Saat jam makan siang, Athalia segera membereskan pekerjaannya secepat mungkin. Perutnya lapar sekali. Dan ia ingin secepatnya pergi ke pantry kantor.
“Haah, akhirnya selesai juga. Sekarang baru aku bisa mengisi perutku.”
Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri, lalu kakinya melangkah cepat menuju pintu lift.
Akan tetapi, saat pintu lift terbuka dan Athalia akan masuk, saat itu juga Athalia tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjatuh.
“Aakhhh … “ Athalia menjerit, tubuhnya hampir ambruk ke bawah. Namun seorang lelaki yang baru keluar dari lift itu segera menahannya.
“Hei Nona! Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan suara maskulin yang terdengar halus.
Dalam dekapan tangan lelaki itu, Athalia menaikan pandangannya, hingga kedua pasang bola mata mereka berserobok satu sama lain.
Dalam sekejap mata, lelaki itu langsung terperangah melihat wajah Athalia yang menurutnya sangat memesona. Bola mata wanita itu yang cokelat muda, tampak cantik baginya.
Athalia segera tersadar. “Oh maaf, Tuan Ayaz. Aku tidak sengaja.” Athalia memperbaiki posisi berdirinya, lalu membenarkan rok spannya yang sedikit terangkat ke atas.
Kepalanya menunduk di depan Ayaz, tadi ia berjalan terlalu ceroboh, sampai membuatnya tersandung oleh kakinya sendiri.
Ayaz tersenyum. “Bukan masalah. Aku tidak merasa keberatan sama sekali. Hanya saja, lain kali mungkin kau harus lebih berhati-hati,” pesannya pada Athalia.
Ayaz adalah anak kandung Jessica, sekaligus saudara tiri Mahesa.
Athalia tahu siapa Ayaz karena beberapa kali Ayaz datang menemui Mahesa ke ruang kerjanya. Hanya saja, saat itu Ayaz belum memperhatikan keberadaan Athalia. Bahkan Ayaz terkejut, ternyata Athalia cantik juga.
Athalia mengangguk. “Baik, Tuan. Aku permisi.”
Baru saja Athalia akan masuk ke dalam lift, Ayaz menahan lengannya.
“Tunggu! Kau sekretaris pribadinya Mahesa, bukan?” tanyanya menatap Athalia.
Athalia kembali menoleh, mengangguk dengan memberikan senyum kecil.
“Benar, Tuan Ayaz. Aku sekretarisnya Tuan Mahesa. Apa Anda ingin menemui Tuan Mahesa? Kebetulan, beliau masih berada di ruangannya.”
“Oh, tentu. Aku memang akan menemuinya. Kalau boleh kutahu, siapa namamu?”
“Athalia,” jawab Athalia.
“Athalia? Nama yang sangat indah.”
“Terimakasih atas pujiannya, Tuan. Tapi maaf, aku harus segera pergi ke pantry. Jika tidak, jam makan siangnya akan habis.” Athalia pamit, ia ingin segera menghindari Ayaz yang saat ini masih menatapnya sedalam mungkin.
“Begitu? Baiklah. Kau boleh pergi. Aku juga akan ke ruangan Mahesa.” kata Ayaz sambil tersenyum. “Sampai jumpa lagi, Athalia.”
Athalia hanya tersenyum canggung. Tanpa kata, ia segera masuk ke dalam lift dan meninggalkan Ayaz yang masih mengintai dengan matanya.
Seperginya Athalia, Ayaz menatap pintu lift yang sudah tertutup itu sambil mengurut dagunya dengan ibu jari dan telunjuk.
“Athalia,” desahnya menyebut nama Athalia. “Ke mana saja aku selama ini? Sampai-sampai aku baru menyadari kalau sekretarisnya Mahesa begitu cantik.” Ayaz bergumam sendiri, lalu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Mahesa melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Sudah waktunya makan siang ternyata,” gumamnya sambil menghembuskan napas pelan. Rupanya Mahesa baru sadar jika sejak tadi ia terlalu asyik bertatap mesra dengan layar monitor di depannya. Hingga ia nyaris melewatkan makan siangnya.
