"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana."
Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang." Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat." Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia bertanya-tanya, di mana suaminya? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Sam meninggalkannya tanpa penjelasan? “Kamu benar, Sab. Ini waktunya aku mencari jawaban.” Ana menegakkan tubuhnya, berusaha menguatkan diri. “Aku ngga bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Aku harus tahu kenapa dia pergi seperti itu, dengan hanya meninggalkan selembar surat cerai." ujarnya lirih. "Kamu ngga sendiri, Mbak. Aku disini pasti akan bantu kamu apa pun yang kamu butuhkan." Ana tersenyum samar. Meski hatinya masih terasa hancur, ia merasa sedikit lebih kuat dengan dukungan dari Sabrina. Ana tak bisa terus hidup dalam teka-teki yang tak berkesudahan ini. Sam mungkin ada di ujung lain dunia, tapi Ana harus tahu. Ia harus melihat langsung dan mendapatkan jawaban yang selama ini ia nantikan. Meskipun jawaban itu bisa menghancurkan hatinya lebih lebur lagi, ia harus berani menghadapinya. ••• Satu minggu kemudian, Ana sudah bersiap untuk perjalanan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tiket pesawat menuju Amerika sudah di tangan, dan perasaannya berkecamuk menginginkan harapan. Sabrina mendukungnya sepenuhnya walaupun paman Haris justru sebaliknya, tak mengizinkan. "Saat kamu sampai di sana, jangan terlalu berharap terlalu banyak ya, Mbak," pesan Sabrina sebelum Ana berangkat. "Yang penting, kamu bisa dapat kejelasan, apapun itu." Ana mengangguk, meski hatinya tahu apa yang dia inginkan. "Iya Sab. Terimakasih banyak ya." Sebab Ia menginginkan penjelasan, penutupan, atau mungkin, harapan terakhir untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari pernikahannya. Namun, apapun yang akan ia temukan di Amerika nanti, satu hal yang pasti, dia akan kembali sebagai seseorang yang berbeda. Entah dengan hati yang akhirnya bisa melepaskan, atau dengan luka yang lebih dalam. ••• New York City. Di bawah langit kelabu New York City, Ana berdiri di luar bandara, menatap hiruk-pikuk kota yang selama ini hanya ia dengar dari cerita dan layar kaca. Tempat yang mungkin menyimpan jawaban atas ketidakpastian yang telah ia tanggung selama empat tahun. Ana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdegup kencang. Ia tahu bahwa langkah-langkah berikutnya akan menentukan segalanya. Di tangannya, ia menggenggam secarik kertas berisi alamat sebuah rumah besar yang diberikan oleh Hawariyyun, petunjuk yang didapatnya setelah begitu banyak pencarian. Ia melangkah pelan ke arah taksi yang menunggunya, menyebutkan alamat itu dengan suara lirih. Sopir taksi mengangguk dan langsung melajukan kendaraannya, membawa Ana menuju tempat yang ia yakini sebagai titik temu dengan Sam. Perjalanan itu terasa begitu panjang bagi Ana, meskipun hanya memakan waktu setengah jam. Pikirannya melayang-layang, membayangkan berbagai kemungkinan yang mungkin ia temui. Tak lama kemudian, taksi itu berhenti di depan sebuah rumah besar yang terlihat elegan dan kokoh. Ana menghela napas dalam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hatinya. Ia berjalan perlahan menuju pintu gerbang rumah itu yang amat tinggi. "Ada yang bisa saya bantu Nona?" Tanya seorang pria yang berpakaian serba hitam. Ana terkejut mendengar suara itu. Ia menoleh dan melihat seorang pria berdiri di dekat pintu gerbang, menatapnya dengan pandangan penuh tanya. "Oh... iya, saya datang mencari seseorang," jawab Ana, mencoba terdengar tenang meski hatinya berdegup kencang. "Saya ingin bertemu dengan Tuan Keenan Samuel Adinata. Apakah dia sedang berada di rumah?" Pria itu menatapnya sejenak, ragu-ragu. “Anda siapa?" tanyanya tak ingin segera menjawab sebab privasi tuannya perlu dijaga. Begitu Ana ingin menjawab, seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian coat yang melekat gagah di tubuhnya keluar dari rumah