Share

Musuh lama

Author: Novita Ledo
last update Last Updated: 2025-11-23 19:19:16

Hening beberapa detik setelah Sofia berkata, “Sekarang giliranmu,” terasa seperti sesuatu yang runtuh dari dalam dada Elena. Pistol itu masih mengarah ke wajahnya, tapi tatapan Sofia justru lebih dingin daripada moncong senjata itu sendiri.

“Jangan buat aku ulangi,” ucap Sofia pelan tapi mematikan.

Elena menegang. Tangannya sedikit bergetar. Leon berdiri setengah terseret napas, darah masih menetes dari lengannya yang tadi tertembak. Tapi suaranya tetap stabil.

“Sofia… kamu masih seperti dulu,” katanya lirih. “Bahkan setelah kamu menjual tubuh murah mu ke pria brengsek itu!"

Rahang Sofia mengeras. Ia kemudian berucap," Kamu tidak punya hak menyebut namanya,” desis Sofia.

Leon tertawa kecil, pahit. “Hak? Setelah kamu menusukku dari belakang? Setelah kamu menjual kepercayaan ku, bahkan segala informasi tentang markas kami ke dia? Jangan lupa malam itu, aku yang menjemput mayat-mayat anak buahmu.”

Sofia tersentak. Ada kilatan emosi yang cepat—marah, sakit, rindu, sulit ditebak. Tapi hanya sedetik sebelum ia menyembunyikannya lagi.

“Aku lakukan itu untuk hidup,” katanya. “Untuk bertahan. Kamu terlalu percaya kehormatan, Leon. Dunia mafia tidak punya itu.”

“Dan kamu terlalu percaya si brengsek itu,” Leon membalas dingin. “Pria yang menanamkan chip pelacak di lehermu tanpa sepengetahuanmu, dan kamu bangga melacurkan kesetiaanmu?”

Sofia menegang. Jemari yang memegangi pistol sedikit berubah posisi, cukup untuk Leon melihat celah.

Dan di detik berikutnya, Leon bergerak.

Ia menepis tangan Sofia dan memutar tubuhnya, menabrakkan bahu ke tembok. Pistol itu terlepas, jatuh ke lantai dengan denting keras. Sofia langsung meraih pisau kecil dari pinggangnya, tetapi Leon lebih cepat—mengunci pergelangannya.

“Akhhh!” Sofia mendesis kesakitan.

Elena ingin membantu, tapi tubuhnya masih membeku.

Leon menahan tangan Sofia ke atas kepala, napasnya tersengal, luka di bahunya makin parah berdarah. Tapi tekadnya tidak goyah.

“Kamu pikir, aku tidak bisa membunuhmu?” Leon menatap Sofia dari jarak yang menyakitkan.

Sofia tersenyum miring, tipis, tapi matanya penuh dendam. “Kamu memang menyebalkan…” ia mendesis. “Pantas saja aku dulu jatuh untukmu.”

Elena tersentak.

Saat itu juga, satu kalimat besar menampar keras. Ternyata Sofia si pengkhianatan itu.

Tiba-tiba suara deru mobil terdengar dari luar. Suara pintu dibanting. Banyak langkah kaki mendekat.

Leon menarik Elena mendekat. “Kita harus pergi sekarang.”

“Bagaimana dengan Sofia?” Elena bertanya lirih.

Leon menatap Elena sebentar, lalu menghela napas panjang. “Biarkan dia hidup. Untuk saat ini.”

Namun Sofia justru tersenyum seperti pemenang.

“Kalian terlambat.”

Pintu depan mendadak jebol oleh hantaman keras. Masker hitam, senjata laras panjang, dan teriakan dalam bahasa Rusia memenuhi ruangan.

“Pasukannya,” Leon menggeram.

Sofia memanfaatkan kekacauan itu. Dia mengambil pisaunya dari lantai, memberi Leon tatapan kemenangan kecil.

“Kamu tak akan pergi jauh,” katanya sebelum berlari menembus jendela belakang, menghilang dalam gelap.

“Leon!” Elena memanggil, tapi pria itu langsung menariknya masuk ke koridor sempit di belakang gudang.

Peluru menghantam dinding di sebelah mereka. Beton pecah. Debu beterbangan.

