Home / Romansa / Pengkhianatan Tercintaku / 3. Dia Yang Berbeda

Share

3. Dia Yang Berbeda

Author: nonaserenade
last update Last Updated: 2025-04-24 22:22:06

Ana mengikuti langkah pengawal menuju rumah besar Sam yang megah. Ia dibawa ke ruang kerja Sam. Saat sampai, Sam sedang berdiri tegak di dekat jendela, tak menoleh sedikit pun.

Dengan isyarat, Sam menyuruh para pengawalnya keluar. Keheningan pun mencekam melingkupi ruangan.

Ketika Sam akhirnya berbalik dan menatapnya dingin, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang.

"Kenapa kamu datang kesini?" Suara pertama yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagi Ana.

"Aku merindukan kamu Mas,"

"Saya tidak menyuruhmu untuk memiliki perasaan lebay seperti itu."

Apa? Apakah telinga Ana bermasalah? Ah...tidak. Pria itu yang bermasalah dengan cara bicaranya yang seformal itu padanya.

Ana tak bisa lagi menahan perasaannya. Dalam sekejap, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di tubuh tegap Sam, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.

Namun, tubuh Sam tetap kaku dalam pelukannya, tidak memberikan respons, hanya membiarkan Ana memeluknya tanpa balasan.

"Aku sudah terlalu lama mencari jawaban, Mas," bisik Ana dengan suara bergetar. "Kamu tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan, meninggalkanku dalam tanda tanya yang menyakitkan. Sekarang, kamu malah bersikap dingin dan seasing ini. Apa kamu sudah melupakan tentang kita, Samy?"

Sam segera melepaskan tangan Ana dari tubuhnya. "Saya sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi padamu, apa yang perlu saya harapkan dari istri yang koma? Saya butuh perempuan yang bisa mengurusi saya."

Hati Ana mencelos. Kata-kata Sam terasa seperti belati yang menancap dalam di hati Ana.

"Jadi... kamu meninggalkanku karena aku tak berdaya lagi dan kamu pun mencari yang lain?" Suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

"Ya."

Hati Ana semakin mencelos. “Setelah semua yang kita lewati… hanya itu yang tersisa di hatimu untukku?”

Sam memalingkan wajah, menghindari tatapan Ana. Ada kesan dingin dan tak peduli dalam sikapnya, seolah-olah ia memang sudah menutup pintu hatinya.

"Saya sudah cukup menderita, Ana. Hidup ini tidak menunggu siapapun. Saya butuh seseorang yang bisa ada di sisi saya. Maaf, tapi saya sudah tidak memiliki rasa apapun padamu."

"Aku pikir… cinta kita akan bertahan, Mas," bisiknya lirih, dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku pikir kamu akan tetap di sisiku, apa pun yang terjadi. Tapi kamu bohong, janji yang kamu ucapkan saat akad itu bohong."

Sam tetap diam, ekspresi dinginnya benar-benar tidak berubah.

Dengan suara serak, Ana melanjutkan, “Lalu kalau begitu kenapa kamu tidak datang kembali padaku untuk menceraikan ku langsung? Mengapa Mas? Kamu pasti bohong, aku tidak percaya Samy-ku seperti ini!"

Sam hanya mendengus dingin mendengar Ana mengoceh.

"Aku tahu di dalam hatimu, kamu tidak benar-benar ingin mengakhiri ini semua. Kalau kamu tidak punya perasaan lagi, kamu tidak perlu repot-repot menggantungkan status ini. Aku bisa tandatangani surat cerai yang kamu kirim setelah aku bangun dari koma, asal kamu ada di hadapanku, memberikan alasan, dan menghadapiku dengan berani Mas!"

Sam tertawa pelan, nadanya terdengar sarkastik, seolah mengejek harapan Ana. "Kamu terlalu naif, Ana," ujarnya sambil menggeleng pelan. "Apa kamu pikir pernikahan ini masih berarti bagi saya? Apa kamu pikir saya peduli soal status kita? Kamu benar-benar masih hidup dalam dongeng."