besar itu, yang diikuti oleh jajaran para pengawal berpakaian serba hitam di belakangnya. Ana terpaku di tempatnya, "Mas..." Bagaikan bisikan yang lembut, mata Sam terhenti pada sosok wanita yang berdiri di depan gerbang itu. Ia tampak terkejut dan raut wajahnya berubah saat mengenali Ana yang berdiri terpaku. Sesaat, suasana di sekitarnya seolah terhenti, hanya ada tatapan mereka dari kejauhan yang bertemu dalam keheningan penuh makna Beberapa pengawal di belakangnya melirik satu sama lain, bingung melihat tuan mereka yang tiba-tiba terdiam. Salah seorang pengawal mencoba mendekat untuk memberikan instruksi, namun Sam mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menahan diri. "Perintahkan penjaga di depan gerbang untuk bawa perempuan itu ke hadapan saya." Salah seorang pengawal segera memberikan instruksi melalui alat komunikasi di telinganya. Tak lama, penjaga di depan gerbang mendekati Ana dan membawanya masuk ke pelataran rumah besar milik Sam. Tatapan mereka tetap tak lepas, seakan-akan waktu berhenti di antara mereka. Ana merasa gemuruh di dadanya semakin hebat, sementara Sam hanya berdiri tegak di ujung halaman, matanya tak beranjak dari sosok Ana yang perlahan mendekat. Setelah beberapa langkah, Ana berhenti, jarak mereka kini hanya beberapa meter. Sam tampak berusaha menjaga ketenangannya, tetapi pandangan matanya mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan—lebih pada keheranan. "Samy..." suara Ana terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Sam menarik napas dalam, menahan perasaannya yang kompleks. "Bawa perempuan itu ke ruang pribadi saya." Ucapnya tegas dan dingin, ia segera mengalihkan pandangannya dan kembali masuk ke dalam rumah besarnya. Ana hanya bisa terpaku saat mendengar instruksi tegas dari Sam. Kata-kata itu terasa asing, tak sehangat dan selembut yang pernah ia kenal dulu. Sam yang sekarang terlihat begitu berbeda. Tatapan tajamnya penuh wibawa, tetapi dingin dan seolah tak tersentuh lagi hatinya. Apa benar Samy-nya seperti itu?Ana bersandar di dinding kamar mandi, merasakan dingin menempel di punggungnya, tapi tetap tak mampu meredakan rasa sakit di hatinya. "Sakit, Mas..." bisiknya pelan, berharap kata-katanya bisa terbang dan sampai ke dalam hati Sam. Isakan kecil keluar dari bibirnya, tangis yang ia tahan akhirnya pecah dalam sunyi ruangan itu. Ia tahu seharusnya ia kuat, seharusnya ia tak terpengaruh, tapi kenyataannya melihat Sam dengan wanita lain, menyaksikan keakraban mereka, membuat pertahanannya runtuh. Ana mengusap air mata yang menetes di pipinya, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya. "Aku harus kuat...," gumamnya lirih pada diri sendiri. Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin besar pula rasa perih yang menyelimuti. Ana keluar dari sana dengan langkah pelan, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menata diri agar tak ada yang menyadari gejolak di dalam hatinya. Setelah kembali ke dapur, Ana segera mencuci piring-piring kot
"Wanita itu masih menunggu di depan gerbang, Tuan." "Bagaimana keadaannya?" "Dia kedinginan." Sam mendesah berat. "Biarkan di sana sampai dia pergi sendiri." Namun setengah jam berlalu, dan Sam tak tenang. Bukan karena khawatir, melainkan terganggu oleh kehadiran Ana. Akhirnya, dengan berat hati, ia memerintahkan, "Bawa dia masuk ke dalam, segera!" Ana dibawa ke ruang tamu, tubuhnya menggigil namun sorot matanya tetap lembut. “Apa tujuanmu lagi, Ana? Kenapa kamu memaksa datang ke sini?” tanya Sam dengan nada geram. Ana tersenyum tipis, menahan dingin. “Aku dengar ada posisi kosong untuk pelayan. Aku ingin mengambil posisi itu." Ia menyerahkan surat lamaran. "Biarkan aku tinggal di sini sebagai pelayan." Sam menatapnya tak percaya. “Apa kamu bercanda, Ana?" "Aku serius, Samy," balas Ana, matanya penuh tekad. Sam menghela napas panjang dan memanggil seorang pelayan. "Gella!" "Iya Tuan, ada yang bisa saya bantu?" "Bawa perempuan ini ke kamar pelayan. Beritahu tugas-tugasnya.
