Tepat saat aku akan mengirimkan foto itu pada ponselku, Mas Ardi menggeliat. Membuatku secara spontan langsung menyimpan ponsel ke samping tubuhnya.
Dengan mata yang sedikit terbuka, dia mengambil ponsel miliknya dan menyimpannya ke atas meja. Aku berharap, semoga perbuatan barusan tidak diketahui olehnya.
Setelah memastikan dia kembali tertidur, aku beranjak dari ranjang dan segera bergegas keluar kamar. Hari ini benar-benar berat bagiku.
Saat di sini aku merindukan dan menunggunya selama hampir dua bulan lamanya. Dia malah datang dan membalas semuanya dengan rasa sakit yang begitu menyesakan.
Mas Ardi, perlahan Tuhan mulai membuka kedokmu yang sebenarnya. Satu demi satu perbuatan busukmu mulai aku ketahui. Tunggulah Sayang, suatu saat kau akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Sambil menikmati kopi hitam yang ada di hadapanku saat ini, aku mulai memikirkan wanita yang ada dalam foto tersebut. Aku baru ingat, jika wanita itu memiliki tanda lahir yang cukup besar di bagian lehernya.
Mungkinkah aku mengenal wanita itu atau mungkin tidak sama sekali. Ya, mulai sekarang aku akan lebih memperhatikan wanita yang sering berinteraksi dengan Mas Ardi, aku harap dengan begitu dapat menemukan sebuah petunjuk.
"Sayang, apa yang kau lakukan di sini?"
Aku menoleh dan mendapati Mas Ardi tengah tersenyum. Laki-laki itu segera menghampiriku.
"Sedang meminum kopi. Lalu, apa yang kau lakukan juga di sini?"
Mas Ardi segera memeluk leher jenjangku, sambil sesekali menghembuskan napas. Aku bergidik ngeri, bayangan demi bayangan perbuatan yang telah dia lakukan dibelakangku berputar begitu saja.
Aku yakin, dia juga pasti melakukan hal yang sama pada wanita-wanita itu. Kenapa aku memanggilnya begitu, Karana aku benar-benar tidak yakin, kalo dia hanya tidur dengan satu wanita saja.
Tentu saja, pasti banyak wanita yang akan tergoda dengannya. Siapa juga yang tidak menginginkan seorang laki-laki dewasa berparas tampan dengan tubuh yang sangat atletis.
Pasti semuanya menginginkannya dan sepertinya dia menggunakan kelebihannya itu untuk menggaet banyak wanita. Dasar, lelaki tidak tahu diri, aku sangat muak dengannya.
"Sayang?" panggilannya tepat di samping telingaku. Sungguh, suaranya juga menjijikan kali ini, sampai rasanya aku ingin memuntahkan seisi perut.
"Kenapa, Mas?"
Aku sengaja menggodanya kali ini dengan cara menyentuh tangannya. Aku yakin, pasti dia akan merasa panas dingin.
Mampus kau, Mas. Kau pikir aku akan terbuai begitu saja. Tentunya, tidak! Laki-laki brengsek sepertimu memang sekali-kali harus mendapatkan sesuatu yang cukup menyenangkan.
"Sayang."
Kali ini tangannya sudah berani. Sepertinya Mas Ardi sudah masuk dalam perangkapku. Sementara itu sisi lain diriku sedang tertawa terbahak-bahak. Jika, membayangkan kejadian yang akan menimpa selanjutnya.
"Mas, tunggu!"
Sontak saja Mas Ardi langsung menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan sejuta pertanyaan.
Tanpa basa-basi, aku segera berlari menuju kamar mandi dan terkekeh pelan, sebelum beberapa menit kemudian keluar dengan menampilkan wajah sedih.
"Kenapa, Sayang?"
Aku terdiam, berusaha untuk berakting sebagus mungkin.
"Maafkan aku, Mas. Tapi, aku baru ingat kalo hari ini adalah tanggal merahku," ucapku sambil mendongak, menatap wajahnya yang terlihat kecewa sekaligus kesal.
"Baiklah."
Sejujurnya aku memang merasa bersalah, sekaligus berdosa pada suamiku itu. Tapi, aku juga merasa sangat sakit hati dengan apa yang telah dia lakukan padaku.
Apa Mas Ardi tidak pernah berpikir saat melakukan hal keji itu. Di luar sana dia bersenang-senang dengan banyak wanita, sementara aku di rumah dengan sabarnya menunggu kedatangannya.
