Share

Elena dalam bahaya

Author: Novita Ledo
last update Last Updated: 2025-11-23 19:12:25

Tapi seakan berubah ketika ia mendengar ada suara yang tengah berteriak keras.

"Bos, gadis itu membawa beberapa orang memasuki mansion...."

Teriakan terakhir itu dari luar mansion belum benar-benar hilang ketika Leon menutup pintu kamar itu dengan satu hentakan.

Brank...

Keheningan di dalam ruangan seperti menyerap sisa-sisa kekacauan di luar, membuat jantung Elena berdetak kencang tanpa irama yang jelas.

Elena berdiri kaku di dekat jendela besar, kedua tangannya bergetar di samping tubuh. Cahaya jingga sore memantul di pipinya, membuat ketakutannya terlihat lebih nyata, lebih telanjang.

Leon menatapnya lama.

Lama sekali.

Seakan sedang mempelajari reaksi Elena seperti mempelajari kode rahasia.

Ia melepaskan jasnya yang berlumur darah, menjatuhkannya begitu saja ke lantai. Elena tersentak melihat bercak merah tua yang masih basah itu.

“Terjadi sesuatu di luar, kan?” suara Elena bergetar. “Ada yang kamu siksa?”

Leon tidak langsung menjawab. Ia mengambil kain dari meja, mengusap noda darah di tangannya, namun matanya tak pernah lepas dari Elena.

“Kamu tidak perlu tahu,” ucapnya datar, namun nadanya mengandung tekanan halus. “Beberapa laki-laki bodoh mencoba masuk wilayahku. Itu saja.”

“Dan kamu membunuhnya?”

Leon berhenti mengusap tangannya. “Ya.”

Jawabannya sederhana, tapi Elena merasakannya seperti batu besar yang menghantam dadanya.

“Aku tidak ingin kamu disentuh oleh siapa pun selain aku.”

Elena menelan ludah. Pernyataan itu terlalu lugas. Terlalu menguasai. Namun entah mengapa, bukan itu yang membuatnya mundur.

Ada sesuatu dalam cara Leon mengatakannya, bukan seperti ancaman, tapi seperti sejenis… klaim yang tidak bisa dijelaskan.

“Kenapa kamu bicara seolah aku ini milikmu?” gumam Elena pelan.

Leon mendekat. “Karena itulah yang sedang terjadi.”

Ia berdiri tepat di hadapan Elena sekarang. Begitu dekat hingga Elena bisa merasakan aroma hangat tubuhnya bercampur samar bau logam darah yang belum sepenuhnya hilang.

Elena bergeser setengah langkah ke belakang tanpa sadar, tapi punggungnya sudah menyentuh dinding kaca. Leon berhenti satu jengkal darinya. Sorot matanya tajam, gelap, dan penuh badai.

“Elena,” ucapnya pelan, “tadi kamu hampir saja diseret keluar oleh orang-orang itu jika aku terlambat beberapa menit. Mereka kemari bukan untukku.” Ia mengangkat dagu Elena dengan dua jarinya. “Mereka datang untukmu.”

“Untuk… aku?” Elena hampir tidak bisa mengucapkannya.

“Ya. Dan itu membuatku marah.” Napas Leon menghangatkan pernapasannya sendiri. “Sangat marah.”

Elena menahan napas ketika Leon membelai ujung rambutnya. Sentuhan itu pelan, tapi intens; seintens tatapan yang tak pernah lepas dari wajahnya.

Kedekatan itu membuat Elena merasakan sesuatu yang berbahaya, bahwa hatinya mulai kehilangan kemampuan membedakan ketakutan dan ketertarikan.

“Kamu bergetar,” bisik Leon. “Takut?”

Elena menggeleng pelan. “Tidak tahu.”

Leon menyentuh pinggang Elena, menariknya sedikit mendekat. Gerakan itu tidak kasar, tapi cukup tegas untuk membuat Elena kehilangan pijakan.

“Bilang aku untuk berhenti,” ujar Leon. “Dan aku akan berhenti.”

Elena memejamkan mata. Tapi tak ada kata ‘berhenti’ yang keluar.

Hanya keheningan.

Leon menunduk perlahan, mencium sisi wajahnya. Bukan dengan agresi, tapi dengan kehati-hatian yang justru membuat Elena makin bingung. Bibir Leon menyentuh kulitnya seperti rahasia yang tidak pernah diizinkan terang.

“Leon…” Elena berbisik.

“Ya?”

“Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi padaku.”

Leon menyentuh punggungnya, menahan Elena agar tidak goyah. “Aku akan membuatmu mengerti. Pelan-pelan.”

Ciuman berikutnya mendarat di tulang rahangnya. Hangat, perlahan, nyaris membuat lutut Elena melemah. Tangannya tanpa sadar memegang bahu Leon, seperti mencari tempat untuk bertahan.

“Lihat aku,” kata Leon.

Elena membuka mata. Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang intens di sana, sesuatu yang terasa seperti badai yang menelan keduanya.

