"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, Tuan."
"Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan." Sam mendesah berat. "Biarkan di sana sampai dia pergi sendiri." Namun setengah jam berlalu, dan Sam tak tenang. Bukan karena khawatir, melainkan terganggu oleh kehadiran Ana. Akhirnya, dengan berat hati, ia memerintahkan, "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" Ana dibawa ke ruang tamu, tubuhnya menggigil namun sorot matanya tetap lembut. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa datang ke sini?” tanya Sam dengan nada geram. Ana tersenyum tipis, menahan dingin. “Aku dengar ada posisi kosong untuk pelayan. Aku ingin mengambil posisi itu." Ia menyerahkan surat lamaran. "Biarkan aku tinggal di sini sebagai pelayan." Sam menatapnya tak percaya. “Apa kamu bercanda, Ana?" "Aku serius, Samy," balas Ana, matanya penuh tekad. Sam menghela napas panjang dan memanggil seorang pelayan. "Gella!" "Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Bawa perempuan ini ke kamar pelayan. Beritahu tugas-tugasnya. Mulai besok dia bekerja di sini." Ana menatap punggung Sam yang pergi begitu saja, tanpa menoleh. Ia menggenggam erat niatnya—apapun tantangannya, ia harus bertahan untuk menemukan kebenaran. Gella menghampirinya dengan lembut. "Mari, Nona. Saya antar ke kamar anda." Ana mengikuti Gella melewati koridor megah. Setibanya di kamar kecil yang disediakan, Gella membuka pintu. "Ini kamar anda, Nona. Saya juga akan memperkenalkan anda pada kepala pelayan." Ana tersenyum tipis, "Oh iya, siapa namamu?" tanya Ana. "Gella, Nona." "Panggil saja aku Ana. Kita sesama pelayan di sini," balas Ana, tersenyum hangat. Gella tersipu. "Baik, Ana." Mereka berjalan menuju ruang besar tempat seorang pria paruh baya menunggu. "Nona Ana," Gella memperkenalkan, "ini Tuan Michael, kepala pelayan mansion.” Tuan Michael menatap Ana dengan pandangan tegas. "Selamat datang. Saya diberi tahu bahwa kamu akan mulai bekerja di sini. Ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi. Apakah kamu siap untuk itu?" tanyanya dengan suara yang tegas. Ana mengangguk mantap. “Saya siap, Tuan Michael.” “Baik. Maka mulai besok pagi, kamu akan bekerja sebagai bagian dari pelayan di Mansion Mavros. Ada banyak tugas yang perlu kamu pelajari,” jelas Tuan Michael. “Gella akan membantumu dalam proses adaptasi.” Ana menunduk sedikit sebagai tanda hormat. Ia tahu, jalan ini tidak mudah, tetapi demi menemukan jawaban atas kepergian dan perubahan sikap Sam, ia akan bertahan di mansion ini. ••• Ana berpakaian layaknya seorang pelayan dan ia cukup lega karena pakaian maid yang ia kenakan berlengan panjang dan bagian bawahnya menjuntai hingga menutupi mata kaki. Saat ia berjalan menyusuri lorong-lorong mansion, beberapa pelayan lain menatapnya dengan heran. Sebagai orang baru, apalagi dengan perbedaan yang yang kontras, Ana tahu bahwa ia akan menjadi pusat perhatian. Namun, ia tak mengizinkan hal itu mengganggu fokusnya. Ketika tiba di dapur, Gella segera menyambutnya. "Ana, tugas hari ini cukup banyak, tetapi aku yakin kamu bisa. Kamu sudah siap?" Ana tersenyum dan mengangguk. “Insya Allah, aku siap, Gella.” Tugas pertama Ana adalah membawa hidangan sarapan untuk tuan rumah. Setelah semua hidangan tertata rapi di meja makan, suara langkah pantofel yang beradu dengan lantai terdengar di kejauhan, disusul oleh suara langkah heels yang beriringan. Sam... suaminya, berjalan mendekat bersama seorang wanita di sisinya. Wanita itu cantik, wajahnya khas orang Eropa dengan rambut panjang ikal berwarna pirang dan mata sebiru samudra—persis seperti apa yang ia lihat di artikel berita. Tangan wanita itu melingkar di lengan Sam, ah...Ana tak suka. Melihatnya, Ana tak bisa menahan rasa cemburu yang tiba-tiba menyusup di hatinya. "Pagi, Tuan," semua pelayan menyapa dengan hormat dan Ana mengikuti salam mereka dengan menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormatnya kepada tuan rumah. Sam dan wanita itu duduk dengan anggun di kursi mereka. Mereka duduk berdekatan karena wanita tersebut memilih tempat di samping Sam. Ana memahami tugas yang harus dilakukannya untuk menjamu mereka di pagi hari. Dengan langkah tenang, ia maju dan merundukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda penghormatan. "Izinkan saya untuk menuangkan teh," katanya dengan suara lembut, berusaha tetap tenang meskipun perasaannya bergolak. Wanita di samping Sam tersenyum sambil melirik Ana dengan tatapan lembut. "Terima kasih, kamu pelayan baru disini?" "Ya Nona, saya baru disini." "Ah...kamu sangat cantik, siapa namamu?" tanyanya, suaranya terdengar anggun dan lembut, mengalun di telinga Ana. Tak heran jika suaminya terpikat dengan perempuan ini. Ana tersenyum tipis, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya terasa perih. "Nama saya Ana, Nona," jawabnya dengan nada datar. Wanita itu mengangguk, tersenyum seolah memberi kesan ramah. "Ana... Nama yang indah, seperti wajahmu cantik sekali." Dia kembali memuji Ana. Sam tetap diam, hanya mengamati