Allahu Akbar … Allahu Akbar. Laila Ila Hailahu Allahu Akbar … Allahu Akbar Walillah Ilham.Takbir menggema diseluruh jagat raya. Sementara, aku masih mengumpulkan botol bekas untuk dijual. Besok lusa sudah ditutup tempat pengepul karena lebaran tiba. Sedangkan aku masih sibuk mencari uang untuk sesuap nasi. Memenuhi kebutuhan kelaurga kecilku. Padahal, lebaran esok hari sudah tiba. Di sini aku masih bergelut dengan peluh, dan keringat yang bercampur debu. Ibu sudah tak lagi mampu mencari barang-barang bekas. Usaha ini terpaksa aku jalankan untuk bertahan hidup. Sudah sejak dari kemarin hujan mengguyur kotaku. Bahkan, di hari terakhir menjelang puasa ramadan tetap saja air membasahi bumi."Kamu mau apa? Penampungan sudah tutup sejak sore tadi. Tidak tidak lagi menerima barang bekas." Mang Damin berdiri menatapku acuh tak acuh. Pria paruh baya itu, tampak akan meninggalkan tempat penampungan barang bekas. "Tapi, Mang. Aku dan ibuku perlu makan malam ini besok sudah hari lebaran. Tolon
Aku seketika menoleh ke belakang, saat mendengar suara yang tidak asing lagi memanggil. Melihat melihat Naina berdiri di samping mobil.Naina adalah anak—Pak Haji Agus. Pemilik tempat penampungan barang bekas. Pak Haji Agus adalah orang terkaya di kampung ini. Usahanya telah dikenal oleh masyarakat desa sekitar. Dahulu, dia juga merintis usaha rongsokan dari nol. Lama kelamaan menjadi maju, hingga bisa mengantarkan semua anak-anaknya sampai sekolah sarjana."Naina?!""Kamu mau apa malam-malam begini ke sini, Danu? Dan anakmu kelihatannya sudah kedinginan." Naina menatap heran. Mungkin sedang berpikir kenapa ada laki-laki gembel sepertiku masih berkeliaran malam-malam. Sedangkan takbiran sudah tiba. Semua orang merayakan dengan keluarga, tetapi aku malah di jalanan seperti gembel. "Aku ingin menjual botol bekas hasil pencarian hari ini. Tapi kata Mang Damin sudah tutup. Jadi, botol bekasnya mau dibawa pulang lagi, Neng.""Memang Mang Damin ke mana? Kok gudangnya ditutup?""Aku gak tah
Mobil berhenti tepat di sebuah toko pakaian. Naina memintaku untuk turun. Masih ada toko penjual baju yang masih buka pada malam takbiran. Padahal, waktu saat itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, keramain seakan tidak membuat para pengeruk rezeki ingin tidur.Mereka tetap menjajakan baju hingga malam. Beruntung masih ada toko baju yang buka, hingga aku bisa membelikan ibu baju baru. Ya, impian yang selama ini telah tertunda. Melihat ibu memakai gamis baru terlihat cantik.Bertahun-tahun memimpikan ibu memakai baju baru di hari raya idul fitri. Kemudian, kami akan datang bersilaturahmi ke rumah tetangga. Seperti tradisi yang sudah dijalankan selama ini. Saling maaf, memaafkan di hari idul fitri. Di mana manusia akan kembali suci. Bagai bayi yang baru lahir, lalu dihapuskan dosa-dosanya."Kang Danu, ayo turun! Kita belikan baju buat Emak," ucap Naina tersenyum lebar."Naina, ini toko baju yang sangat besar. Pasti harganya sangat mahal. Maaf, aku takut duitnya gak cukup buat
Tubuhku gemetar menahan tulang yang seakan tiba-tiba rapuh. Dada bergemuruh hebat ketika melihat jasad ibu terbujur kaku menjadi mayat. Malam takbiran berubah menjadi lautan tangisan duka. Oh, ibu. Mengapa pergi begitu cepat. Padahal, ingin memberikan hadiah baju gamis untukmu. Baju gamis yang sempat tadi dibeli jatuh begitu saja. Tepat di samping jenazah ibu. Tangisan langsung pecah melihat orang yang paling aku sayangi. Menyaksikan ibu yang kucintai harus menghembuskan napas terakhir di malam takbiran. Di saat semua orang merayakan hari bahagia, aku malah berduka. Tak kuasa menahan rasa sesak yang menyeruak. "Mas Danu, ibu menghembuskan napas terakhir kali ketika lepas azan magrib berkumandang. Aku tadi sempat memberikan air hangat untuk Ibu berbuka puasa," ucap Wiji. Menundukkan wajah seolah menyesal telat memberi kabar. Bukan salahnya juga bila ibu pergi. Semua yang terjadi sudah takdir.Selama ini, aku menitipkan ibu pada Wiji. Kebetulan jarak antara rumah dengan kontrakkan tid
