MasukSuara tongkat menjejak lantai terdengar berirama di dalam rumah pagi itu. Tok… tok… tok… Suara yang dulu penuh getir, kini terdengar seperti ketukan kemenangan. Damar sudah mampu berjalan sendiri dengan bantuan tongkat, langkahnya memang belum sempurna, tapi mantap. Alya menghentikan gerakan tangannya yang tengah menuang teh ke cangkir, lalu menoleh. Senyum samar terbit di wajahnya saat melihat suaminya muncul dari balik pintu kamar dengan raut penuh keyakinan.
“Lihat, Ly,” ucap Damar sambil mengangkat dagu sedikit, “aku sudah bisa jalan tanpa bantuanmu lagi.”
Alya menatapnya, matanya berbinar meski tetap tenang. Ia bukan tipe wanita yang mudah menangis hanya karena terharu. Namun di balik tatapannya ada rasa lega yang sulit diucapkan. “Itu kemajuan yang luar biasa, Dam. Aku bangga padamu.” Ia lalu menarik kursi di meja makan. “Duduk dulu. Sarapanmu sudah siap.”
Damar mendekat, menaruh tongkat di samping kursi, lalu duduk dengan napas teratur. Tangannya meraih sendok, namun sebelum menyuap, ia menatap Alya lekat-lekat. “Aku pikir… sudah saatnya aku kembali ke kantor.”
Alya terdiam sejenak. “Dam, dokter bilang—”
“Sudah cukup aku mendengarkan dokter selama tiga bulan terakhir,” potong Damar cepat.
“Aku terjebak di rumah ini, Ly. Kau tahu bagaimana rasanya? Seperti kehilangan jati diri. Aku bukan Damar yang sebenarnya kalau hanya duduk menunggu belas kasih orang lain. Aku harus kembali. Aku harus menunjukkan kalau aku masih ada," lanjut Damar yang tak ingin di larang.
Alya menghela napas pelan. Ia bisa merasakan getar ego yang kembali tumbuh di dada suaminya. Lelaki yang dulu penuh ambisi, kini mulai bangkit lagi. “Kalau itu keinginanmu, aku tak bisa melarang. Tapi berjanjilah, kau akan menjaga kesehatanmu.”
Damar tersenyum tipis. “Tentu. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Tuhan beri.”
***
Senin pagi, langit Jakarta cerah, seolah ikut merayakan langkah baru Damar. Mobil hitam mereka berhenti di depan gedung tinggi berlapis kaca. Alya duduk di kursi penumpang, memperhatikan suaminya yang sibuk merapikan jas dan dasinya di kaca spion. Ada sinar berbeda di matanya sinar percaya diri yang sudah lama hilang.
“Aku ikut mengantar sampai lobi,” kata Alya.
Damar mengangguk, meski wajahnya terlihat ingin menunjukkan kalau ia bisa sendiri. Begitu turun, beberapa karyawan yang kebetulan lewat langsung menoleh. Bisik-bisik terdengar, lalu mereka menghampiri dengan senyum lebar.
“Pak Damar! Wah, akhirnya kembali juga!”
Damar tersenyum, menjabat tangan mereka satu per satu. Tatapan kagum dari rekan-rekan kerjanya seperti energi yang menyuntikkan semangat baru. Ia berdiri lebih tegak, seolah tongkat di sampingnya hanyalah pelengkap.
Alya mengikuti dari belakang, memperhatikan dengan hati campur aduk. Ada bangga yang tak bisa disembunyikan, tapi juga perasaan asing. Damar tampak lebih hidup di tengah sorakan orang lain dibanding saat bersamanya di rumah. Seakan-akan dirinya hanyalah perawat, sementara dunia luar adalah panggung tempat suaminya kembali bersinar.
Ruang kerja Damar masih sama, hanya sedikit lebih rapi dari terakhir ia tinggalkan. Buket bunga kering dari karyawan masih tertata di meja, bersama beberapa kartu ucapan “Lekas Sembuh.” Damar menarik napas panjang, menghirup aroma kertas, tinta, dan kayu—aroma yang membuatnya merasa pulang.
“Ruang ini… masih menungguku,” gumamnya lirih.
Alya menaruh tas kecil berisi obat di sudut meja. “Jangan lupa minum ini setelah makan siang.”
***
Hari-hari berikutnya berjalan cepat. Damar semakin larut dalam pekerjaannya. Alya tetap mengingatkan soal obat, makan tepat waktu, dan fisioterapi. Namun sering kali pesan itu hanya dijawab singkat dengan “Ya, aku tahu” atau “Nanti, Ly.”
Suatu malam, ketika Alya menyiapkan sup panas, Damar pulang hampir pukul sembilan. Jasnya masih rapi, rambutnya tersisir baik, dan aroma parfum baru menguar samar. Alya menoleh dari dapur.
“Kau kerja sampai larut lagi?” tanyanya dengan nada tenang.
“Ya,” jawab Damar sambil melepas jam tangannya.
“Ada presentasi penting. Klien besar dari luar negeri. Mereka butuh penjelasan detail.”
Alya mengangguk, tak ingin membuat suasana tegang. “Kalau begitu, makan dulu. Kau butuh tenaga.”
Damar sempat menatapnya sejenak, lalu duduk. Ada sesuatu di tatapannya seperti keinginan untuk mengatakan sesuatu, tapi ia tahan. Alya menangkap kilatan itu, namun memilih diam.
***
Beberapa minggu setelah Damar kembali, nama seorang wanita mulai muncul. Saat makan malam, Damar berkata, “Ly, aku tadi ditemani sekretaris baru untuk presentasi. Namanya Karina. Dia cekatan, pintar, bisa membaca situasi. Aku pikir dia akan banyak membantu tim.”
Alya meletakkan sendok perlahan. “Bagus kalau ada orang yang bisa meringankan tugasmu.”
“Ya… dia berbeda dari sekretaris sebelumnya. Lebih berani, lebih… ambisius,” jawab Damar sambil menyesap air putih.
Alya hanya mengangguk tipis. Ia tidak ingin menaruh curiga, tidak ingin terlihat posesif. Tapi hatinya menyimpan tanda tanya. Cara Damar menyebut nama itu Karina seolah menyimpan kekaguman yang sulit disamarkan.
"Kenapa sepertinya Damar merasa sangat kagum dengan sekretarisnya?" batin Alya yang menyembunyikan kekhawatirannya.
Keesokkan harinya, Karina sekretaris baru Damar masuk ke ruang kerja Damar membawa beberapa berkas. Rambut panjangnya tergerai rapi, blus putihnya sederhana namun elegan. Suaranya tenang, tegas, dengan senyum yang penuh percaya diri.
“Pak Damar, ini draft proposal untuk investor. Saya sudah tandai beberapa poin yang mungkin perlu Bapak tekankan.”
Damar membaca cepat, lalu mengangguk. “Kau teliti sekali. Bagus.”
Karina tersenyum kecil. “Saya hanya berusaha memastikan Bapak tidak terlalu lelah. Bapak masih dalam masa pemulihan, kan?”
Kalimat itu membuat dada Damar hangat. Ia merasa diperhatikan, bukan sebagai pasien, tapi sebagai lelaki sekaligus pemimpin. Karina tahu menempatkan diri, tahu bagaimana membuatnya merasa berharga. Sesuatu yang entah kenapa mulai jarang ia rasakan di rumah, di tengah rutinitas perawatan Alya yang penuh instruksi.
Malam-malam Alya semakin sepi. Dulu, meski Damar sakit, mereka masih sering berbicara panjang tentang rasa takut, tentang harapan. Kini, setelah pulih, Damar lebih sering menatap laptop atau sibuk dengan telepon.
“Dam, kau mau teh hangat?” tanya Alya suatu malam.
“Hm? Oh, tidak usah. Aku masih harus selesaikan laporan,” jawabnya tanpa menoleh.
Alya berdiri lama di ambang pintu, lalu beranjak ke dapur. Ia tidak menangis, tidak merajuk. Ia tahu dirinya tegar, tapi ia juga tahu sesuatu telah berubah. Lelaki yang dulu ia rawat dengan sabar, kini perlahan menjauh. Bukan fisik yang pergi, tapi hatinya yang mulai berkelana ke arah lain.
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya
Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen
Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar
Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r
Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l
Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“