“Turun!” Leon menutupi tubuh Elena ketika tembakan makin dekat. Napasnya berat, tapi ia tetap memaksa bergerak.

Mereka menyusuri tangga besi menuju ruang bawah tanah. Leon menendang pintu tua itu hingga terbuka.

“Masuk,” katanya.

Begitu pintu tertutup, hening mendadak menggantung. Tembakan masih terdengar dari kejauhan, tapi suara itu meredam oleh ketebalan dinding.

Elena baru sadar Leon terhuyung. Luka di bahunya menghitam oleh darah.

“Elena…” suaranya nyaris pingsan.

“Elena, duduk. Biar aku periksa,” katanya.

Namun Elena justru memegang wajah Leon dengan kedua tangannya. “Kamu yang harus duduk. Kamu mengeluarkan banyak darah."

Leon mencoba tersenyum, “Aku pernah lebih buruk dari ini.”

“Tapi aku belum,” Elena membalas cepat, suaranya serak." Dimana anak buah mu?"

"Sssst ... Aku sudah merencanakan ini."

Elena jadi terdiam, tanpa bertanya lagi. Tatapan mereka bertemu. Dekat. Terlalu dekat. Dalam ruangan sempit itu, dengan napas Leon yang memburu dan tangan Elena yang bergetar mencengkeramnya, ada sesuatu yang berubah. Semua ketakutan, semua darah, semua kebisingan di luar—lenyap. Yang ada hanya mereka.

“Elena…” Leon berbisik, suaranya rendah, seolah sedang mencoba bertahan agar tetap sadar. “Kamu membuatku… lupa kalau aku seharusnya mati hari ini.”

Elena menelan ludah. Dadanya bergetar.

“Aku tidak ingin kamu mati. Bagaimana dengan para pekerja mu di mansion ini? Apa mereka selamat?"

Tangan Leon bergerak pelan, menyentuh pipinya. Jari-jarinya hangat meski tubuhnya dingin oleh kehilangan darah.

“Tetap lihat aku,” katanya, suaranya seperti hembusan terakhir. “Jangan hiraukan dulu mereka, aku sudah punya ruang khusus untuk mereka bersembunyi."

Elena mendekat, terlalu dekat hingga mereka hampir berbagi napas.

Ia menarik Elena ke dalam pelukannya dengan kencang, seolah ingin memastikan ia nyata. Ciumannya datang pelan, ragu, tapi emosinya menghantam Elena seperti badai. Bukan gairah kosong—ini luka, ketakutan, kerinduan yang tidak ia sadari ia punya.

Elena membalas ciumannya, jemarinya menyentuh rahang Leon, merasakan kulitnya yang kasar dan napasnya yang bergetar. Ciuman mereka makin dalam, makin menuntut, sampai Leon menahan pinggang Elena, menariknya mendekat seolah dunia di luar sedang runtuh.

“Elena…,” ia berbisik di antara napas mereka. Suaranya penuh pergolakan. “Aku tidak seharusnya menginginkanmu di saat seperti ini.”

“Kalau begitu… jangan pikirkan apa yang seharusnya,” Elena menjawab lirih, kening mereka bertemu.

Leon menutup mata, tubuhnya sedikit goyah oleh luka dan emosi yang ia tahan selama ini. Sentuhan Elena di bahunya membuatnya gemetar,bukan karena sakit, tapi karena ia hampir kehilangan kendali.

Tangan besar Leon menelusuri punggung Elena, menahan tengkuknya, membawa bibir mereka kembali bertemu. Ciumannya lebih dalam kali ini, lebih putus asa, dan Elena merasakan seluruh berat beban Leon melebur di antara mereka.

Mereka jatuh bersama ke lantai kayu tua, Leon melindungi tubuh Elena dari benturan. Napas mereka saling menyatu, suara jantung Leon begitu keras di telinga Elena.

“Elena… kalau kita selamat hari ini…” Leon berbisik di bibirnya, suaranya retak, “…aku tidak akan melepaskanmu lagi.”

Elena menggenggam wajahnya, menatap matanya yang merah dan lelah. “Kalau kita selamat… aku tidak akan pergi melihat ayah ku."