interaksi keduanya tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. "Terima kasih, Nona," jawab Ana singkat. Setelah itu, ia melanjutkan tugasnya, berusaha agar tidak terpancing oleh suasana yang terasa semakin menekan. "Semuanya keluar dari sini. Tapi, kamu tetap di sini," kata Sam dengan nada dingin, matanya menatap Ana tajam. Ana hanya menunduk, menerima perintah itu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Pelayan-pelayan lain segera meninggalkan ruangan dengan patuh, menyisakan Ana sendirian bersama Sam dan wanita yang belum Ana ketahui namanya. "Ashley, pilihlah hidangan yang kamu suka," ujar Sam sambil menoleh pada wanita di sampingnya. Ashley tersenyum tipis, “Terima kasih, Sam. Semua terlihat enak,” jawabnya dengan suara lembut, tangannya yang lentik mengambil sepotong roti yang sudah tertata di piring. Ana tetap berdiri di tempatnya, menunduk dengan tangan yang terlipat rapi di depan. "Ashley, buka mulutmu." Sam berkata lembut sambil mengambil sepotong kecil roti dan mengarahkannya ke bibir wanita itu. Ashley tersenyum manis, membuka mulutnya, dan menerima suapan dari Sam. “Enak?” tanya Sam, masih dengan nada lembut yang membuat Ana merasa terasing. Ashley mengangguk sambil tersenyum puas. “Sangat enak, terima kasih, Sam.” Tangannya kemudian menyentuh lengan Sam dengan akrab, dan mereka berbagi senyum yang terasa penuh keakraban. Ana menggenggam tangannya erat-erat di depan tubuhnya, memaksa dirinya untuk tidak menunjukkan perasaannya. Ia merasa ingin melangkah pergi dari ruangan itu, sakit sekali hatinya terasa. Tetapi, inilah ujian kesabaran yang harus ia hadapi jika ingin tetap berada di mansion ini, meski harus melihat Sam dengan wanita lain.Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring kot
"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, Tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan." Sam mendesah berat. "Biarkan di sana sampai dia pergi sendiri." Namun setengah jam berlalu, dan Sam tak tenang. Bukan karena khawatir, melainkan terganggu oleh kehadiran Ana. Akhirnya, dengan berat hati, ia memerintahkan, "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" Ana dibawa ke ruang tamu, tubuhnya menggigil namun sorot matanya tetap lembut. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa datang ke sini?” tanya Sam dengan nada geram. Ana tersenyum tipis, menahan dingin. “Aku dengar ada posisi kosong untuk pelayan. Aku ingin mengambil posisi itu." Ia menyerahkan surat lamaran. "Biarkan aku tinggal di sini sebagai pelayan." Sam menatapnya tak percaya. “Apa kamu bercanda, Ana?" "Aku serius, Samy," balas Ana, matanya penuh tekad. Sam menghela napas panjang dan memanggil seorang pelayan. "Gella!" "Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Bawa perempuan ini ke kamar pelayan. Beritahu tugas-tugasnya.
Ana mengikuti langkah pengawal menuju rumah besar Sam yang megah. Ia dibawa ke ruang kerja Sam. Saat sampai, Sam sedang berdiri tegak di dekat jendela, tak menoleh sedikit pun. Dengan isyarat, Sam menyuruh para pengawalnya keluar. Keheningan pun mencekam melingkupi ruangan. Ketika Sam akhirnya berbalik dan menatapnya dingin, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang. "Kenapa kamu datang kesini?" Suara pertama yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagi Ana. "Aku merindukan kamu Mas," "Saya tidak menyuruhmu untuk memiliki perasaan lebay seperti itu." Apa? Apakah telinga Ana bermasalah? Ah...tidak. Pria itu yang bermasalah dengan cara bicaranya yang seformal itu padanya. Ana tak bisa lagi menahan perasaannya. Dalam sekejap, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di tubuh tegap Sam, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Namun, tubuh Sam tetap kaku dalam pelukannya, tidak memberikan respons, hanya membiarkan Ana memeluknya tanpa b
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana." Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang." Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat." Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia
"Mas..." Perut Ana tergelitik oleh ulah tangan nakal suaminya, Sam, saat ia sedang memotong buah di ruang makan. "Ah, nyebelin! Aku lagi potong buah, Mas. Di tempat makan, ngga baik. Di kamar saja, ya? Tapi tunggu, aku mau makan buah dulu," keluh Ana, berusaha menahan malu. Namun Sam malah semakin iseng, menyelusupkan tangan ke dalam gaun Ana dan membuka bra-nya. "Samy..." rintih Ana, memanggil dengan nada manja. "Kenapa? Ini kan spot menantang yang kita suka," goda Sam sambil tertawa kecil. Ana buru-buru membungkam mulut Sam. "Ngga mau, pindah saja, sayang. Ada Mbak Yati!" rengeknya. Sam menyerah sambil tertawa. "Oke, oke, pindah." Cepat-cepat Ana merapikan pakaiannya, lalu memungut bra-nya yang jatuh. "Kamu itu, cari momen ngga jelas banget di tempat makan." "Justru serunya di situ," balas Sam, memeluk Ana dari belakang. "Tapi kalau istriku bilang pindah, ya kita pindah." Ana menggeleng, lalu tersenyum. "Di kamar lebih aman. Kalau ketahuan Mbak Yati, kita kena ome