Leon mencondongkan tubuh, mencium bibir Elena dengan sentuhan halus namun penuh intensi. Ciuman itu bukan sekadar ingin. Itu ciuman seseorang yang menahan dirinya terlalu lama.

Elena balas mencium, pelan dan dalam walau jantungnya berdetak terlalu keras.

Leon memperdalam ciumannya sedikit, menahan wajah Elena dengan kedua tangannya, seakan dunia bisa runtuh kalau ia melepaskannya terlalu cepat. Ciuman itu bukan vulgar. Hanya penuh ketegangan yang membakar perlahan.

Saat bibir mereka terpisah, napas keduanya tersengal.

“Elena…” Suara Leon serak. “Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan padaku.”

Elena hendak menjawab, tapi....

DUARRR!!

Suara tembakan mengguncang seluruh ruangan.

Leon langsung memeluk Elena, tubuhnya menjadi tameng. “Tetap di belakangku!”

Langkah-langkah tergesa terdengar dari koridor. Suara benturan, teriakan, lalu sesuatu jatuh berat.

“Leon… itu suara siapa?” Elena panik.

Leon mengeluarkan pistol dari bagian belakang pinggangnya, matanya berubah sepenuhnya menjadi dingin—dingin khas pembunuh.

“Musuh yang tidak seharusnya masih hidup,” jawab Leon.

Pintu kamar digedor keras.

“Leon!” suara perempuan. Kental, tajam, penuh kemarahan dan amarah yang membusuk. “Kamu pikir aku selesai denganmu?”

Elena pucat. “Itu… suara Sofia?”

Raut wajah Leon berubah saat Elena menyebut nama itu, tapi belum sempat berucap...

Brank...

Pintu terbuka dengan kasar.

Sosok itu berdiri di ambang pintu—Sofia, dengan tubuh berlumuran darah dan luka di wajahnya. Matanya merah, liar, penuh dendam membara.

“Seharusnya aku yang berada di sisimu,” Sofia menjerit. “Bukan gadis kecil ini!”

Elena tersentak ketika tatapan Sofia mengarah padanya seperti panah beracun.

“Jangan sentuh dia,” Leon memperingatkan, mengangkat pistolnya.

Tapi Sofia tertawa. Suara yang retak dan menyakitkan telinga.

“Oh, Leon…” katanya sambil menodongkan pistolnya pada Elena. “Kamu bukan satu-satunya yang kembali dari kematian.”

“Elena!” Leon berteriak. “Lari—!”

DUARRR!!

Satu tembakan. Lalu keheningan yang menelan segalanya.

Elena menutup mata. Dunia seakan runtuh dalam satu detik.

Dan ketika ia membuka mata, Leon bukan lagi berdiri di depannya.

Melainkan terjatuh.

Darah mengalir dari bahunya, membasahi lantai marmer.

“Leon!!!”

Elena berlari ke arahnya, tapi Sofia mengangkat pistol lagi, mengarah tepat ke dada Elena.

“Kamu…” Sofia tersenyum miring. “Sekarang giliranmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Terjebak di Dua Sisi

    Tangan Leon yang masih menodongkan pistol ke arah pria berambut perak itu tidak goyah, tetapi tubuhnya tegang. Ekspresi dingin membeku di wajahnya, jauh lebih pekat daripada keputusasaan yang baru saja ia rasakan bersama Elena.“Kamu,” desis Leon. Bukan sapaan, melainkan kutukan. Aura ruangan sempit itu, yang sebelumnya dipenuhi keintiman yang kacau, kini mendadak dipenuhi bau mesiu dan bahaya yang lebih mematikan daripada peluru di luar.Pria itu melangkah maju. Mantel panjangnya yang gelap nyaris menyentuh kusen pintu. Dia mengangkat tangan kirinya dengan gerakan santai, seolah keberadaan pistol yang diarahkan ke kepalanya hanyalah formalitas.“Sambutan yang kurang hangat, Leon,” balas pria itu dengan nada mengejek, suaranya dalam dan bergetar, mengingatkan pada gema di makam batu.Elena merasakan cengkeraman Leon pada pinggangnya mengerat hingga menyakitkan. Kata-kata dari perkelahian tadi, tentang kehormatan dan pengkhianatan, mendadak terasa dingin dan nyata di tenggorokannya.“J

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Musuh lama

    Hening beberapa detik setelah Sofia berkata, “Sekarang giliranmu,” terasa seperti sesuatu yang runtuh dari dalam dada Elena. Pistol itu masih mengarah ke wajahnya, tapi tatapan Sofia justru lebih dingin daripada moncong senjata itu sendiri. “Jangan buat aku ulangi,” ucap Sofia pelan tapi mematikan. Elena menegang. Tangannya sedikit bergetar. Leon berdiri setengah terseret napas, darah masih menetes dari lengannya yang tadi tertembak. Tapi suaranya tetap stabil. “Sofia… kamu masih seperti dulu,” katanya lirih. “Bahkan setelah kamu menjual tubuh murah mu ke pria brengsek itu!" Rahang Sofia mengeras. Ia kemudian berucap," Kamu tidak punya hak menyebut namanya,” desis Sofia. Leon tertawa kecil, pahit. “Hak? Setelah kamu menusukku dari belakang? Setelah kamu menjual kepercayaan ku, bahkan segala informasi tentang markas kami ke dia? Jangan lupa malam itu, aku yang menjemput mayat-mayat anak buahmu.” Sofia tersentak. Ada kilatan emosi yang cepat—marah, sakit, rindu, sulit dite

