menyusulnya ke alam baka?”

“Apa yang kau inginkan, Paman? Aku tak pernah mengusik kehidupanmu. Aku juga tak pernah meminta sepeserpun warisan dari kakek ataupun kekayaanmu. Jika kakek menyerahkan harta itu padaku, itu bukan salahku. Kenapa kau tidak memintanya langsung dari dia?” balas Eryk dengan seringai kemenangan.

Eryk dipaksa untuk menandatangani surat pengalihan hak waris dari sang kakek. Sang paman selalu membenci Eryk yang seorang yatim piatu. Sang kakek mewariskan seluruh harta kekayaannya hanya kepada Eryk. Padahal Tuan Besar Wayland masih memiliki putra yang lain (paman Eryk) yang selama ini selalu setia dan bekerja pada Tuan Besar Wayland.

“Keparat kecil sialan! Kau sama saja seperti ayahmu. Kau berpura-pura tak butuh harta, tapi juga menolak menyerahkannya padaku! Apa kau tahu bagaimana dia bisa mati karena sikapnya itu?” sang paman mendesis di telepon.

Pada saat nama sang ayah disebut, sepasang mata Eryk  yang bengkak dan biru membuka lebar. Meski sangat kesakitan, Eryk berusaha mengembalikan kesadarannya.

“Jadi, orang tuaku tidak meninggal dalam sebuah kecelakaan?” tanya Eryk.

“Kau ingin tahu kebenarannya?” sang paman merasa mendapatkan peluang. “Bubuhkan tanda tanganmu, maka kau akan mendengarkan semua ceritanya diriku. Jika kau membubuhkan tanda tangan penyerahan seluruh harta warisan itu kepadaku, aku akan meminta mereka membawamu ke sini dan akan aku ceritakan apa pun yang ingin kau dengar dariku secara langsung.”

Eryk mengangkat wajahnya. Ketika ponsel dimatikan, kedua pria yang memukuli Eryk menunggu dengan tidak sabar. Eryk meminta untuk diturunkan. Dia berjanji akan membubuhkan tanda tangan.

Salah satu pria itu menggerakkan tangan kosong ke udara, tapi tiba-tiba tali tambang yang mengikat Eryk ke langit-langit gudang terputus seolah-olah ditebas oleh sebuah pedang tak kasat mata. Eryk terheran-heran, tapi dia tak bisa berpikir lebih lama. Tubuhnya jatuh ke permukaan lantai dan terkulai seperti karung bekas.

“Bagaimana kau bisa memotong tali itu bahkan tanpa senjata dan menyentuhnya?” tanya Eryk  dengan bibir bergetar karena menahan sakit.

“Kau pikir dengan apa kami dari tadi memukulimu? Bahkan tak satu pun ujung jari kami menyentuh kulitmu. Tapi, kau bisa mendapatkan luka sebanyak itu. Oh, baiklah, aku pikir hidupmu tak akan lama lagi. Sebelum kujelaskan rahasiaku, bubuhkan saja tanda tanganmu di sini!” perintah pria itu.

“Setelah aku menandatanganinya, apakah kalian benar-benar akan membawaku bertemu dengan pamanku?”

“Oh, tentu saja, anak muda. Kami juga harus bertemu dengan Sebastian Wayland. Kami harus meminta sisa pembayaran darinya. Jadi, bubuhkan saja tanda tangan sialanmu itu di atas kertas ini keparat!”

Salah satu pria melemparkan pulpen ke depan tubuh Eryk yang masih meringkuk di lantai. Eryk berusaha duduk sekuat tenaga meski sakit luar biasa. Tangan-tangannya yang lebam dan berdarah bahkan beberapa ruas jarinya patah mulai meraih pulpen itu. Meski dalam posisi kedua tangan masih terikat tali tambang, Eryk membubuhkan tanda tangan dengan gemetar di atas kertas.

“Aku sudah menandatanganinya. Sekarang penuh janji kalian. Bawa aku pergi ke tempat pamanku!” Eryk menoleh pada kedua pria itu yang berdiri menjulang di hadapannya.

Tanpa Eryk duga, sepasang mata kedua pria itu di balik topinya tiba-tiba menyala merah terang. Mereka menyeringai dengan gigi-gigi yang bertaring tajam. Lalu dari tangan mereka muncul sebuah bayangan besar seperti tinju Budha yang terbuat dari batu dan terkepal kuat.

“Kau pikir kami benar-benar akan membawa bertemu dengan pamanmu? Tentu saja tidak! Tapi, kami akan mengirimmu ke neraka agar kau bisa bertemu dengan kakekmu yang super kaya itu. Hahah!” Kedua pria itu tertawa terbahak-bahak.

