Athalia terkejut saat Mahesa memeluknya dari belakang.
“Jujur, aku sedikit kecewa karena kau tak menuruti permintaanku,” bisik Mahesa menumpukan dagunya di pundak kiri Athalia.
Tentu Athalia ingat Mahesa memintanya mengenakan gaun yang seksi. Namun Athalia tak mungkin memakainya. Ibunya akan curiga. Terlebih ia tak memilikinya.
“Aku tidak akan melakukan hal segila itu!” tegas Athalia yang akhirnya bicara juga setelah terdiam sejak tadi.
Mahesa menyeringai.
“Hal yang gila? Lalu apa yang akan kita lakukan di dalam kamar ini sekarang? Apa menurutmu ini bukan kegilaan?”
Athalia menahan napas, sebisa mungkin ia tidak ingin mengeluarkan suara yang akan membuat Mahesa senang.
“Sebelum melakukannya, aku ingin kau mengatakan sesuatu. Katakan kalau tubuhmu adalah milikku.” Mahesa memerintah.
Bibir Athalia bergerak perlahan. “Tubuhku adalah milikmu.” ia menuruti setiap yang Mahesa suruh.
Karena Mahesa adalah orang yang akan menyelamatkan adiknya. Setidaknya begitulah yang Athalia pikir.
Senyum miring tercetak di wajah tampannya. Sebelum kemudian Mahesa menunduk dan memagut bibir ranum Athalia.
Athalia pasrah. Malam ini tubuhnya benar-benar tak berdaya. Ia membiarkan Mahesa menikmati bibirnya, menyentuh bagian tubuh yang disukai oleh lelaki itu.
Malam ini, kamar apartmen Mahesa menjadi saksi bisu dimana Athalia melepaskan kehormatannya sebagai wanita.
Athalia menangis, seketika teringat pada Dian yang pasti akan kecewa andai mengetahui semua ini.
‘Maafkan aku, Bu.’
***
“Terimakasih banyak, Tuan. Saya benar-benar tidak tahu lagi harus berterimakasih dengan cara apa. Sepertinya Tuhan mengirim Tuan Mahesa untuk menjadi malaikat penolong bagi Yasna.”
Hari ini, Dian menangis. Tak henti-hentinya ia mengucapkan terimakasih pada Mahesa.
Ya! Setelah Athalia menyerahkan keperawanannya, Mahesa tak membuang banyak waktu. Ia langsung memenuhi janjinya untuk membiayai pengobatan Yasna sesuai dengan yang telah dikatakannya pada Athalia.
Begitu dilakukan pengecekan, ternyata DNA sumsum tulang belakang Dian sangat cocok dengan Yasna. Berarti Dian lah yang akan menjadi pendonor.
“Tidak perlu berterimakasih. Apa yang kulakukan hanya sekadar rasa kemanusiaanku terhadap adiknya Athalia. Kinerja Athalia sangat baik di perusahaanku. Ketika aku mendengar adiknya sakit, pasti aku akan membantunya.”
Dian tersenyum menatap Mahesa sambil mengusap pipinya yang basah.
“Athalia beruntung sekali karena memiliki boss yang sangat baik seperti Anda. Anda begitu bijaksana dan memiliki hati yang tulus.” Dian memuji.
Mahesa tersenyum kecil mendengar itu, kemudian ia melirik ke arah Athalia yang justru memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Diam-diam Athalia tersenyum pahit.
‘Mati-matian Ibu memuji Mahesa. Ibu tidak tahu kalau sebenarnya sifat lelaki itu jauh dari bijaksana. Dia tidak sebaik yang kau pikirkan, Bu. Mahesa bukanlah malaikat penolong. Dia hanya lelaki yang memanfaatkan keadaan. Ibu akan kecewa jika tahu semuanya,’ Athalia membatin.