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Elena dalam bahaya

    Tapi seakan berubah ketika ia mendengar ada suara yang tengah berteriak keras. "Bos, gadis itu membawa beberapa orang memasuki mansion...." Teriakan terakhir itu dari luar mansion belum benar-benar hilang ketika Leon menutup pintu kamar itu dengan satu hentakan. Brank... Keheningan di dalam ruangan seperti menyerap sisa-sisa kekacauan di luar, membuat jantung Elena berdetak kencang tanpa irama yang jelas. Elena berdiri kaku di dekat jendela besar, kedua tangannya bergetar di samping tubuh. Cahaya jingga sore memantul di pipinya, membuat ketakutannya terlihat lebih nyata, lebih telanjang. Leon menatapnya lama. Lama sekali. Seakan sedang mempelajari reaksi Elena seperti mempelajari kode rahasia. Ia melepaskan jasnya yang berlumur darah, menjatuhkannya begitu saja ke lantai. Elena tersentak melihat bercak merah tua yang masih basah itu. “Terjadi sesuatu di luar, kan?” suara Elena bergetar. “Ada yang kamu siksa?” Leon tidak langsung menjawab. Ia mengambil kain dari

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Aturan sang penguasa

    Ia terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar, bukan suara alarm mungil di apartemennya. Ranjang empuk dan selimut mewah justru membuat dadanya sesak. Ruangan terlalu besar, terlalu sunyi, seolah menelan dirinya. Di kursi, jas hitam Leon terlipat rapi; pemiliknya hilang begitu saja, seperti bayangan yang bergerak sendiri. Elena menghela napas dan membasuh wajahnya di wastafel marmer. Refleksinya sendiri tampak lelah: mata sembab, wajah pucat, senyum yang dipaksa. “Aku harus kuat,” bisiknya pada bayangan itu. Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambutnya. Tidak ada kehangatan di sana. Hanya meja panjang penuh makanan mewah dan para pria bertubuh besar yang menoleh menilai. Di ujung meja, Leon duduk seperti penguasa dunia kecilnya, kemeja putih dengan lengan digulung menampilkan lengan kokohnya. “Elena,” panggilnya. “Duduk di sini.” Ia menurut, meski tangan gemetar. Salah satu pria berwajah penuh luka tiba-tiba terkekeh. “Bos, sejak kapan kita mengundang t

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Gerbang kehidupan baru

    Di malam berikutnya, ketika langit Jakarta masih diselimuti mendung. Hujan turun tipis, membuat jalanan berkilau basah diterpa cahaya lampu. "Baiklah, ini semua demi biaya pengobatan ayahku." Elena mulai menjalankan tugasnya, dia berdiri menunggu jemputan dan benar saja, saat sebuah mobil melintas, ia segera masuk dan kini duduk di kursi penumpang mobil mewah milik Leon itu. Kedua tangannya saling menggenggam erat, jemari dingin berkeringat. Pikirannya kalut, hatinya penuh tanda tanya. Mobil melaju tenang, dikendarai sopir pribadi Leon. Suasana di dalam begitu hening, hanya suara mesin yang terdengar. Leon yang duduk di sampingnya, hanya bersikap tenang dengan tatapan yang fokus ke luar jendela. Sesekali, Elena melirik pria itu. Setiap detailnya memancarkan aura kekuasaan seperti jas hitam rapi, jam tangan mewah yang berkilau, dan sorot mata yang dingin bagai batu. Ia seperti pria yang tak bisa disentuh, apalagi dipahami. Elena menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Ayah

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Kontrak yang mengikat

    Suasana ruang rawat itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung, begitu kuat hingga membuat dada Elena terasa kencang. Monitor di samping ranjang berdetak pelan, teratur, seperti menghitung detik-detik penting yang menentukan nyawa ayahnya. Setiap bunyi bip seakan memukul batinnya. Elena duduk di kursi plastik kecil, tubuhnya condong ke depan. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah. Tulang-tulang di tangan itu tampak begitu menonjol, seakan waktu menggerogotinya tanpa ampun. Elena menyusuri tangan lemah itu dengan jari-jarinya yang gemetar. “Bertahanlah, Yah… tolong bertahan,” bisiknya parau. " Demi aku Yah...." Tanpa terasa air matanya luruh, ia menjadi sangat lemas dan tak berdaya. "Yah...." Suara itu pecah berkali-kali, seperti tidak sanggup menahan beban yang menekan dari segala arah. Air mata jatuh tanpa diminta. Rasanya ia ingin berteriak, membuat langit-langit rumah sakit runtuh, menghentikan semua penderitaan. Tapi kenyataan terlalu keras,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status