Napas Leon menabrak kulitnya—hangat, kacau, dan terlalu jujur. Dunia mengecil sampai hanya ada mereka berdua.

Sebelum semuanya memuncak, Leon berhenti. Ia memegang wajah Elena seolah menahan dirinya sendiri.

“Kita harus pergi…” katanya terengah. “Sebelum mereka menemukan pintu bawah tanah.”

Elena mengangguk pelan. Ciuman terakhir mereka begitu lembut, seperti janji yang tiba-tiba terlalu berat untuk ditanggung.

“Kita ke terowongan,” Leon menghela napas berat.

Namun saat mereka membuka pintu kecil di belakang ruangan…

Elena menahan napas.

Matanya membelalak.

Leon langsung menariknya ke belakang, menodongkan pistol.

Di ambang pintu sempit itu—seorang pria berdiri.

Rambut perak. Mata biru es. Senyum tipis yang dingin.

“Leon… sudah lama sekali.”

Elena tidak tahu siapa dia. Tapi dari cara Leon membeku, ia tahu ini bukan orang biasa.

“Ka-mu...." Leon berbisik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Terjebak di Dua Sisi

    Tangan Leon yang masih menodongkan pistol ke arah pria berambut perak itu tidak goyah, tetapi tubuhnya tegang. Ekspresi dingin membeku di wajahnya, jauh lebih pekat daripada keputusasaan yang baru saja ia rasakan bersama Elena.“Kamu,” desis Leon. Bukan sapaan, melainkan kutukan. Aura ruangan sempit itu, yang sebelumnya dipenuhi keintiman yang kacau, kini mendadak dipenuhi bau mesiu dan bahaya yang lebih mematikan daripada peluru di luar.Pria itu melangkah maju. Mantel panjangnya yang gelap nyaris menyentuh kusen pintu. Dia mengangkat tangan kirinya dengan gerakan santai, seolah keberadaan pistol yang diarahkan ke kepalanya hanyalah formalitas.“Sambutan yang kurang hangat, Leon,” balas pria itu dengan nada mengejek, suaranya dalam dan bergetar, mengingatkan pada gema di makam batu.Elena merasakan cengkeraman Leon pada pinggangnya mengerat hingga menyakitkan. Kata-kata dari perkelahian tadi, tentang kehormatan dan pengkhianatan, mendadak terasa dingin dan nyata di tenggorokannya.“J

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Musuh lama

    Hening beberapa detik setelah Sofia berkata, “Sekarang giliranmu,” terasa seperti sesuatu yang runtuh dari dalam dada Elena. Pistol itu masih mengarah ke wajahnya, tapi tatapan Sofia justru lebih dingin daripada moncong senjata itu sendiri. “Jangan buat aku ulangi,” ucap Sofia pelan tapi mematikan. Elena menegang. Tangannya sedikit bergetar. Leon berdiri setengah terseret napas, darah masih menetes dari lengannya yang tadi tertembak. Tapi suaranya tetap stabil. “Sofia… kamu masih seperti dulu,” katanya lirih. “Bahkan setelah kamu menjual tubuh murah mu ke pria brengsek itu!" Rahang Sofia mengeras. Ia kemudian berucap," Kamu tidak punya hak menyebut namanya,” desis Sofia. Leon tertawa kecil, pahit. “Hak? Setelah kamu menusukku dari belakang? Setelah kamu menjual kepercayaan ku, bahkan segala informasi tentang markas kami ke dia? Jangan lupa malam itu, aku yang menjemput mayat-mayat anak buahmu.” Sofia tersentak. Ada kilatan emosi yang cepat—marah, sakit, rindu, sulit dite