“Jam segini, Athalia pasti sudah pergi ke pantry. Lebih baik aku makan di restoran yang dekat sini saja.” Mahesa bangkit, lalu menyambar jas yang tersampir di kepala kursi kerjanya.
Mahesa baru saja selesai mengenakan jasnya saat suara ketukan pintu terdengar nyaring di telinganya.
“Siapa yang datang di waktu jam makan siang begini? Apa Athalia?” bibirnya bergumam pelan. Tangannya membenarkan kelepak jasnya lalu menepuk-nepuk debu tak kasat mata di sana. Sambil ia berseru.
“Masuk saja!”
Tak membuang waktu lama, daun pintu langsung mengayun terbuka. Dan Mahesa langsung berdecak kesal ketika melihat Ayaz lah yang datang ke ruangannya.
“Selamat siang saudara tiriku!” sapa Ayaz, mengedipkan mata pada Mahesa.
Membuang napasnya kasar, Mahesa merapatkan rahangnya. Tatapannya tajam menusuk ke arah Ayaz yang kini berjalan mendekat ke arahnya.
“Ada urusan apa kau datang ke sini? Tadi pagi Papa sudah menggangguku, membuat moodku hancur. Lalu sekarang kau?” Mahesa berkacak pinggang, membuat kelepak jassnya tersibak. Matanya menyoroti wajah Ayaz dengan tatapan tak bersahabat.
Ayaz tertawa, menarik kursi kosong yang ada di depan meja kerja Mahesa, lalu mendudukinya sambil menaikan kedua kaki panjangnya ke atas meja.
Tingkahnya tampak santai, seolah ia adalah bossnya di perusahaan ini. Dan hal itu membuat Mahesa semakin muak.
“Tenanglah dulu. Lemaskan mimik wajahmu. Mengapa kau tidak bisa menatapku dengan biasa saja? Ingatlah, Mahesa! Kita ini adalah saudara tiri. Sepuluh tahun yang lalu papamu sudah sah menikahi ibu kandungku.” Ayaz berkata dengan enteng. Bibirnya menampilkan senyum penuh kemenangan pada Mahesa.
Mahesa memutar bola matanya jengah. “Ya. Andai dulu aku berhasil menggagalkan pernikahan mereka. Pasti aku tidak akan pernah memiliki saudara tiri yang sangat menyebalkan sepertimu dan juga Bianca,” ketusnya terang-terangan.
Ayaz hanya menyeringai. Mungkin ia merasa lucu dengan ucapan Mahesa yang lebih seperti seorang anak kecil yang merajuk karena tidak setuju ayahnya menikah lagi.
“Tapi sayangnya semuanya sudah terjadi. Apa yang bisa kau lakukan selain menerima saudara tirimu yang menyebalkan ini?” Ayaz kembali meledek.
Mahesa membuang napasnya lagi dengan kasar, ia berusaha menahan batas kesabarannya agar tangannya tidak melayangkan tinjuan di wajah Ayaz.
Jika sampai itu terjadi, maka Ayaz akan mengadu dan Mahesa sudah bisa menebak siapa yang akan dibela oleh Leuwis.
“Cepat jelaskan! Apa maksud dari kedatanganmu ke ruanganku? Aku tahu, orang sepertimu tidak mungkin datang tanpa maksud licik.”
Ayaz menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum miring. Kemudian ia menurunkan kedua kakinya yang semula naik ke atas meja. Sembari bertepuk tangan.
“Wah … wah … aku acungi jempol untuk kepekaanmu yang tajam. Kau benar, aku datang menemuimu memang untuk maksud yang terselubung.”
“Katakan saja! Jangan banyak basa-basi!”
“Aku ingin kau menjual dua puluh persen saham perusahaanmu padaku,” pinta Ayaz. Namun malah membuat sudut bibir Mahesa berkedut, menahan tawa.
Seakan ucapan yang baru saja Ayaz lontarkan adalah sebuah lelucon.