Rintik hujan turun membasahi bumi. Mengiringi pemakaman ibu. Selesai salat idul fitri beberapa warga menunaikan kewajiban fardhu kifayah. Mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.Air mataku kembali turun membasahi pipi. Kala melihat tubuh wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengasuh, dan menemani. Kini, dia terbaring kaku di dalam tanah. Oh, ibu maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia."Danu, azankan ibumu untuk yang terakhir kali," ucap Pakde Jarwo."Inggih, Paman."Suara azan menggema di tengah kuburan. Disertai cairan bening yang terus menetes membasahi pipi. Tak kuasa melihat jasad wanita yang begitu kucintai telah kembali pada yang Maha Kuasa.Selesai azan, jasad ibu ditutup dengan tanah. Perlahan gundukan membentuk seperti gunung. Kutaburi bunga dan daun pandan di atas pusara makam ibu. Aroma wanginya tercium cuping hidung. Di dalam sana ibu tidur untuk selama lamanya."Mas Danu, ayo pulang! Pemakaman sudah selesai.""Sebentar, Wiji. Aku masih in
Dari kemarin harinya, hujan lebat mengguyur desaku. Mulai dari pagi sampai pagi lagi, air terus turun membasahi bumi. Aku pun tidak bisa mencari botol bekas seperti biasa. Kulirik Rafa yang tertidur dengan pulas, saat meringkuk memeluk bantal guling butut. Wajahnya terlihat tampan meski memakai baju kumal.Aku tahu, anakku itu tidur sambil menahan lapar. Dari sore kami belum makan apa pun. Bukannya tidak ingin memasak, tetapi aku tidak punya uang untuk membeli bahan pokok. Bahkan, sebutir beras pun tidak ada di rumah. Jadi, bagaimana aku bisa membuatkan makanan? Rafa masih terlalu kecil untuk mengetahui beban berat apa yang menimpa ayahnya. Andai, dia sudah dewasa. Mungkin akan tahu sulitnya hidup jika tidak punya penghasilan tetap. Hanya mengandalkan hasil mulung. Biasanya, ibu akan meminjam beras dari tetangga, atau paling tidak bisa mencabut singkong yang ada di belakang rumah. Namun, beberapa hari sesudah dia pergi sangat terasa. Jika kehadiran beliau sangat berpengaruh. Kini, ak
Di luar hujan masih saja turun dengan deras. Seolah langit sedang menangis menumpahkan segala kesedihannya. Sejak ibu meninggal aku tak punya hasrat untuk hidup. Ditambah harus membesarkan Rafa seorang diri. Bekerja keras membanting tulang pun uang tak cukup. Hanya bisa untuk makan sehari. Esok atau lusa harus mencari lagi. Bulan depan Rafa sudah mulai sekolah TK. Aku tak punya biaya untuk membuat pendidikannya lebih layak. Uang sekolah masuk TK membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara, pekerjaanku sebagai buruh bangunan, dan pengumpul botol bekas tidak cukup untuk makan. Bagaimana bisa menyekolahkan Rafa ke nol besar. "Eh, Pak. Duduk sini! Kenapa berdiri saja di sana?" tanya wanita yang sedari tadi membicarakan Pak Anton."Makasih, Bu. Saya di sini saja. Baju saya basah," jawabku agak sungkan. Perhatian para ibu-ibu langsung tertuju padaku."Tak apa-apa, Pak. Mari makan gorengan saat cuaca hujan begini. Cocok untuk situasi yang dingin. Perut terisi dan badan menjadi hangat."
"Ayah, Rafa lapar," ucap Rafa memegangi perutnya yang kempes.Aku menatap wajah putra semata wayangku iba. Merasa bersalah pada anak sendiri yang baru berumur empat tahun. Seharusnya, masa kecil Rafa dihabiskan dengan penuh kebahagian. Bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Namun, harus menderita bersamaku di sini. Hidup miskin dalam tekanan ekonomi.Pekerjaanku masih menumpuk. Belum selesai mengaduk bahan bangunan. Masih ada sisa sepuluh menit lagi untuk waktu istirahat. Namun, Rafa tak mungkin menahan lapar sampai waktu itu tiba. Jatah makanan untuk para pekerja sebentar lagi akan datang. Akan tetapi, Rafa sudah merengek minta makan."Bang, bisakah aku minta jatah makan duluan untuk anakku?" tanyaku pada Bang Furqon. Dia kepala mandor yang baru tempatku bekerja di sini."Nih makan nasi sisa kemarin!" Bang Furqon meletakan nasi berwarna kuning di atas meja dengan kasar."Bang, nasinya sudah basi dan berbau. Tidak layak lagi untuk dimakan.""Emang kalau makan nasi yang sudah kuni