“Apakah sudah selesai?” Dirly bertanya pada Athalia yang sedang membantu merapikan rambutnya.
“Sebentar lagi.” Athalia merapikan pinggir rambut Dirly dengan jemari, lalu ia menepuk-nepuk pelan jas yang dikenakan bocah itu. Lantas senyum puas pun terkembang di wajah Athalia. “Nah, sekarang sudah selesai. Kau terlihat sangat tampan,” serunya.“Benarkah?” senyum Dirly merekah lebar. Kakinya berjalan menuju cermin dan menatap pantulan dirinya dari sana. “Kau benar, aku terlihat gagah, bahkan lebih gagah daripada Papa.”Nyaris saja Athalia menyemburkan tawa saat mendengar Dirly memuji dirinya sendiri. Bahkan membandingkan penampilannya dengan Dean, yang tentu saja tak sebanding dengannya.“Ehem … mungkin saja.” Athalia bangkit dari duduknya, berdiri sambil bersidekap menatap punggung Dirly yang masih asyik menatap cermin.Tiba-tiba bocah itu berbalik menatapnya.“Tante Athal“Mana toiletnya? Dean bilang di dekat dapur.” menjauhi kerumunan pesta, Mahesa mengayunkan langkah melewati ruang tengah.Sesaat langkahnya terhenti di bawah tangga, lalu matanya melebar senang, selaras dengan kedua sudut bibirnya yang melengkung ketika ia melihat pintu dapur di ujung sana.Benar saja, berbelok sedikit ke arah kiri, ada sebuah pintu yang bisa dipastikan adalah toilet.Mahesa tersenyum, melanjutkan langkah yang sempat terjeda, lalu masuk ke dalam toilet itu.***“Supnya wangi sekali, Bik.” Athalia memuji sambil melirik ke arah Bik Inah yang sedang mengaduk sup ayam di dalam panci.Pujian itu bukan semata karena basa-basi. Namun, Athalia berkata jujur apa adanya.Baru kali ini ia mencium bau sup yang seenak ini.“Ah, Nona Athalia bisa saja,” sahut Bik Inah, tersipu menundukan kepala.“Aku serius, Bik. Kapan-kapan, aku ingin tanya resepnya.”Bik Inah mengangguk. &ldq
“Ck! Acara ini membosankan sekali. Mahesa juga belum kembali dari toilet. Hhh … kalau bukan karena cinta. Mana sudi aku datang ke acara tidak penting seperti ini. Apalagi suara anak-anak itu membuat telingaku pengang,” gerutu Kiran di dalam hati.Kiran berdecak dan memutar bola matanya malas saat melihat anak-anak SD kelas satu itu saling bercanda dan tertawa. Ada beberapa dari mereka yang berteriak-teriak tidak jelas sambil bercanda dengan para badut. Membuat Kiran mengusap lengannya bosan.Dean yang sedang membenarkan letak dasi di kerah kemeja Dirly pun menoleh ke arah Kiran. Keningnya berkerut melihat raut jengah di wajah wanita itu.“Sebentar, Papa ke sana dulu.” Dean berbisik di telinga kanan Dirly.“Iya, Pa.” bocah itu mengangguk, lalu kembali fokus pada badut yang sedang atraksi di depannya.Dean melangkah menjauhi Dirly dan mendekati Kiran yang sedang mengusap tengkuknya.“Mahesa belu
Menjawab pertanyaan Mahesa, Kiran menggelengkan kepala.“Tidak usah. Antar aku pulang saja. Aku hanya butuh istirahat sebentar untuk membuat rasa pusing ini hilang,” jawab Kiran, Mahesa kemudian mengganggukan kepala tanpa curiga.Kiran yang semula memejamkan mata, kini sedikit membuka kelopak matanya, mengintip ekspresi Mahesa yang sedang mengemudi. Lalu seulas senyum culas tersungging di bibir.“Bagus, Mahesa tak curiga sama sekali. Untung saja dia tak bertemu dengan Athalia. Aku harus pastikan agar Mahesa tak sering bertemu dengan temannya yang bernama Dean itu agar ia dan Athalia tak pernah bertemu.” Kiran bergumam dalam hati.Ada ribuan pertanyaan yang menyesaki kepalanya saat ini. Tentang mengapa Athalia bisa berada di kediaman Dean? Siapakah wanita itu dalam hidup Dean? Rasa penasaran itu sangat tinggi.Meski tak seberapa penting bagi Kiran, tetapi suatu saat ia harus mencaritahu semuanya.***Malam s
Setelah mengobrol sejenak bersama keluarga Athalia, Dean pun melirik ke arah arloji di tangannya dan baru sadar bahwa saat ini sudah jam sembilan malam.“Apakah Dirly sudah tidur?” pertanyaan itu bercokol dalam hati Dean.Tadi saat akan mengantar Athalia pulang, Dirly memang belum tidur. Dan bocah itu tak masalah jika ditinggalkan sebentar oleh ayahnya.Dean pun pamit pulang. Narsih dan Yasna mengangguk sambil tersenyum.Athalia menemani Dean sampai ke teras depan.“Pak Dean, terima kasih karena sudah mengantarku ke kontrakan,” ucap Athalia.Dean membalasnya dengan senyum dan anggukan. “Sama-sama. Terima kasih juga karena sudah memperbolehkanku mampir sejenak.”Mereka sama-sama mengulum senyum malu. Tapi lain halnya yang terasa di dalam dada Dean. Ada sesuatu yang bergemuruh di sana ketika melihat senyum manis itu terlukis di bibir Athalia.“Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa besok di rumahku,