Ah, tentu saja dia tidak akan berpikir seperti itu. Mana ada manusia keji yang bisa berpikir jernih. Karena, yang ada dalam isi kepalanya hanyalah bersenang-senang, tanpa memikirkan istrinya terluka atau tidak.
***
Hampir semalaman aku tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Tiap kali terpejam, bayangan itu kembali hadir, seakan-akan menjadi mimpi buruk yang tidak ada akhirnya.
Walaupun begitu, aku tetap terbangun pagi-pagi buta untuk menyajikan sarapan untuk Mas Ardi. Sebenarnya hatiku sudah enggan untuk melakukan itu semua. Tapi, jika hal itu sampai terjadi, mungkin dia akan curiga.
"Pagi, Sayang," sapanya seperti biasa dan hampir saja aku menangis. Jika, membayangkan betapa indahnya pernikahan kami dulu. Ya, itu dulu tentunya bukan sekarang.
"Pagi, Mas," jawabku dengan nada dingin.
Aku harus tetap kuat dan bersabar terlebih dahulu. Sampai, saat semuanya sudah benar-benar terbukti aku akan pergi.
Karena bagaimanapun itu aku benci dengan yang namanya perselingkuhan. Menurutku, perselingkuhan adalah dosa yang paling besar dan tidak ada kata maaf bagi seorang peselingkuh.
Bahkan, jika dia sampai bersujud di kakiku sekalipun, aku tetap tidak akan memaafkannya. Sungguh, aku benar-benar jijik.
"Sayang, kenapa pagi-pagi sudah melamun. Apa yang kamu pikirkan, berceritalah sayang."
Aku menggeleng pelan dan segera menyajikan sepiring nasi goreng di atas meja makan.
"Tidak, Mas. Ayo, makan! Aku takut kamu kesiangan," ucapku sambil tersenyum lebar. Sungguh, sangat miris diriku jika harus pura-pura baik di depan laki-laki ini.
Tanpa banyak bicara, Mas Ardi segera melahap nasi goreng buatanku dengan penuh semangat. Sampai detik ini, aku masih tidak percaya dengan apa yang telah Mas Ardi perbuat.
Laki-laki yang sekarang ada di hadapanku berkhianat. Laki-laki yang sungguh aku sayangi setelah ayah dan adik itu ternyata membalas semuanya dengan penuh kepalsuan.
Andai aku mengetahuinya sebelum menikah, mungkin semuanya tidak akan Seperti ini. Tapi, mungkin Tuhan ingin aku tahu kebusukannya setelah kami melewati hari indah.
"Kenapa tidak makan? Mau aku suapi?"
"Tidak, aku hanya senang melihat Mas Ardi makan dengan begitu lahap."
Mas Ardi tersenyum lebar, lalu menarik pipiku dengan cukup kasar. "Benar, 'kah? Ah, tentu saja. Karena, masakan istriku begitu lezat."
Aku ikut tersenyum mendengar ucapannya. Tentu saja bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh dengan rasa sakit. Jika, memikirkan semua penghianatannya.
"Sudahlah, Mas. Ayo habiskan makananmu."
Setalah makanan habis, Mas Ardi langsung mengajakku untuk segera berangkat. Seperti biasa, setiap pagi dia akan mengantarku ke perusahaan tempat bekerja. Sebelum akhirnya pergi menuju kantornya, karena kami memang bekerja di tempat yang berbeda.
"Mas Ardi."
Terdengar sebuah teriakan dari sebarang jalan, ternyata itu Icha tetangga baru kami yang baru pindah beberapa bulan yang lalu.
Hampir setiap hari, dia memanggil Mas Ardi untuk ikut menumpang sampai kantor. Karena memang mereka bekerja di kantor yang sama.
Awalnya aku memang keberatan. Tapi, karena merasa kasihan juga, terpaksa aku mengijinkannya.
"Boleh aku numpang lagi?"
Mas Ardi mengangguk dan segera mempersilahkan Icha masuk. Saat aku sedang berada di samping Mas Ardi,secara tidak sengaja mataku menangkap sesuatu yang cukup mengejutkan.
"Kenapa, lipstik yang Icha pakai sama seperti dengan yang aku temukan semalam," batinku saat melihat pantulan kaca yang aku pegang, di mana Icha tengah mengoleskan lipstik merah ke bibir mungilnya.
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa