Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.
Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.
Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.
Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.
Setelah sarapan, Damar pamit dengan tergesa. “Ada rapat pagi ini. Aku berangkat dulu.”
“Hati-hati di jalan,” balas Alya sambil mengantar suaminya sampai ke pintu. Ia tersenyum, tapi sorot matanya menyimpan lapisan emosi yang tak terbaca.
Begitu mobil menghilang di tikungan, Alya menutup pintu perlahan. Tangannya masih melekat di gagang pintu beberapa detik, seolah berat melepas sesuatu. Lalu ia menarik napas dalam, meraih tas tangan kecil, dan melangkah keluar.
Jalanan Denpasar pagi itu ramai. Motor berderet, klakson sesekali terdengar, dan pedagang kaki lima mulai menjajakan dagangan. Alya berjalan anggun menuju kafe yang sudah disepakati. Hatinya berdebar pelan, bukan karena takut, melainkan karena siap menghadapi percakapan yang ia tahu tak akan ringan.
Kafe mungil itu hangat, aroma kopi segar dan kayu manis bercampur menenangkan. Alya memilih duduk di dekat jendela, menatap lalu lalang kendaraan. Pelayan datang dengan senyum ramah, dan Alya memesan latte hangat.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka pelan. Nadia masuk dengan wajah lelah tapi matanya berbinar saat melihat Alya. Ia segera menghampiri, memeluk sahabatnya erat.
“Ly, akhirnya kita bisa ketemu,” ucapnya dengan suara serak.
“Ya, sudah lama kita nggak ngobrol begini,” balas Alya, tersenyum lembut.
Mereka duduk. Nadia memesan cappuccino lalu menatap Alya dengan ragu. Jemarinya sibuk mengaduk gula, seolah mencari keberanian.
“Aku sebenarnya… bingung harus ngomong atau nggak,” kata Nadia lirih.
“Nad, aku nggak butuh kabar manis. Aku butuh kebenaran,” sahut Alya tenang.
Nadia menghela napas panjang. “Aku sering lihat Damar sama Karina. Kadang pulang bareng, kadang makan siang berdua. Mereka juga terlihat dekat banget di kantor. Bahkan ada yang bilang… hubungan mereka lebih dari sekadar rekan kerja.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Alya memegang cangkirnya erat, merasakan panas menembus kulit. Matanya menatap jendela, mengikuti motor yang melintas, lalu kembali pada sahabatnya.
“Orang lain sudah tahu?” tanyanya hati-hati.
“Belum terlalu ramai. Tapi gosip mulai beredar. Aku takut nanti makin besar," jawab Nadia lirih.
Alya terdiam lama. Hatinya sakit, tapi wajahnya tetap elegan. “Aku paham. Terima kasih, Nad, sudah jujur. Aku tahu kamu cuma ingin aku siap.”
Nadia menggenggam tangan Alya. “Aku nggak mau kamu terluka, Ly. Kamu terlalu baik untuk disakiti.”
Alya tersenyum tipis. “Luka itu bagian dari hidup. Yang penting, aku nggak kehilangan diriku sendiri.”
Nadia menunduk, matanya berkaca-kaca. “Kamu selalu kelihatan kuat, tapi aku tahu di dalam kamu rapuh.”
Alya menggeleng pelan. “Rapuh bukan berarti kalah. Aku hanya butuh waktu. Dan aku punya diriku, itu cukup.”
Mereka terdiam sejenak. Musik jazz pelan dari pengeras suara menemani, membuat suasana terasa intim. Nadia akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menarik napas lega karena telah melepaskan beban.
“Kalau kamu butuh aku, kapan pun, aku ada,” ucapnya mantap.
Alya mengangguk. “Aku tahu, Nad. Itu sudah lebih dari cukup.”
Siang menjelang ketika Alya pulang. Rumah terasa sunyi. Ia masuk ke ruang kerja, menyalakan laptop, lalu membuka file Catatan Pribadi. Jari-jarinya menari di atas keyboard:
"Nadia memastikan firasatku. Hubungan Damar dengan Karina bukan sekadar rumor. Aku mencatat semua, bukan untuk menambah luka, tapi untuk menjaga logika tetap utuh. Aku tidak ingin emosiku mengendalikan diriku. Jika kebenaran datang, aku ingin menyambutnya dengan kepala tegak."
Ia berhenti, menatap layar. Ingatannya melayang ke masa ketika Damar lumpuh, saat ia setia merawat suaminya. Kontras sekali dengan bayangan sekarang, Damar tertawa dengan perempuan lain.
Alya menutup laptopnya lalu berdiri di depan cermin. Alya melihat pantulan wajahnya tampak tegar, meski matanya menyimpan luka.
Malam hari, suara mesin mobil terdengar di halaman. Alya bangkit dari sofa, menutup buku bacaan yang tadi ia pegang, lalu berjalan menyambut.
Damar masuk, melepas tas dan duduk di sofa dengan tubuh letih. “Hari ini melelahkan sekali. Ada makan malam?” tanyanya.
“Sudah aku siapkan mas,” jawab Alya dengan senyum tipis.
Saat membantu merapikan kemeja yang Damar lepaskan, aroma asing menyergap hidung Alya. Manis, floral, jelas bukan parfum suaminya. Pandangannya jatuh ke kerah kemeja ada noda samar merah muda. Lipstik.
Waktu seakan berhenti. Jantung Alya berdegup kencang, tapi wajahnya tetap tenang. Ia melipat kemeja itu rapi, lalu bertanya lembut, “Mau mandi dulu atau langsung makan?”
“Makan dulu saja,” jawab Damar, tanpa curiga.
Alya mengangguk, berjalan ke dapur. Setiap langkahnya berat, tapi kepalanya tegak.
Alya terus menatap Damar yang sedang memakan makanannya, dan seperti biasa perhatiannya selalu ke ponsel, bukan ke Alya lagi seperti dulu.
Alya tersenyum kecut melihat perubahan Damar, namun ia tak boleh gegabah, ia berusaha setengah mati menahan kesabarannya agar tidak meledak saat itu.
Setelah Damar selesai makan, damar langsung kekamar mandi, dan setelah mandi ia pun tertidur, tak ada percakapan ringan antara mereka, Damar seolah sudah punya dunianya sendiri, dan Alya bukanlah dunianya lagi,
Setelah Damar tertidur Alya kembali membuka laptop. Ia menulis kalimat terakhir:
"Aroma parfum, noda lipstik, dan kesaksian Nadia. Semua sudah jelas. Aku tidak boleh ragu lagi. Aku akan bersiap, bukan menangis. Aku akan berdiri, bukan terhempas."
Kali ini ia tidak hanya menutup laptop. Ia juga mengambil buku agenda kecil, menuliskan beberapa poin singkat:
Mengamati pola jam kerja Damar.
Menandai hari ketika ia pulang lebih larut.
Menyiapkan pertanyaan sederhana untuk menguji jawabannya.
Alya menatap catatan itu lama. Bibirnya membentuk senyum pahit, tapi matanya berkilat. “Kalau memang ada pengkhianatan,” bisiknya pada diri sendiri, “aku akan tahu. Dengan caraku.”
Alya menutup agenda, menyimpannya di laci terkunci, lalu berbaring di sisi tempat tidur. Damar terlelap di sebelahnya, sementara Alya terjaga, menatap langit-langit. Malam itu, bukan air mata yang menemaninya, melainkan tekad yang semakin kokoh.
Malam itu rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Damar baru pulang lewat tengah malam. Lampu ruang tamu masih menyala, dan Alya sudah menunggunya di sofa dengan pakaian santai, secangkir teh hangat di atas meja.Begitu pintu terbuka, Damar langsung tertegun melihat istrinya masih terjaga. “Ly… kamu belum tidur?”Alya tersenyum samar. “Aku menunggumu Mas. Aku kira hari ini Mas pulang lebih cepat.”Damar meletakkan jasnya di gantungan, mencoba terlihat tenang. “Ada rapat mendadak, aku tidak bisa tinggalkan.”"Lagi-lagi alasan yang sama, setiap hari alsannya selalu sama ketika pulangtengah malam," batin Alya.Alya berdiri, berjalan mendekatinya. Aroma parfum asing yang beberapa hari terakhir mengusik indra penciumannya kembali tercium samar. Ia menghela napas pelan, menatap Damar dalam-dalam.“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” suaranya lembut, tapi tegas.“Tentu. Apa, Ly?”“Kalau aku bilang… aku mencium aroma berbeda darimu akhir-akhir ini, Mas akan jawab apa?”Damar tercekat. Senyum
Suasana kantor siang itu masih sibuk. Lobi dipenuhi pegawai yang lalu-lalang, beberapa membawa berkas, sebagian lain menunggu lift. Di antara keramaian itu, langkah Alya tetap anggun. Ia tidak tampak terburu-buru, tapi aura kehadirannya membuat beberapa pasang mata menoleh.Resepsionis yang sudah mengenalnya segera berdiri. “Selamat siang, Bu Alya.”“Selamat siang,” balas Alya dengan senyum tipis. “Saya ingin menemui Mas Damar. Dia sedang di ruangan, kan?”“Betul, Bu. Saya antar sampai lift," tawar resepsionis dengan sopan."Baiklah," ucap Alya yang tersenyum kepada resepsionis itu.Beberapa menit kemudian, Alya sudah berdiri di depan pintu kayu berpelitur gelap dengan plakat bertuliskan Damar Pratama – Direktur Utama. Ia mengetuk sekali, lalu mendorong pintu masuk tanpa menunggu jawaban.Damar mendongak dari balik tumpukan berkas. Saat melihat Alya yang masuk Damar merasa kaget bukan main melihat Alya berdiri di sana. “Ly? Apa yang… kamu lakukan di sini?”Alya menutup pintu perlahan,
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, membias hangat ke seluruh ruangan. Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang tergerai lembut. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya penuh tekad. Semalam ia tidak banyak tidur, pikirannya terus bergulir, menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil. Dan pagi ini, keputusannya bulat, ia akan mendatangi kantor Damar, bukan lagi hanya menunggu cerita dari Nadia atau menebak-nebak, Alya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.Ia menyiapkan sarapan dengan rapi seperti biasa. Damar turun dari kamar, sudah rapi dengan kemeja kerja abu-abu yang dipadu jas gelap. Alya menaruh secangkir kopi hitam di depannya, senyum tipis tersungging di bibirnya.“Mas, jangan lupa pakai jaket. Cuaca agak sulit ditebak belakangan ini,” katanya lembut, seolah semua berjalan normal.Damar menatap sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Ly. Kamu jangan terlalu capek di rumah.”Percakapan berhenti di situ. Selebihnya hanya suara sendok beradu
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menyentuh wajah Alya yang sudah bangun sejak subuh. Ia menatap sosok Damar suaminya yang masih terlelap. Sejenak ia teringat masa-masa ketika lelaki itu lumpuh dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dulu, setiap pagi, ia yang menguatkan Damar, menyuapi, memijat, bahkan memandikannya. Kini, setelah sembuh, lelaki itu tampak gagah kembali, seakan semua luka masa lalu hilang.Namun Alya tahu, luka yang sesungguhnya bukan di tubuh, melainkan di hati.Dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar, menuju dapur, dan mulai menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang putih berpadu dengan wangi kopi hitam memenuhi udara. Alya menata meja dengan rapi, menyusun buah di piring kecil, dan meletakkan sendok-garpu sejajar. Tangannya begitu tenang, meski pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Tak lama, Damar keluar kamar dengan kemeja putih dan dasi yang baru ia pasang. “Wah, sarapan pagi ini kelihatan istimewa sekali,” kata Damar samb
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.Setelah sarapan, Damar pamit dengan terge
Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tida