Pagi ini, Dirly tampak sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Berjongkok, Dirly mengenakan sepatunya sendiri. Sementara Athalia sibuk merapikan tas sekolah Dirly dan menentengnya sembari mendekati bocah itu.“Pakai tasmu!” Dirly berdiri, membiarkan Athalia membantunya mengenakan tas itu di punggung.“Terima kasih Tante Athalia!”“Sama-sama. Apakah tidak ada yang tertinggal? Buku PR-mu?” tanya Athalia, sembari mendekati cermin dan membereskan sisir bekas Dirly ke tempatnya.Dirly menggeleng, lalu membenarkan letak topinya yang sedikit miring.“Tidak ada. PR-ku sudah kumasukkan ke dalam tas, semalam.”Athalia tersenyum, kembali menghampiri Dirly dan menepuk pundak bocah itu dengan senang.“Bagus, anak pintar!” pujinya. Membuat Dirly nyengir lebar menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi.Saat itu, terdengar suara ketukan pintu, Dirly dan Athalia menoleh lalu melihat Dean masuk ke
Di samping sebuah gerbang sekolah yang cukup besar itu, Pak Sardi menepikan mobil.Lantas Athalia membuka pintu dan turun. Matanya bergerak mengamati gerbang sekolah yang sudah dibuka lebar-lebar oleh satpam.“Apa kelas Tuan kecil belum bubar?” Pak Sardi ikut turun, bertanya pada Athalia dengan menyebut Dirly dengan sebutan ‘Tuan Kecil.’Athalia balas menoleh, menggelengkan kepala.“Sepertinya belum, Pak,” jawabnya. Kemudian melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya yang ramping. “Tapi seharusnya jam segini, kelasnya sudah bubar.”Tak berselang lama, suara keras dan nyaring terdengar di telinga mereka.“Tante Athalia!” Mata Athalia dan Pak Sardi segera menoleh ke arah sumber suara, senyum lebar terpatri di wajah mereka saat melihat Dirly berlari cepat dari arah gerbang dengan senyum yang mengembang.“Hei! Hati-hati, jangan berlarian seperti
Saat sarapan pagi ini, Dirly tak henti memanyunkan bibirnya, bahkan matanya enggan untuk sekadar melirik ke arah Dean.Hal itu menimbulkan tanya di benak Athalia. Anak dan ayah itu seperti sedang saling mendiamkan, hari ini.“Apa yang sedang terjadi dengan Dirly dan Pak Dean? Apa mereka sedang bertengkar?”Athalia membatin, matanya melirik ke arah Dirly yang duduk di sampingnya, kemudian ke arah Dean yang menunduk menikmati sarapan di depannya.Tak ada basa-basi seperti biasa. Suasana di ruang makan itu tampak senyap, hanya terdengar suara dentingan saat sendok bersentuhan dengan piring.Semalam, Dean menolak permintaan Dirly, karena itulah Dirly kesal dan mendiamkan Dean.Bahkan Dean tak mengatakan apa alasannya menolak menikahi Athalia. Sementara Dirly ingin sekali menjadi seperti anak-anak lain, berjalan ke sekolah dengan dituntun oleh ayah dan ibu dari kedua sisi, menggenggam tangannya dengan hangat.“Dirly, apa kau mau tambah
Mahesa merasa kesal, tentu saja. Waktunya terbuang dengan sia-sia. Ia paling malas saat berurusan dengan orang yang tak profesional seperti Tuan Andres.Setelah menyisir rambut, Mahesa berjalan pelan menuju tempat tidur, mendudukan diri di tepi ranjang.Tapi ketika akan menarik selimut, benaknya teringat akan sesuatu.“Buku novel itu?” Mahesa melirik ke arah laci nakas, ia melupakan sesuatu.Buku novel yang dulu pernah dibelinya di toko buku, sama sekali belum pernah ia buka. Padahal saat itu Mahesa sangat penasaran dengan isinya, yang entah mengapa, buku itu berhasil memikat mata.“Biasanya buku novel macam ini sangat disukai para wanita. Aku juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba terpikat dengan buku ini dan ingin membacanya.”Mahesa menegakan duduknya, menepi ke kepala ranjang.Sambil bersila, ia membuka buku itu dan mulai membaca setiap lembar halaman yang ada di sana.Saat membuka halaman pertama, Mahesa mengerutkan ke