“Yasna akan sembuh, Athalia. Adikmu akan sembuh. Dokter sudah menentukan proses transplantasinya akan dilakukan besok. Ibu sangat senang. Sampai-sampai Ibu tidak bisa melukiskan betapa bahagianya perasaan Ibu hari ini.”
Dian menggenggam tangan Athalia, meremasnya dengan menumpahkan kebahagiaan yang tak terbendung.
Athalia tersenyum kecil. Tidak dipungkiri, ia juga senang mendengar adiknya akan segera melakukan transplantasi.
“Iya, Bu. Yasna akan sembuh.”
Melihat ke arah tangan Dian dan Athalia yang saling menggenggam menguatkan, Mahesa menyunggingkan senyum kecut, kemudian mengusap wajahnya dengan sebelah tangan seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.
Ada sedikit rasa cemburu dalam hatinya. Mengingat ibu kandungnya tak pernah menggenggam tangannya sehangat dan seerat itu.
“Tuan Mahesa. Bagaimana cara saya membalas kebaikan Anda? Saya tahu, orang sepenting Anda pasti memiliki kesibukan yang luar biasa. Tetapi Anda masih mau menyempatkan waktu untuk datang ke rumah sakit bersama Athalia.”
Mahesa kembali menolehkan kepala pada Dian, lantas menggeleng pelan.
“Bukan masalah. Hari ini saya tidak terlalu disibukan dengan pekerjaan. Dan … aku minta jangan memanggilku dengan sebutan Tuan. Panggil saja Mahesa,” katanya pada Dian.
“Tapi Tuan, Anda ‘kan bossnya Athalia di kantor. Mana mungkin saya memanggil Anda hanya dengan nama.” Dian menggeleng, enggan menuruti perintah Mahesa karena merasa tidak enak.
“Aku lebih suka dipanggil Mahesa. Karena di luar kantor, aku bukan seorang boss. Bahkan aku pun menyuruh Athalia untuk berhenti memanggilku dengan sebutan Tuan kecuali ketika kami sedang berada di perusahaanku,” ucap Mahesa yang meski dengan suara lembut namun tetap terdengar tegas.
Akhirnya Dian pun mengangguk mengiyakan apa yang Mahesa inginkan.
“Baik, Nak Mahesa.”
Ujung bibir Mahesa tertarik, membentuk sedikit senyum.
“Kudengar dari Athalia, katanya kalian bertiga tinggal di sebuah kontrakan kecil?” tanya Mahesa pada Dian. Athalia spontan menoleh dengan memicingkan mata.
‘Kenapa Mahesa bilang begitu? Aku tidak merasa pernah mengatakan apapun tentang kontrakanku padanya.’ batin Athalia bingung.
Athalia tidak tahu kalau sebenarnya Mahesa menyuruh orang untuk menyelidiki tempat di mana wanita itu tinggal.
Dian mengangguk. “Benar, Nak Mahesa. Kami bertiga memang tinggal di kontrakan yang sangat sederhana. Meskipun mungkin bagi orang lain sudah tidak layak, tetapi bagi kami asalkan kami memiliki tempat untuk berteduh. Apalagi biaya sewanya juga murah.” dengan sedikit menunduk malu, Dian bercerita.
Mahesa menghembuskan napasnya pelan, ditatapnya Dian dengan raut iba. Mengingat foto kontrakan Athalia yang dikirimkan oleh orang suruhannya melalui pesan w******p, Mahesa jadi membayangkan bagaimana susahnya kehidupan Dian beserta keluarganya.
“Mulai besok, sebaiknya kalian tinggalkan saja kontrakan itu,” kata Mahesa yang kemudian membuat kening Athalia dan Dian sama-sama berkerut bingung.
“Kenapa begitu?” tanya Athalia.
“Karena aku sudah menyuruh orang untuk memilihkan kontrakan yang lebih layak untuk ibu dan adikmu,” jawab Mahesa sambil menoleh pada Athalia.
Athalia dan Dian terkejut.