Ana menelan ludah, berusaha menahan luka yang semakin dalam. "Aku hanya hidup dalam kenyataan yang pernah kita bangun bersama. Kamu yang dulu berbeda, Mas, kamu bukan orang yang akan membuang segalanya begitu saja."

"Ana, bangunlah. Dunia kita sudah berubah," jawab Sam dengan nada datar. "Kamu pikir saya akan terus bertahan hanya karena perasaan yang sudah lama mati? Orang berubah, dan saya juga. Jangan menutup matamu terhadap kenyataan."

"Tapi aku belum berubah, Mas," kata Ana dengan tegas, air mata tak hentinya luruh membasahi pipinya. "Aku masih seperti yang dulu, masih mencintaimu. Bukankah pernah ada janji di antara kita?"

Sam berhenti sejenak, napasnya terdengar lebih berat. "Persetan dengan janji yang lalu, saya tidak mau mengingat kenangan yang sudah tak berarti apa-apa untuk saya sekarang."

Sesaat, hening menggantung di antara mereka, hanya detak jantung Ana yang terdengar jelas di antara mereka.

"Kalau begitu… jika memang ini yang kamu mau, lepaskan aku. Beri aku kebebasan," ujar Ana dengan suara tegas, walau hatinya sakit mengucapkannya.

Sam menatapnya dalam, ekspresi wajahnya sulit ditebak. "Pulanglah ke negaramu, saya akan kirimkan surat perpisahan lagi segera—"

"Ucapkan, Sam! Ucapkan bahwa kamu menceraikanku!" pekik Ana keras, menantang suaminya.

Sam terdiam, matanya berkedip sesaat. "Tidak perlu drama, Ana. Semua sudah jelas. Saya sudah tidak ingin terikat dengan masa lalu.”

Ana menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak bisa mengatakannya langsung? Kenapa harus melalui surat? Bukankah lebih mudah bagimu untuk menyelesaikannya di sini, di depan mataku?"

Sam memalingkan wajah, menatap kembali ke arah jendela. "Karena… saya tidak ingin ada konfrontasi yang tak perlu."

Ana mendekat, mencoba mencari penjelasan di balik wajah dingin itu. "Sam, jika kamu benar-benar tak ingin lagi terikat, katakan sekarang. Lepaskan aku. Biar aku tahu, agar aku bisa melanjutkan hidupku tanpa ada sisa harapan."

Sam menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara tinggi.

"Pengawal!" Teriak Sam keras sekali.

Para pengawal segera masuk ke dalam, menunduk di hadapan Sam.

"Ada yang bisa kami bantu, tuan?"

"Pesankan satu tiket pesawat untuk ke Indonesia, bawa perempuan ini dari hadapan saya."

Ana menatap Sam dengan mata penuh kemarahan dan air mata yang tertahan. “Apa maksudmu, Sam?” teriaknya, suaranya pecah kembali. "Setelah semua ini, kamu hanya ingin aku pergi begitu saja? Tanpa penjelasan yang layak?"

"Tuan, maaf..." Salah satu pengawal menyela pembicaraan bersitegang mereka. "Cuaca untuk perjalanan udara menuju Indonesia sedang buruk, penerbangan ditunda sampai cuaca membaik, tuan."

Sam menghela napas panjang, tampak tidak senang dengan gangguan itu. Lalu ia berpaling dari Ana. "Baik, pastikan dia tidak meninggalkan mansion ini sampai penerbangan berikutnya tersedia."

"Aku datang ke negara ini karena inginku sendiri, kamu tidak perlu memperlakukanku serendah ini. Samy... Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan menyerah mencari tahu alasan yang sebenarnya kamu meninggalkanku begini. Ingat kata-kata ku ini, aku tidak akan menyerah!"

Ana melangkah keluar dari ruangan Sam dengan kepala terangkat, meski hatinya terluka. Setiap langkahnya terasa berat, namun tekadnya untuk mencari kebenaran semakin kuat.

Para pengawal mengikuti di belakangnya dengan sikap waspada, namun Ana mengabaikan kehadiran mereka. Ia tidak akan mundur, bahkan jika Sam berusaha menyingkirkannya dengan cara yang dingin dan kejam.