Sosok tinju Budha yang terbuat dari batu itu terangkat melayang di atas kepala seiring dengan gerakan tangan kedua pria itu. Kepalan tinju tanpa awak hanya berupa kepalan tangan yang terbuat dari batu. Tinju melayang dan menghantam tubuh Eryk.

Eryk yang sebelumnya berusaha berdiri tiba-tiba terdorong ke belakang dengan sangat kuat seperti dihantam oleh mobil yang melaju dengan sangat kencang. Tubuhnya terlempar ke dinding gudang hingga bagian dinding itu rompal. Eryk jatuh terkulai tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah dari mulutnya.

“Periksa dia!” ujar salah satu pria kepada rekannya.

Satu pria mendekati tubuh Eryk dengan menendangkan kakinya. Dia menggerak-gerakkan tubuh Eryk  yang lunglai dengan ujung bootnya.

“Bocah ini sudah mati! Dia tak bergerak sama sekali. Tak akan ada yang selamat dari roh summon tinju kita.”

“Lemparkan dia ke tempat sampah. Dua jam lagi truk pengangkut sampah akan datang. Biar mereka membawa jasadnya ke gunung sampah di Rockwool dan menjadi santapan para burung pemakan bangkai di sana.”

Usai mengeluarkan semua muatannya, truk pergi meninggalkan jejak ban di permukaan tanah berlumpur. Kawanan burung gagak dan burung pemakan bangkai mendarat di atas tubuh Eryk yang baru saja diturunkan bersama dengan sampah rumah tangga lainnya. Mereka mematuki tubuhnya.

Wajah Eryk pucat dan tertutup sebagian oleh rambut bercampur darah dan lumpur kering. Pada tubuhnya tak ada pakaian kecuali celana pendek yang penuh dengan bercak darah.

Para gagak terus mematuki dagingnya yang terbuka dan banyak luka di sana. Aroma amis darah bercampur bau busuk sampah diembuskan angin ke puncak gunung sampah. Ada seekor burung hantu putih yang bertengger dan terus mengawasi.

Ketika matahari menyorot mata Eryk, tiba-tiba dia mengerjap. Tangannya bergerak-gerak untuk mengusir para gagak. Dia menggeliat dan longsoran sampah tiba-tiba jatuh dari ketinggian menimpa wajahnya.

“Ah,” rintihnya.

Dia berusaha keluar dari kuburan sampah busuk itu dengan cara merangkak. Ketika sudah berhasil tiba di tempat yang lebih kokoh, dia kembali berbaring dan dadanya naik turun dengan napas tersengal. Bibirnya menyunggingkan senyum lemah.

“Mungkin ini bagus,” ujarnya. “Mereka mengira aku sudah mati dan melemparkanku ke tong sampah. Sekarang, truk pengangkut sampah itu membawaku ke tempat pembuangan akhir. Seharusnya ini bagus untukku. Mereka tak akan pernah mengusikku lagi dan menganggapku sudah meninggalkan dunia ini selamanya.”

Senyumnya tiba-tiba berubah menjadi kertakan rahang yang sangat kuat. Kedua tangannya terkepal di samping tubuh. Dia bangkit dan berjuang keras untuk bisa duduk. Sesekali dia mengerang kesakitan. Dia raba dadanya yang nyeri dan bersenyut-denyut. Dia pikir mungkin tulang rusuknya patah.

Eryk berusaha duduk di antara tumpukan sampah. Jari-jarinya tertekuk dengan sangat aneh karena patah. Bahkan mungkin merasa tulang rusuknya juga ada sebagian yang remuk setelah dihantam oleh tinju Budha hingga menabrak dinding.

“Kekuatan roh summon?” Eryk masih bisa mendengar dan mengingat dengan jelas ucapan mereka sebelum pingsan.

Eryk mengangkat sudut bibirnya dan terlihat muak. “Paman telah membunuhku. Bukankah itu bagus jika aku hilang dari kehidupan mereka? Tapi, apa yang harus aku lakukan dari sini?” Eryk mendesah. Dia baru sadar jika selama ini selalu hidup dari topangan sang kakek.

Eryk tidak bisa berjalan karena pergelangan kakinya pun terputar ke belakang 45 derajat. Dia harus merangkak menuruni gunung sampah itu. Pada satu pijakan, gunungan sampah itu melorot dan Eryk berguling-guling terseret ke bawah bersama kotoran yang lain.

Seekor burung hantu yang sedari tadi terus memperhatikan keberadaan Eryk dari salah satu puncak gunungan sampah, mulai merentangkan sayap dan terbang untuk mendekati Eryk. Ketika Eryk  sudah berada di dasar gunungan sampah berselimutkan kotoran, burung hantu putih itu berdiri tepat di samping kepala Eryk dan mengatakan sesuatu.

“Maukah kau mengikat perjanjian denganku? Serahkan hidupmu untukku, maka akan aku berikan kehidupan dunia yang takkan terkalahkan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status