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Elena dalam bahaya

    Tapi seakan berubah ketika ia mendengar ada suara yang tengah berteriak keras. "Bos, gadis itu membawa beberapa orang memasuki mansion...." Teriakan terakhir itu dari luar mansion belum benar-benar hilang ketika Leon menutup pintu kamar itu dengan satu hentakan. Brank... Keheningan di dalam ruangan seperti menyerap sisa-sisa kekacauan di luar, membuat jantung Elena berdetak kencang tanpa irama yang jelas. Elena berdiri kaku di dekat jendela besar, kedua tangannya bergetar di samping tubuh. Cahaya jingga sore memantul di pipinya, membuat ketakutannya terlihat lebih nyata, lebih telanjang. Leon menatapnya lama. Lama sekali. Seakan sedang mempelajari reaksi Elena seperti mempelajari kode rahasia. Ia melepaskan jasnya yang berlumur darah, menjatuhkannya begitu saja ke lantai. Elena tersentak melihat bercak merah tua yang masih basah itu. “Terjadi sesuatu di luar, kan?” suara Elena bergetar. “Ada yang kamu siksa?” Leon tidak langsung menjawab. Ia mengambil kain dari

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Aturan sang penguasa

    Ia terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar, bukan suara alarm mungil di apartemennya. Ranjang empuk dan selimut mewah justru membuat dadanya sesak. Ruangan terlalu besar, terlalu sunyi, seolah menelan dirinya. Di kursi, jas hitam Leon terlipat rapi; pemiliknya hilang begitu saja, seperti bayangan yang bergerak sendiri. Elena menghela napas dan membasuh wajahnya di wastafel marmer. Refleksinya sendiri tampak lelah: mata sembab, wajah pucat, senyum yang dipaksa. “Aku harus kuat,” bisiknya pada bayangan itu. Di ruang makan, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambutnya. Tidak ada kehangatan di sana. Hanya meja panjang penuh makanan mewah dan para pria bertubuh besar yang menoleh menilai. Di ujung meja, Leon duduk seperti penguasa dunia kecilnya, kemeja putih dengan lengan digulung menampilkan lengan kokohnya. “Elena,” panggilnya. “Duduk di sini.” Ia menurut, meski tangan gemetar. Salah satu pria berwajah penuh luka tiba-tiba terkekeh. “Bos, sejak kapan kita mengundang t

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Gerbang kehidupan baru

    Di malam berikutnya, ketika langit Jakarta masih diselimuti mendung. Hujan turun tipis, membuat jalanan berkilau basah diterpa cahaya lampu. "Baiklah, ini semua demi biaya pengobatan ayahku." Elena mulai menjalankan tugasnya, dia berdiri menunggu jemputan dan benar saja, saat sebuah mobil melintas, ia segera masuk dan kini duduk di kursi penumpang mobil mewah milik Leon itu. Kedua tangannya saling menggenggam erat, jemari dingin berkeringat. Pikirannya kalut, hatinya penuh tanda tanya. Mobil melaju tenang, dikendarai sopir pribadi Leon. Suasana di dalam begitu hening, hanya suara mesin yang terdengar. Leon yang duduk di sampingnya, hanya bersikap tenang dengan tatapan yang fokus ke luar jendela. Sesekali, Elena melirik pria itu. Setiap detailnya memancarkan aura kekuasaan seperti jas hitam rapi, jam tangan mewah yang berkilau, dan sorot mata yang dingin bagai batu. Ia seperti pria yang tak bisa disentuh, apalagi dipahami. Elena menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Ayah

  • Pengganti Hati Sang Mafia   Kontrak yang mengikat

    Suasana ruang rawat itu dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung, begitu kuat hingga membuat dada Elena terasa kencang. Monitor di samping ranjang berdetak pelan, teratur, seperti menghitung detik-detik penting yang menentukan nyawa ayahnya. Setiap bunyi bip seakan memukul batinnya. Elena duduk di kursi plastik kecil, tubuhnya condong ke depan. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah. Tulang-tulang di tangan itu tampak begitu menonjol, seakan waktu menggerogotinya tanpa ampun. Elena menyusuri tangan lemah itu dengan jari-jarinya yang gemetar. “Bertahanlah, Yah… tolong bertahan,” bisiknya parau. " Demi aku Yah...." Tanpa terasa air matanya luruh, ia menjadi sangat lemas dan tak berdaya. "Yah...." Suara itu pecah berkali-kali, seperti tidak sanggup menahan beban yang menekan dari segala arah. Air mata jatuh tanpa diminta. Rasanya ia ingin berteriak, membuat langit-langit rumah sakit runtuh, menghentikan semua penderitaan. Tapi kenyataan terlalu keras,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status