Ana terus melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar dan ia pun pergi dari halaman rumah besar suaminya. Nanti lagi, Ana butuh rencana.

Sam berdiri diam di balik jendela, menyaksikan Ana yang melangkah menjauh dengan mantap.

Tangan Sam terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih, rahangnya mengeras, dan matanya memancarkan sorot tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengkhianatan Tercintaku   5. Keduanya Bersitegang

    Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring kot

  • Pengkhianatan Tercintaku   4. Sam Dengan Wanita Lain

    "Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, Tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan." Sam mendesah berat. "Biarkan di sana sampai dia pergi sendiri." Namun setengah jam berlalu, dan Sam tak tenang. Bukan karena khawatir, melainkan terganggu oleh kehadiran Ana. Akhirnya, dengan berat hati, ia memerintahkan, "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" Ana dibawa ke ruang tamu, tubuhnya menggigil namun sorot matanya tetap lembut. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa datang ke sini?” tanya Sam dengan nada geram. Ana tersenyum tipis, menahan dingin. “Aku dengar ada posisi kosong untuk pelayan. Aku ingin mengambil posisi itu." Ia menyerahkan surat lamaran. "Biarkan aku tinggal di sini sebagai pelayan." Sam menatapnya tak percaya. “Apa kamu bercanda, Ana?" "Aku serius, Samy," balas Ana, matanya penuh tekad. Sam menghela napas panjang dan memanggil seorang pelayan. "Gella!" "Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Bawa perempuan ini ke kamar pelayan. Beritahu tugas-tugasnya.

  • Pengkhianatan Tercintaku   3. Dia Yang Berbeda

    Ana mengikuti langkah pengawal menuju rumah besar Sam yang megah. Ia dibawa ke ruang kerja Sam. Saat sampai, Sam sedang berdiri tegak di dekat jendela, tak menoleh sedikit pun. Dengan isyarat, Sam menyuruh para pengawalnya keluar. Keheningan pun mencekam melingkupi ruangan. Ketika Sam akhirnya berbalik dan menatapnya dingin, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang. "Kenapa kamu datang kesini?" Suara pertama yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagi Ana. "Aku merindukan kamu Mas," "Saya tidak menyuruhmu untuk memiliki perasaan lebay seperti itu." Apa? Apakah telinga Ana bermasalah? Ah...tidak. Pria itu yang bermasalah dengan cara bicaranya yang seformal itu padanya. Ana tak bisa lagi menahan perasaannya. Dalam sekejap, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di tubuh tegap Sam, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Namun, tubuh Sam tetap kaku dalam pelukannya, tidak memberikan respons, hanya membiarkan Ana memeluknya tanpa b

  • Pengkhianatan Tercintaku   2. Pertemuan Menyakiti Hati

    "Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana." Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang." Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat." Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia

  • Pengkhianatan Tercintaku   1. Pengkhianatan Tercintaku (Pembuka)

    "Mas..." Perut Ana tergelitik oleh ulah tangan nakal suaminya, Sam, saat ia sedang memotong buah di ruang makan. "Ah, nyebelin! Aku lagi potong buah, Mas. Di tempat makan, ngga baik. Di kamar saja, ya? Tapi tunggu, aku mau makan buah dulu," keluh Ana, berusaha menahan malu. Namun Sam malah semakin iseng, menyelusupkan tangan ke dalam gaun Ana dan membuka bra-nya. "Samy..." rintih Ana, memanggil dengan nada manja. "Kenapa? Ini kan spot menantang yang kita suka," goda Sam sambil tertawa kecil. Ana buru-buru membungkam mulut Sam. "Ngga mau, pindah saja, sayang. Ada Mbak Yati!" rengeknya. Sam menyerah sambil tertawa. "Oke, oke, pindah." Cepat-cepat Ana merapikan pakaiannya, lalu memungut bra-nya yang jatuh. "Kamu itu, cari momen ngga jelas banget di tempat makan." "Justru serunya di situ," balas Sam, memeluk Ana dari belakang. "Tapi kalau istriku bilang pindah, ya kita pindah." Ana menggeleng, lalu tersenyum. "Di kamar lebih aman. Kalau ketahuan Mbak Yati, kita kena ome

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status