Ana mengikuti langkah pengawal menuju rumah besar Sam yang megah. Ia dibawa ke ruang kerja Sam. Saat sampai, Sam sedang berdiri tegak di dekat jendela, tak menoleh sedikit pun. Dengan isyarat, Sam menyuruh para pengawalnya keluar. Keheningan pun mencekam melingkupi ruangan. Ketika Sam akhirnya berbalik dan menatapnya dingin, mata mereka bertemu dalam diam yang panjang. "Kenapa kamu datang kesini?" Suara pertama yang keluar dari bibirnya adalah pertanyaan yang sangat tidak masuk akal bagi Ana. "Aku merindukan kamu Mas," "Saya tidak menyuruhmu untuk memiliki perasaan lebay seperti itu." Apa? Apakah telinga Ana bermasalah? Ah...tidak. Pria itu yang bermasalah dengan cara bicaranya yang seformal itu padanya. Ana tak bisa lagi menahan perasaannya. Dalam sekejap, ia mendekat dan melingkarkan tangannya di tubuh tegap Sam, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Namun, tubuh Sam tetap kaku dalam pelukannya, tidak memberikan respons, hanya membiarkan Ana memeluknya tanpa b
"Bang Hawa sudah dapat petunjuk, Sab," suara Ana terdengar lirih saat ia berbicara kepada keponakannya, Sabrina. "Mas Sam benar ada di US, dia tinggal di rumah besar di sana." Sabrina yang duduk di hadapannya menatap Ana dengan cemas. "Jadi itu benar dia? Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Mbak?" Ana menggigit bibirnya, bingung antara marah, lega, dan putus asa. "Aku... aku ngga tahu, Sab," gumam Ana, menunduk menatap lantai. "Sebenarnya, aku senang karena akhirnya aku punya petunjuk. Tapi, aku juga takut... takut apa yang aku temukan nanti lebih menyakitkan daripada yang sudah aku bayangkan sekarang." Sabrina menggenggam tangan Ana dengan erat, berusaha memberikan dukungan. "Mbak Ana, kamu sudah lama terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Mungkin ini waktunya untuk mendapatkan jawaban yang jelas, meskipun itu berat." Ana menghela napas panjang, merasakan kekosongan dalam dirinya semakin menganga. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Setiap hari, setiap malam, ia
"Mas..." Perut Ana tergelitik oleh ulah tangan nakal suaminya, Sam, saat ia sedang memotong buah di ruang makan. "Ah, nyebelin! Aku lagi potong buah, Mas. Di tempat makan, ngga baik. Di kamar saja, ya? Tapi tunggu, aku mau makan buah dulu," keluh Ana, berusaha menahan malu. Namun Sam malah semakin iseng, menyelusupkan tangan ke dalam gaun Ana dan membuka bra-nya. "Samy..." rintih Ana, memanggil dengan nada manja. "Kenapa? Ini kan spot menantang yang kita suka," goda Sam sambil tertawa kecil. Ana buru-buru membungkam mulut Sam. "Ngga mau, pindah saja, sayang. Ada Mbak Yati!" rengeknya. Sam menyerah sambil tertawa. "Oke, oke, pindah." Cepat-cepat Ana merapikan pakaiannya, lalu memungut bra-nya yang jatuh. "Kamu itu, cari momen ngga jelas banget di tempat makan." "Justru serunya di situ," balas Sam, memeluk Ana dari belakang. "Tapi kalau istriku bilang pindah, ya kita pindah." Ana menggeleng, lalu tersenyum. "Di kamar lebih aman. Kalau ketahuan Mbak Yati, kita kena ome