“Untuk memulihkan kondisinya, Yasna membutuhkan tempat yang lebih nyaman. Tentunya kontrakan yang sudah kupilih itu sangat bagus dan akan nyaman untuk ditempati.”
“Tapi, Nak Mahesa, kami tidak sanggup membayar biaya kontrakan jika terlalu mahal.” wajah Dian terlihat keberatan.
Memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, Mahesa menggeleng pada Dian.
“Soal biaya sewa tidak perlu dipikirkan. Aku sudah membayar biaya sewa kontrakan itu selama satu tahun. Kalian hanya cukup tinggal saja dengan nyaman di sana,” tutur Mahesa.
Dian terperangah menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Kebaikan Mahesa telah membuat hatinya tersentuh.
“Nak Mahesa. Kau baik sekali. Terimakasih banyak.”
Mahesa mengangguk. “Sama-sama. Tapi untuk Athalia, untuk satu bulan ini aku ingin dia datang ke kantor lebih pagi. Karena itu, aku meminta izin agar sebaiknya Athalia tinggal di apartmenku saja yang dekat dengan kantor. Itu pun jika Anda tidak keberatan sebagai ibunya Athalia,” ucap Mahesa berbohong. Padahal sebenarnya alasan berangkat lebih pagi ke kantor itu hanyalah akal-akalannya saja.
Tersenyum, Dian menganggukan kepalanya.
“Tentu saja boleh. Mungkin dengan begitu, Athalia bisa datang ke kantor lebih pagi.” Dian mengatakan itu, karena ia tidak tahu kalau di apartmen itu, Athalia akan tinggal dengan Mahesa.
Yang Dian pikir, putrinya hanya akan tinggal sendirian saja. Maka dari itu ia langsung menyetujui ucapan Mahesa.
***
Pulang dari rumah sakit, Mahesa dan Athalia sama-sama masuk ke dalam mobil.
Setelah mengenakan seatbelt dengan rapi, Athalia menoleh ke arah Mahesa yang mulai melajukan mobilnya. Matanya menatap wajah Mahesa dari samping.
Jujur saja, Athalia merasa sedikit tersentuh dengan apa yang Mahesa lakukan hari ini. Athalia tak pernah melihat senyum bahagia di wajah ibunya seperti tadi.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Mengapa kau melakukan semua itu?” Athalia balas bertanya.
“Maksudmu melakukan apa?” tanya Mahesa tak mengerti.
“Kau menyewakan kontrakan untuk tempat tinggal ibu dan adikku. Mengapa kau melakukan semua itu? Dan … mengapa kau meminta izin pada ibuku agar aku tinggal di apartmen milikmu?”
“Anggap saja itu sebagai salah satu bayaranku atas tubuhmu. Selama kau menjadi teman tidurku, aku bisa memberikan kemewahan yang tak terbatas untukmu dan keluargamu. Dan soal kau yang tinggal di apartmen, tentu saja agar aku bisa memiliki waktu banyak untuk menikmati apa yang telah menjadi milikku selama satu bulan penuh.”
Athalia tergugu mendengar jawaban Mahesa. “Semua ini hanya berlangsung satu bulan, Athalia. Hanya satu bulan. Setelah semuanya selesai, maka kau boleh pergi tanpa harus mengembalikan apa yang sudah kuberikan padamu dan keluargamu,” kata Mahesa melirik pada Athalia dengan senyum yang tak dapat diartikan.
Hari ini, Mahesa disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang membuatnya nyaris kewalahan. Duduk di balik meja kerjanya, sesekali ia memijat keningnya sambil tangannya berkutat dengan berkas yang menggunung di atas meja. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu terdengar mengusik telinga, membuat Mahesa membuang napasnya kesal. “Masuk!” suara baritone itu berseru. Daun pintu terbuka, dan Athalia masuk dengan kepala yang sedikit menunduk. “Athalia! Apa kau tidak tahu kalau hari ini aku sangat sibuk? Mengapa kau menggangguku?” Mahesa baru saja akan marah, Namun Athalia langsung menyela. “Maaf, Tuan Mahesa. Ada Tuan Leuwis yang ingin bertemu dengan Anda.” Mendengar nama Leuwis, seketika Mahesa mendengkus masam. Namun ia menganggukan kepala pada Athalia. “Suruh dia masuk!” Athalia pun membentangkan pintu, mempersilakan Leuwis—ayah kandung Mahesa untuk masuk ke dalam ruang kerja putranya. Begitu Athalia menghilang dengan pintu yang menutup rapat, Mahesa langsung melayangkan tatapan seng
Saat jam makan siang, Athalia segera membereskan pekerjaannya secepat mungkin. Perutnya lapar sekali. Dan ia ingin secepatnya pergi ke pantry kantor.“Haah, akhirnya selesai juga. Sekarang baru aku bisa mengisi perutku.”Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri, lalu kakinya melangkah cepat menuju pintu lift.Akan tetapi, saat pintu lift terbuka dan Athalia akan masuk, saat itu juga Athalia tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjatuh.“Aakhhh … “ Athalia menjerit, tubuhnya hampir ambruk ke bawah. Namun seorang lelaki yang baru keluar dari lift itu segera menahannya.“Hei Nona! Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan suara maskulin yang terdengar halus.Dalam dekapan tangan lelaki itu, Athalia menaikan pandangannya, hingga kedua pasang bola mata mereka berserobok satu sama lain.Dalam sekejap mata, lelaki itu langsung terperangah melihat wajah Athalia yang menurutnya sangat memesona. Bola mata wanita itu yang cokelat muda, tampak cantik baginya.Athalia segera ter
Tengah malam, Athalia harus terbangun saat ia samar-samar mendengar suara tangisan seseorang. Perlahan Athalia membuka kelopak matanya, ia menajamkan telinga untuk mencari di mana sumber suara itu. Dan ia terkejut saat menyadari jika suara tangisan yang seperti merintih itu berasal dari bibir Mahesa. “Mahesa?” Athalia bangkit duduk, menatap Mahesa dengan kening yang berkerut dalam. “Apa dia sedang mimpi buruk? Mengapa dia menangis dalam tidurnya?” gumam Athalia sambil terus menumbukkan pandangannya pada wajah Mahesa, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang saat ini sedang gelisah seperti sedang mimpi buruk. Keringat dingin membanjiri kening dan pelipisnya, bibir lelaki itu bergetar pelan, menggumamkan kalimat yang tidak Athalia pahami. “Tolong! Jangan! Jangan membunuhku! Aku mohon, jangan! Jangan membunuhku!” Athalia terkejut saat ia mencoba mendekatkan telinganya ke bibir Mahesa untuk mendengar lebih jelas gumaman lelaki itu. “Si—siapa yang akan membunuhnya? Mengapa dia sa
Bukannya menjawab, Mahesa langsung merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya. “Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya. “Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!” Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini. “Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa. Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu. Athalia tergugu meme