“Kau ingin membeli dua puluh persen saham perusahaanku? Sebaiknya kubur saja keinginanmu itu dalam-dalam. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menjual sahamku pada siapapun. Apalagi pada orang sepertimu!” tegas Mahesa.
Mendengar itu, riak wajah Ayaz berubah keruh. Ia merasa kesal karena Mahesa tidak bersedia menjual dua puluh persen saham miliknya.
“Aku adik tirimu. Apa salahnya kau menjual sahammu padaku. Lagipula yang kuminta hanya dua puluh persen saja. Bukan setengahnya!” desak Ayaz.
Kali ini Mahesa yang tertawa. Tawanya terdengar lantang, hingga membuat kening Ayaz berkerut menatapnya.
Sial! Ayaz merasa sedang dipermalukan sekarang.
“Kau harus tahu, Ayaz. Aku membangun perusahaan ini dari nol, murni dengan keringat dan uangku sendiri. Papaku sama sekali tidak ikut campur di dalamnya. Perusahaan ini milikku! Milik Mahesa Narendra. Jadi hakku ingin menjual sahamnya atau tidak.” Mahesa benar-benar membalas telak ucapan Ayaz.
Lihatlah! Bahkan Ayaz sampai diam tak berkutik saat ini. Karena apa yang dikatakan oleh Mahesa memang benar.
Ia adalah pemilik Narendra Company. Boss besar yang memulai bisnisnya dari nol tanpa campur tangan dari kedua orang tuanya yang sama sekali tidak peduli padanya.
Gagal mendapat apa yang diinginkannya, Ayaz mengepalkan kedua tangannya. Hatinya kesal setengah mati. Ditambah lagi, sekarang Mahesa menatapnya dengan senyum penuh ejekan.
“Kau sudah tahu jawabanku, bukan? Jadi silakan pergilah dari perusahaanku. Pintunya ada di sebelah sana.” Mahesa mengarahkan telunjuknya ke arah pintu. Ia tak segan mengusir Ayaz secara terang-terangan.
Menggertakkan gigi, akhirnya Ayaz pun membalikan badannya. Hendak angkat kaki dari sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan membuat Mahesa keheranan.
Ayaz kembali berbalik menatap Mahesa. Seulas senyum miring tercetak jelas di bibirnya.
“Oh ya. Aku lupa mengatakan satu hal lagi padamu,” kata Ayaz. Mahesa mengerutkan alisnya.
“Apa?” tanyanya.
“Ternyata sekretarismu cantik juga. Sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku membuatnya berada di atas ranjangku,” ucap Ayaz dengan senyum misterius. Kata-katanya berhasil membuat Mahesa membeliakan matanya terkejut.
Setelahnya, Ayaz langsung melengos pergi. Meninggalkan Mahesa yang kini mengepalkan kedua tangannya penuh amarah.
Benaknya membayangkan bagaimana Ayaz yang senang bermain perempuan, akan menyentuh Athalia. Jelas Mahesa tahu kalau Ayaz lebih berengsek darinya.
“Sialan kau, Ayaz! Kau pikir kau bisa dengan mudah menarik Athalia ke atas ranjangmu? Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu. Athalia adalah milikku saat ini. Dan aku tidak suka saat milikku diganggu oleh orang lain.”
