"Mas..."
Perut Ana tergelitik oleh ulah tangan nakal suaminya, Sam, saat ia sedang memotong buah di ruang makan. "Ah, nyebelin! Aku lagi potong buah, Mas. Di tempat makan, ngga baik. Di kamar saja, ya? Tapi tunggu, aku mau makan buah dulu," keluh Ana, berusaha menahan malu. Namun Sam malah semakin iseng, menyelusupkan tangan ke dalam gaun Ana dan membuka bra-nya. "Samy..." rintih Ana, memanggil dengan nada manja. "Kenapa? Ini kan spot menantang yang kita suka," goda Sam sambil tertawa kecil. Ana buru-buru membungkam mulut Sam. "Ngga mau, pindah saja, sayang. Ada Mbak Yati!" rengeknya. Sam menyerah sambil tertawa. "Oke, oke, pindah." Cepat-cepat Ana merapikan pakaiannya, lalu memungut bra-nya yang jatuh. "Kamu itu, cari momen ngga jelas banget di tempat makan." "Justru serunya di situ," balas Sam, memeluk Ana dari belakang. "Tapi kalau istriku bilang pindah, ya kita pindah." Ana menggeleng, lalu tersenyum. "Di kamar lebih aman. Kalau ketahuan Mbak Yati, kita kena omel!" Sam tertawa lebar, lalu menggendong Ana. "Baiklah, Nona. Sebelum drama kita ketahuan, mari ke kamar." Ana tertawa kecil, memukul lengan Sam, sementara Sam membawanya masuk ke kamar, diselimuti tawa dan canda. Dua jam berlalu, keduanya menikmati waktu bersama dengan penuh kehangatan. "Sudah dua tahun, Mas. Tetap begini, ya, sampai takdir memisahkan kita," bisik Ana. "Iya, Sayang. Kamu sekarang sudah dua puluh dua tahun. Aku ngga sadar nikahin bocil," canda Sam. Ana tertawa. "Kalau aku bocil, berarti Mas punya istri bocil?" Sam mengusap kening Ana dengan kecupan lembut. "Aku beruntung dapat bocil pintar yang selalu bikin jatuh cinta." Ana menggigit bibirnya, tersipu. "Jangan terlalu memuji, nanti aku manja terus." "Justru aku suka kamu manja." Dalam keheningan itu, Ana bertanya dengan nada serius, "Mas, kamu pernah kepikiran ngga kalau takdir memisahkan kita?" Sam terdiam sejenak. "Kenapa ngomong begitu?" Ana menghela napas panjang. "Aku kadang takut. Takut suatu hari kita ngga bisa bersama lagi." Sam menangkup wajah Ana. "Selama kita punya waktu, kita nikmati. Aku janji akan selalu ada untuk kamu." Air mata Ana mengalir. "Aku mau kita selalu begini, Mas." Sam menyeka air matanya, tersenyum hangat. "Kita akan selalu bersama, Sayang. Sampai akhir.” Tapi itu hanya potongan dari mimpi indah yang berubah jadi luka paling dalam. Janji itu ternyata tak lebih dari bayang semu—sebuah harapan yang terhempas begitu saja. Malam itu, satu tahun lalu, mobil yang Ana kendarai sepulang kerja ditabrak truk dari arah berlawanan. Setelahnya, semuanya gelap. Dan saat akhirnya matanya terbuka di dunia yang tampak begitu terang. Tak ada Sam. Tak ada pelukan, tak ada suara panik memanggil namanya. Hanya cahaya yang menusuk dan rasa sepi yang menggema. Ia menangis. Untuk pertama kalinya sejak sadar, Ana menangis seperti seseorang yang baru sadar bahwa separuh jiwanya telah direnggut tanpa ampun. "Suamimu sudah pergi." Kalimat itu terngiang, berulang kali, seperti gema di ruangan kosong yang tak bisa ia hindari. Pergi. Begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa penjelasan. Sungguhan Ia tak siap kehilangan, terlebih di tengah kondisi tubuhnya yang baru saja terbangun dari koma. "Arghhhh..." Teriakannya keras, begitu menyakitkan. Tak ada yang pernah mempersiapkannya untuk rasa sakit sebesar ini. Di sela-sela tangisannya, bayangan wajah Sam terus berkelebat di pikirannya. Sosok suaminya yang selalu hangat, yang dulu berjanji akan selalu menjaganya. Kini semua tinggal kenangan. "Apa gunanya semua ini? Pernikahan kita selama ini Samy...?" pikirnya dalam hati. Tapi meski pertanyaan itu terus menghantuinya, jawaban yang ia tunggu tak pernah datang. Hari demi hari berlalu, dan Ana tetap berusaha hidup dengan baik sampai akhirnya ia diperbolehkan pulang. Proses pemulihan fisiknya berlangsung lambat, tetapi ada kemajuan. Sedikit demi sedikit, ia mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Samuel mungkin sudah pergi, tapi Ana mulai menyadari bahwa hidupnya belum selesai. Kepergian suaminya memang meninggalkan luka besar, tetapi tidak harus menghentikan perjalanan hidupnya bukan? Meski begitu, harapannya tetap ada. "Kenapa Mas Sam belum juga datang, Paman Haris?" Untuk kesekian kalinya Ana bertanya demikian, meskipun yang ditunggu tak pernah menampakkan batang hidungnya. "Dia sudah tidak menginginkanmu lagi, lupakan saja nak. Tandatangani segera surat cerai itu." Lagi-lagi jawabannya tetap sama. Ana tak membuka suara setelahnya, ia memilih untuk menepi di kamarnya, redam disana namun tangisnya yang tak bersuara pecah juga akhirnya. Sakit hatinya, sakit sekali. Semua upaya telah ia lakukan, namun Sam seakan menghilang ditelan bumi. Tak ada sedikit pun petunjuk tentang dirinya. Tanpa kejelasan, sementara pamannya tidak pernah mau memberitahukan apa pun. "Mas tak mengingini Ana lagi ya?" Ia terus bertanya-tanya, seperti kaset rusak yang terus mengganggu kepalanya. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu ia cintai, yang pernah menjadi bagian besar dari hidupnya? "Aku harus bagaimana?" lirih Ana di antara isakan tangisnya. Hingga suatu malam di tahun keempat, ponselnya bergetar pelan. Nama Hawarriyun, temannya yang bekerja dan tinggal di Amerika, muncul di layar—bukan panggilan, melainkan sebuah pesan. "Ana... ini soal suamimu." Jantung Ana langsung berdetak lebih cepat. Jemarinya refleks membuka pesan itu sepenuhnya. Pesan berikutnya menyusul, nyaris tanpa jeda. "Aku tahu kamu masih mencarinya. Awalnya aku juga ngga percaya. Tapi barusan aku lihat berita lokal di sini... Ana, suamimu muncul di TV. Namanya disebut, wajahnya jelas terpampang di layar. Sam diberitakan dekat dengan putri Perdana Menteri—bukan cuma itu, media mengisukan mereka akan bertunangan. Dia, seorang model papan atas, dan Sam…suamimu. Aku ngga tahu seberapa benar ini, tapi satu hal pasti, selama ini dia ada di Amerika." Ana terdiam. Pandangannya membeku pada layar, jantungnya berdebar tak beraturan, sementara tangannya gemetar saat mengetuk tautan yang dikirim Hawarriyun. Dan saat layar menampilkan berita itu, segalanya luruh. Wajah Sam terpampang jelas, berdiri di samping seorang perempuan berparas bule dengan rambut ikal berwarna blonde. Nama mereka berdua disebut sebagai pasangan yang tengah disorot, dikabarkan akan segera bertunangan. Seluruh isi dunia Ana runtuh seketika.Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring kot
"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, Tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan." Sam mendesah berat. "Biarkan di sana sampai dia pergi sendiri." Namun setengah jam berlalu, dan Sam tak tenang. Bukan karena khawatir, melainkan terganggu oleh kehadiran Ana. Akhirnya, dengan berat hati, ia memerintahkan, "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" Ana dibawa ke ruang tamu, tubuhnya menggigil namun sorot matanya tetap lembut. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa datang ke sini?” tanya Sam dengan nada geram. Ana tersenyum tipis, menahan dingin. “Aku dengar ada posisi kosong untuk pelayan. Aku ingin mengambil posisi itu." Ia menyerahkan surat lamaran. "Biarkan aku tinggal di sini sebagai pelayan." Sam menatapnya tak percaya. “Apa kamu bercanda, Ana?" "Aku serius, Samy," balas Ana, matanya penuh tekad. Sam menghela napas panjang dan memanggil seorang pelayan. "Gella!" "Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Bawa perempuan ini ke kamar pelayan. Beritahu tugas-tugasnya.
Ana mengikuti langkah pengawal menuju rumah besar Sam yang megah. Ia dibawa ke ruang kerja Sam. Saat sampai, Sam sedang berdiri tegak di dekat jendela, tak menoleh sedikit pun. Dengan isyarat, Sam menyuruh para pengawalnya keluar. Keheningan pun mencekam melingkupi ruangan. Ketika Sam akhirnya berbalik dan menatapnya dingin, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang. "Kenapa kamu datang kesini?" Suara pertama yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagi Ana. "Aku merindukan kamu Mas," "Saya tidak menyuruhmu untuk memiliki perasaan lebay seperti itu." Apa? Apakah telinga Ana bermasalah? Ah...tidak. Pria itu yang bermasalah dengan cara bicaranya yang seformal itu padanya. Ana tak bisa lagi menahan perasaannya. Dalam sekejap, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di tubuh tegap Sam, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Namun, tubuh Sam tetap kaku dalam pelukannya, tidak memberikan respons, hanya membiarkan Ana memeluknya tanpa b
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana." Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang." Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat." Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia
"Mas..." Perut Ana tergelitik oleh ulah tangan nakal suaminya, Sam, saat ia sedang memotong buah di ruang makan. "Ah, nyebelin! Aku lagi potong buah, Mas. Di tempat makan, ngga baik. Di kamar saja, ya? Tapi tunggu, aku mau makan buah dulu," keluh Ana, berusaha menahan malu. Namun Sam malah semakin iseng, menyelusupkan tangan ke dalam gaun Ana dan membuka bra-nya. "Samy..." rintih Ana, memanggil dengan nada manja. "Kenapa? Ini kan spot menantang yang kita suka," goda Sam sambil tertawa kecil. Ana buru-buru membungkam mulut Sam. "Ngga mau, pindah saja, sayang. Ada Mbak Yati!" rengeknya. Sam menyerah sambil tertawa. "Oke, oke, pindah." Cepat-cepat Ana merapikan pakaiannya, lalu memungut bra-nya yang jatuh. "Kamu itu, cari momen ngga jelas banget di tempat makan." "Justru serunya di situ," balas Sam, memeluk Ana dari belakang. "Tapi kalau istriku bilang pindah, ya kita pindah." Ana menggeleng, lalu tersenyum. "Di kamar lebih aman. Kalau ketahuan Mbak Yati, kita kena ome