Setelah berhasil menguasai diri, malam ini Mahesa telah gagah dengan setelan jass yang ia kenakan. Tubuhnya yang tegap dan jangkung, tampak sangat proporsional dengan jass berwarna hitam itu. Lelaki itu baru saja selesai menelpon bawahannya, lalu ia meneguk air minum sambil berdiri di samping meja ruang tengah. “Athalia! Apa yang sedang kau lakukan di atas? Ayo kita berangkat sekarang!” serunya memanggil Athalia yang belum juga menuruni tangga. Tak lama, suara ketukan heels terdengar, membuat Mahesa menoleh ke sumber suara. Akan tetapi, hasratnya seketika kembali melambung tinggi. Gaun merah itu tak berlengan, hanya bertali spageti dan tentu saja membuat pundak Athalia yang putih bersih itu terbuka. Namun tetap elegan dan cantik.Merasa canggung ditatap sangat dalam oleh Mahesa, Athalia pun bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Apa gaun ini terlalu terbuka?” Ia memang tidak pernah memanggil Mahesa dengan embel-embel ‘Tuan’ jika
“Tidak perlu malu mengatakannya padaku, Athalia. It’s oke. Aku mengerti kalau Mahesa mungkin saja sedang membutuhkan hiburan. Maka dari itu dia memintamu untuk menemani tidurnya. Tapi bolehkan aku tahu, berapa Mahesa membayar tubuhmu?” Ayaz sengaja berbisik di akhir kalimatnya. Kedua tangan Athalia mengepal di atas paha, ia merasa sangat terhina mendengar pertanyaan Ayaz. “Kenapa diam, Athalia? Katakan saja. Kau tahu kalau aku tidak ingin berniat jahat padamu. Aku hanya ingin tahu ada apa di antara kau dengan Mahesa. Itu saja.” Athalia menarik napasnya dalam, menahan kekesalan yang mengumpul dalam hatinya. “Maaf, Tuan Ayaz. Aku ingin pergi ke toilet. Permisi!” baru saja Athalia bangkit dan akan menghindar. Namun Ayaz lebih cepat menahan pergelangan tangannya. “Eitss. Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara, Athalia.” Ayaz pun berdiri, tangannya masih memegangi pergelangan tangan Athalia agar wanita itu tidak lari. “Apapun yang Anda katakan dan tanyakan, aku tidak ingin menjawa
Di sisi lain, Mahesa langsung menggendong Athalia. Otomatis, wanita itu melingkarkan kedua lengannya di leher Mahesa. Hal ini jelas membuat semua orang terkejut melihat tubuh basah kuyup Mahesa dan Athalia. Mereka bertanya-tanya, apa yang membuat tubuh mereka basah seperti itu? Jessica dan Leuwis pun sama terkejutnya. “Mahesa. Kau mau ke mana? Mengapa tubuhmu basah kuyup? Lalu kenapa kau menggendong wanita itu?” menghampiri Mahesa, Leuwis segera memberondongnya dengan pertanyaan. Mahesa menghentikan langkah, ia memutar kepalanya dan menoleh pada Leuwis. “Athalia tenggelam di kolam renang. Dan aku yakin kalau kejadian ini bukan kebetulan. Ada seseorang yang sengaja mendorongnya. Begitu pesta selesai, aku ingin bicara dengan Papa dan semua anak-anak tiri Papa,” ucap Mahesa lantas berlalu meninggalkan Leuwis begitu saja. Leuwis menatap bingung pada punggung tegap Mahesa yang perlahan menjauh. “Jadi sekretarisnya Mahesa tenggelam? Bagaimana bisa? Apa iya ada orang yang sengaja me
"Detik ini aku memberimu peringatan untuk tidak mencoba menyakiti Athalia lagi. Jika kau berani melakukannya, maka aku tidak akan segan membalasnya dengan menggunakan tanganku sendiri! Camkan itu baik-baik!" desis Mahesa sambil menghujamkan tatapan penuh kemarahan pada Bianca."Sayang! Lihat kelakuan putramu! Apa yang dia lakukan pada Bianca.” Jessica mengadu pada Leuwis.Dengan emosi, Leuwis menggertakkan gigi dan menatap Mahesa dengan tajam. “Pulanglah sekarang, Mahesa! Jangan membuat keributan lagi di rumahku. Aku mengundangmu kemari untuk ikut merayakan pesta ulang tahun ibu tirimu. Bukan untuk membuat kegaduhan seperti ini!”Dengan entengnya Mahesa menjawab. “Bahkan tanpa diminta pun, aku memang akan pulang sekarang. Lagipula aku muak lebih lama berada di sekitar orang-orang licik seperti kalian! Selamat malam!” Mahesa membalikan badannya, berjalan tegas keluar meninggalkan semua orang yang saat ini sedang menatap tajam punggung lebarnya.Tapi Mahesa tak peduli. Yang jelas sekara