Tengah malam, Athalia harus terbangun saat ia samar-samar mendengar suara tangisan seseorang. Perlahan Athalia membuka kelopak matanya, ia menajamkan telinga untuk mencari di mana sumber suara itu. Dan ia terkejut saat menyadari jika suara tangisan yang seperti merintih itu berasal dari bibir Mahesa. “Mahesa?” Athalia bangkit duduk, menatap Mahesa dengan kening yang berkerut dalam. “Apa dia sedang mimpi buruk? Mengapa dia menangis dalam tidurnya?” gumam Athalia sambil terus menumbukkan pandangannya pada wajah Mahesa, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang saat ini sedang gelisah seperti sedang mimpi buruk. Keringat dingin membanjiri kening dan pelipisnya, bibir lelaki itu bergetar pelan, menggumamkan kalimat yang tidak Athalia pahami. “Tolong! Jangan! Jangan membunuhku! Aku mohon, jangan! Jangan membunuhku!” Athalia terkejut saat ia mencoba mendekatkan telinganya ke bibir Mahesa untuk mendengar lebih jelas gumaman lelaki itu. “Si—siapa yang akan membunuhnya? Mengapa dia sa
Bukannya menjawab, Mahesa langsung merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya. “Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya. “Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!” Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini. “Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa. Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu. Athalia tergugu meme
Setelah berhasil menguasai diri, malam ini Mahesa telah gagah dengan setelan jass yang ia kenakan. Tubuhnya yang tegap dan jangkung, tampak sangat proporsional dengan jass berwarna hitam itu. Lelaki itu baru saja selesai menelpon bawahannya, lalu ia meneguk air minum sambil berdiri di samping meja ruang tengah. “Athalia! Apa yang sedang kau lakukan di atas? Ayo kita berangkat sekarang!” serunya memanggil Athalia yang belum juga menuruni tangga. Tak lama, suara ketukan heels terdengar, membuat Mahesa menoleh ke sumber suara. Akan tetapi, hasratnya seketika kembali melambung tinggi. Gaun merah itu tak berlengan, hanya bertali spageti dan tentu saja membuat pundak Athalia yang putih bersih itu terbuka. Namun tetap elegan dan cantik.Merasa canggung ditatap sangat dalam oleh Mahesa, Athalia pun bertanya, “Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Apa gaun ini terlalu terbuka?” Ia memang tidak pernah memanggil Mahesa dengan embel-embel ‘Tuan’ jika
“Tidak perlu malu mengatakannya padaku, Athalia. It’s oke. Aku mengerti kalau Mahesa mungkin saja sedang membutuhkan hiburan. Maka dari itu dia memintamu untuk menemani tidurnya. Tapi bolehkan aku tahu, berapa Mahesa membayar tubuhmu?” Ayaz sengaja berbisik di akhir kalimatnya. Kedua tangan Athalia mengepal di atas paha, ia merasa sangat terhina mendengar pertanyaan Ayaz. “Kenapa diam, Athalia? Katakan saja. Kau tahu kalau aku tidak ingin berniat jahat padamu. Aku hanya ingin tahu ada apa di antara kau dengan Mahesa. Itu saja.” Athalia menarik napasnya dalam, menahan kekesalan yang mengumpul dalam hatinya. “Maaf, Tuan Ayaz. Aku ingin pergi ke toilet. Permisi!” baru saja Athalia bangkit dan akan menghindar. Namun Ayaz lebih cepat menahan pergelangan tangannya. “Eitss. Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara, Athalia.” Ayaz pun berdiri, tangannya masih memegangi pergelangan tangan Athalia agar wanita itu tidak lari. “Apapun yang Anda katakan dan tanyakan, aku tidak ingin menjawa
Di sisi lain, Mahesa langsung menggendong Athalia. Otomatis, wanita itu melingkarkan kedua lengannya di leher Mahesa. Hal ini jelas membuat semua orang terkejut melihat tubuh basah kuyup Mahesa dan Athalia. Mereka bertanya-tanya, apa yang membuat tubuh mereka basah seperti itu? Jessica dan Leuwis pun sama terkejutnya. “Mahesa. Kau mau ke mana? Mengapa tubuhmu basah kuyup? Lalu kenapa kau menggendong wanita itu?” menghampiri Mahesa, Leuwis segera memberondongnya dengan pertanyaan. Mahesa menghentikan langkah, ia memutar kepalanya dan menoleh pada Leuwis. “Athalia tenggelam di kolam renang. Dan aku yakin kalau kejadian ini bukan kebetulan. Ada seseorang yang sengaja mendorongnya. Begitu pesta selesai, aku ingin bicara dengan Papa dan semua anak-anak tiri Papa,” ucap Mahesa lantas berlalu meninggalkan Leuwis begitu saja. Leuwis menatap bingung pada punggung tegap Mahesa yang perlahan menjauh. “Jadi sekretarisnya Mahesa tenggelam? Bagaimana bisa? Apa iya ada orang yang sengaja me
"Detik ini aku memberimu peringatan untuk tidak mencoba menyakiti Athalia lagi. Jika kau berani melakukannya, maka aku tidak akan segan membalasnya dengan menggunakan tanganku sendiri! Camkan itu baik-baik!" desis Mahesa sambil menghujamkan tatapan penuh kemarahan pada Bianca."Sayang! Lihat kelakuan putramu! Apa yang dia lakukan pada Bianca.” Jessica mengadu pada Leuwis.Dengan emosi, Leuwis menggertakkan gigi dan menatap Mahesa dengan tajam. “Pulanglah sekarang, Mahesa! Jangan membuat keributan lagi di rumahku. Aku mengundangmu kemari untuk ikut merayakan pesta ulang tahun ibu tirimu. Bukan untuk membuat kegaduhan seperti ini!”Dengan entengnya Mahesa menjawab. “Bahkan tanpa diminta pun, aku memang akan pulang sekarang. Lagipula aku muak lebih lama berada di sekitar orang-orang licik seperti kalian! Selamat malam!” Mahesa membalikan badannya, berjalan tegas keluar meninggalkan semua orang yang saat ini sedang menatap tajam punggung lebarnya.Tapi Mahesa tak peduli. Yang jelas sekara
"Sudah selesai. Apa yang kau rasakan sekarang? Apakah lukamu masih sakit?" Mahesa bertanya sambil menyetuh pelan luka Athalia. "Tidak. Sekarang sudah jauh lebih baik. Terimakasih banyak.""Hmmm ... " Athalia memanyunkan bibirnya, saat lelaki itu hanya menjawabnya dengan dehaman. Selesai mengobati luka di sikut Athalia, Mahesa kembali memasukan salep ke dalam kotak obat, menutup kotak obat itu dengan rapat. Sampai suara bell yang terdengar, membuat kepala mereka sama-sama menoleh ke arah pintu. "Siapa yang datang?" gumam Athalia bertanya-tanya. Suaranya yang pelan masih mampu terdengar oleh telinga Mahesa. "Paling juga yang datang Jossy dan Ambar," tebak Mahesa asal. Jossy dan Ambar adalah dua orang pelayan yang selalu datang di pagi hari dan pulang sore hari di apartmen milik Mahesa. "Tapi apa iya mereka akan datang sepagi ini?" Athalia sedikit ragu. "Biar aku yang membukanya," kata Mahesa lalu berjalan menuju pintu. Tangannya membuka daun pintu itu, akan tetapi setelahnya, Mah
“Lepaskan aku! Kau tidak perlu mendorong-dorong tubuhku seperti ini! Tanpa kau minta pun, aku memang akan pergi.” Leuwis menyentak tangan Mahesa, kemudian ia membenarkan kelepak jassnya. Leuwis menatap Mahesa dengan sedikit perasaan takut yang ia sembunyikan. Pasalnya, Mahesa menatapnya dengan mata yang dingin dan begitu tajam. Leuwis pun keluar dan Mahesa segera menutup pintu apartmennya rapat-rapat. Mahesa tidak ingin Leuwis datang lagi dan kembali menyakitinya dengan cara membuka semua luka di masa lalunya.“Dia tidak boleh kembali! Dia tidak boleh kembali!” gumam Mahesa mengunci pintu apartmennya dengan bibir yang sedikit gemetar.Setelahnya, Mahesa mendudukan dirinya di sofa dengan tangan yang sedikit gemetar pula. Ini adalah hal yang kerap terjadi padanya ketika ia teringat dengan masa lalunya yang kelam.Mahesa menangkup wajahnya dengan kedua tangan, meremas rambutnya dengan mata yang memanas menahan tangis.Tangannya bergetar setiap kali habis berdebat dengan Leuwis soal San