Compartir

Jejak Pertama yang Samar

last update Última actualización: 2025-09-27 12:50:47

Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.

Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.

Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.

Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tidak tajam, tapi cukup kuat untuk bertahan semalaman.

Bukan wangi rumah ini. Bukan wangi tubuh Damar. Dan jelas bukan wangi parfumnya sendiri.

Alya menutup mata, menahan gejolak yang tiba-tiba naik. Ia bukan tipe perempuan yang mudah menuduh. Tidak sekali pun selama menikah ia memberi ruang untuk rasa curiga. Tapi kali ini, hatinya bergetar aneh.

Ia melipat kemeja itu rapi, lalu meletakkannya di keranjang cucian. Bibirnya mengulas senyum tipis, meski hatinya berdebar.

"Kalau ini hanya kebetulan, aku akan lega. Tapi kalau tidak… aku harus tahu kebenarannya," bisik Alya pada dirinya sendiri.

Di dapur, Alya sibuk menyiapkan sarapan. Bubur ayam, menu sederhana yang ia tahu disukai Damar. Tangannya bekerja otomatis mengaduk, menabur bawang goreng, sementara pikirannya mengulang-ulang kejadian semalam.

Suara langkah membuatnya menoleh. Damar keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, mengenakan kemeja biru muda yang selalu membuat wajahnya tampak lebih segar. Ia tersenyum ketika melihat meja makan.

“Bubur ayam? Wah, sudah lama nggak sarapan ini," kata Damar yang menarik kursi meja makan.

Alya ikut tersenyum, menaruh mangkuk di depannya. “Aku pikir kamu butuh yang hangat-hangat. Badanmu kelihatan lelah.”

Damar duduk, mulai menyendok buburnya. Alya memperhatikan setiap gerakannya, bahkan cara matanya sekilas menghindari tatapannya.

“Mas,” ucap Alya pelan sambil menuangkan teh. “Kemarin pulang agak malam, ya? Aku sampai ketiduran nunggu.”

Damar mengangguk. “Iya, rapatnya molor.”

“Banyak sekali pekerjaan belakangan ini?” tanya Alya dengan lembut.

“Lumayan,” jawabnya singkat.

Alya menatapnya sesaat, lalu tersenyum kecil. “Kalau capek, jangan dipaksa. Kesehatanmu jauh lebih penting daripada rapat.”

Damar menoleh, sejenak menatap istrinya. Senyum lembut terbit di wajahnya. “Kamu selalu khawatir soal aku. Aku kuat, Ya.”

Alya hanya mengangguk, tak menambahkan komentar lain. Tapi di balik senyumnya, ia menangkap sesuatu jeda kecil, intonasi yang terlalu ringan, seolah Damar sedang menyembunyikan sesuatu.

Rumah besar itu terasa terlalu sunyi sejak pagi. Setelah Damar berangkat kerja, hanya ada bunyi jam dinding dan sesekali kicau burung di halaman. Alya duduk di ruang keluarga dengan secangkir kopi hangat di tangan, menatap lapo terbuka, Alya mengetik pelan, membuat catatan harian yang baru ia mulai beberapa hari terakhir.

Hari: Senin. Pulang: 23.15. Alasan: rapat molor. Catatan: aroma parfum asing di kemeja.

Hari: Selasa. Pulang: 22.40. Alasan: rapat tambahan. Catatan: ekspresi wajah tidak biasa.

Alya berhenti sejenak, menatap layar laptop kosong. Lalu ia mengetik satu kalimat, Aku tidak boleh tergesa-gesa. Semua harus jelas. Semua harus nyata.

Biasanya, kesunyian adalah teman yang menyenangkan baginya. Tapi sejak aroma parfum asing itu menempel di inderanya, hening berubah menjadi ruang yang penuh pertanyaan.

Alya menutup laptop setelah menulis beberapa catatan harian. Ia berdiri, berjalan perlahan ke lemari cuci. Dari tumpukan pakaian, ia kembali mengambil kemeja Damar yang kemarin. Wangi samar itu masih ada. Ia menatapnya lama, sebelum memasukkannya ke mesin cuci. Tangannya bergetar sedikit, meski wajahnya tetap tenang.

“Kalau memang ada rahasia, pasti suatu saat terbuka,” gumamnya pelan, seolah meyakinkan diri sendiri.

Sekitar pukul sebelas siang, bel pagar berbunyi. Alya bangkit, mengenakan cardigan tipis, lalu membuka pintu. Ternyata Bu Ratna, tetangga sebelah rumah yang suka sekali bercerita panjang lebar.

“Ya Allah, Alya… makin cantik aja kamu, Nak,” sapa Bu Ratna dengan senyum hangat.

Alya tersenyum lembut. “Aduh, Bu Ratna bisa saja. Masuk dulu, Bu, saya bikinin teh.”

Mereka duduk di teras. Bu Ratna mulai bercerita tentang acara arisan RT, anaknya yang baru masuk kuliah, sampai kabar tukang kebun yang baru. Alya mendengarkan dengan sabar, sesekali menimpali dengan komentar singkat.

Namun telinganya benar-benar fokus saat Bu Ratna tiba-tiba berkata, “Kemarin saya lihat suami kamu pulang malam, ya? Lewat pagar rumah, sekitar jam sebelas. Saya kebetulan baru pulang dari rumah sakit jenguk saudara.”

Alya tersenyum samar, menutup reaksi dalam-dalam. “Iya, Bu. Katanya lagi banyak rapat di kantor.”

“Wah, iya, kerja keras banget ya. Saya lihat masih sempat teleponan di mobil. Hebat tuh, nggak kelihatan capek," kata bu Ratna menimpali.

Kata-kata itu menancap di kepala Alya. Teleponan di mobil? Dengan siapa?

Tapi wajah Alya tetap kalem, bahkan ia tertawa kecil. “Begitulah, Bu Ratna. Damar memang begitu orangnya.”

Setelah obrolan panjang, Bu Ratna pamit pulang. Alya masuk kembali ke rumah dengan langkah tenang, namun di dadanya ada riak yang sulit ia kendalikan.

Siang menjelang sore, Alya memilih duduk di perpustakaan kecil rumah mereka. Ia membuka buku, tapi pikirannya tak kunjung bisa fokus. Bayangan Damar, senyum samar, dan aroma parfum asing terus menghantui.

Ia menutup buku, lalu berdiri di depan rak kaca yang memajang beberapa piagam penghargaan Damar. Tangannya menyusuri bingkai kayu itu perlahan. “Aku percaya padamu, Mas. Selama ini aku percaya penuh. Jangan sampai kau buat kepercayaanku hancur,” bisiknya lirih.

Menjelang malam, Alya menyiapkan makan malam dengan sangat rapi. Hidangan kesukaan Damar sop buntut, tumis buncis, dan sambal terasi.

Ketika Damar pulang, wajahnya lelah tapi masih menebar senyum. Alya menyambut dengan ramah, bahkan menuangkan teh hangat untuknya.

“Mas,” ucapnya lembut ketika mereka duduk di meja makan. “Tadi siang Bu Ratna main. Katanya semalam lihat kamu masih sempat teleponan di mobil. Kamu telepon siapa?”

Pertanyaan itu Alya lontarkan dengan nada yang tenang, bahkan tersenyum. Tidak ada nada menuduh. Hanya rasa ingin tahu yang terdengar tulus.

Damar sempat terdiam sepersekian detik, lalu menjawab sambil meraih sendok. “Oh… iya, teman kantor. Ada yang harus dibicarakan cepat. Nggak penting, kok.”

Alya mengangguk, meletakkan sendoknya perlahan. “Begitu, ya. Aku kira penting sekali, soalnya sampai larut begitu.”

Damar tersenyum sekilas, lalu segera mengalihkan topik.

Alya ikut tersenyum. Senyum elegan, manis, seakan percaya penuh. Tapi dalam hatinya, benang kecurigaan semakin kuat mengikat.

Malam itu, ketika Damar sudah tertidur, Alya kembali keluar kamar. Ia berdiri di dapur, menatap meja makan kosong, lalu menarik napas panjang.

Ia tidak menangis. Tidak juga marah. Ia hanya merasakan kekuatan baru tumbuh dalam dirinya.

“Kalau benar ada yang lain, aku harus siap. Aku harus tetap berdiri. Karena aku bukan perempuan lemah,” katanya lirih pada diri sendiri, sebelum akhirnya kembali ke kamar dan berbaring di samping Damar.

Aroma parfum asing itu masih samar-samar terbayang di hidungnya, seperti tanda kecil yang terus menolak hilang.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan yang Kembali

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Keputusan

    Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan Dari Masa Lalu

    Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Antara Luka dan Rasa yang Tumbuh

    Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Sepi yang Tertinggal

    Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Tidak Ada Jalan Kembali

    Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status