Keesokan harinya Damar kembali pulang terlambat dan ia masih berada di kantor, suara keyboard dan denting notifikasi email menjadi musik malam di ruang kerja Damar. Hampir pukul delapan, kantor sudah sepi. Lampu neon putih menyinari ruangan, meninggalkan bayangan panjang di dinding kaca. Damar duduk dengan punggung sedikit membungkuk, wajahnya lelah, tangannya sibuk memeriksa berkas yang menumpuk.
Tok! Tok! Suara ketukan pintu. Karina muncul dengan map di tangannya. Rambut hitamnya terikat sederhana, blus putihnya sudah sedikit kusut karena seharian bekerja, tapi wajahnya tetap segar.
“Pak, ini revisi proposal yang Bapak minta tadi siang.” Ia meletakkan map di meja.
Damar mengangkat kepala. “Cepat sekali kau selesaikan.”
Karina tersenyum tipis. “Saya terbiasa bekerja di bawah tekanan. Lagipula, Bapak kan butuh hasil cepat.”
Damar menutup laptop, bersandar di kursi. Ia memperhatikan Karina, bukan hanya sekadar sekretaris baru. Ada ketenangan dalam cara bicara dan sorot matanya, seolah ia tahu persis kapan harus bicara, kapan harus diam.
Karina melirik tongkat yang bersandar di sudut meja. “Bapak jangan terlalu memaksa diri. Tadi saya lihat langkah Bapak agak berat saat keluar ruang rapat.”
Damar tertawa kecil. “Aku memang belum sepenuhnya pulih. Dokter bilang butuh waktu lebih lama.”
“Kalau begitu, biar saya yang urus dokumen atau berjalan ke ruang rapat. Bapak cukup duduk di ruangan, saya bawakan semuanya.”
Nada suaranya tulus, bukan sekadar basa-basi pekerjaan. Damar menatapnya sesaat, lalu mengangguk. “Kau banyak membantuku. Terima kasih," ucap Damar.
Karina tersenyum, senyum sederhana yang menyalakan sesuatu di dada Damar.
***
Hari-hari berikutnya, Karina makin sering berada di ruangan Damar. Mereka tak hanya bicara soal jadwal atau rapat, tapi juga hal-hal ringan.
Suatu siang, saat jam makan siang, Karina mengetuk pintu. “Pak, mau makan? Saya bisa bungkuskan makanan di kantin.”
Damar menggeleng. “Tidak usah, aku masih ada laporan.”
Karina menatapnya sejenak, lalu melangkah keluar. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan dua kotak nasi. “Saya tahu Bapak pasti bilang sibuk. Jadi saya belikan langsung. Jangan marah ya.”
Damar terkekeh. “Kau keras kepala juga rupanya.”
“Kalau tidak begitu, Bapak bisa lupa makan. Dan kalau Bapak jatuh sakit lagi, siapa yang kerepotan? Saya.”
Mereka makan di ruangan itu, suasananya jauh lebih ringan. Damar merasa seperti kembali muda, bercakap dengan seseorang yang penuh energi. Karina tidak membicarakan penyakit atau obat, ia membicarakan musik, film, bahkan hobinya menulis puisi. Damar terkejut mendengarnya.
“Kau menulis puisi?”
Karina tersenyum malu. “Sekadar hobi. Kadang saya tulis kalau sedang jenuh.”
“Boleh aku baca?”
“Mungkin lain kali, kalau Bapak janji tidak menertawakan.”
Damar mengangguk, hatinya hangat. Perbincangan itu sederhana, tapi memberi ruang bagi dirinya untuk merasa… normal. Tidak seperti pasien, tidak seperti lelaki yang harus dikasihani.
Malam itu, ada presentasi penting untuk investor asing. Damar memutuskan lembur. Karina menolak pulang, tetap menemaninya di kantor.
“Pulanglah, Karina. Sudah malam.”
Karina menggeleng. “Saya sekretaris Bapak. Kalau Bapak lembur, saya juga lembur.”
Mereka bekerja berdampingan. Sesekali tangan mereka bersentuhan saat meraih berkas yang sama. Sesaat, waktu terasa melambat. Damar menatap Karina, Karina menunduk cepat.
“Maaf,” ucapnya pelan.
Damar terdiam, lalu pura-pura kembali fokus pada layar. Namun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
***
Di rumah, Alya menunggu hingga lewat tengah malam. Sup yang ia siapkan sudah dingin. Ketika Damar akhirnya pulang, wajahnya lelah tapi ada cahaya berbeda di matanya cahaya semangat yang Alya tak lagi lihat sejak ia mulai sakit.
“Kau pulang semakin larut,” kata Alya dengan nada tenang.
“Banyak kerjaan. Investor baru menuntut detail," jawab Damar.
Alya menatapnya lama, lalu mengangguk. Ia tidak bertanya lebih jauh. Namun saat mencuci jas Damar keesokan harinya, ia menemukan selembar kertas kecil di saku. Tulisan tangan rapi:
“Jangan lupa rapat jam 14.00, dan jangan lupa obatmu. –K”
Alya menatap catatan itu lama. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum bahagia, melainkan getir. Ia tahu siapa yang menulisnya. Ia tidak membuang catatan itu. Ia meletakkannya kembali di meja kerja Damar, tanpa sepatah kata.
***
Hari-hari berikutnya, perhatian Karina semakin terasa. Ia menyiapkan kopi, mengingatkan soal obat, bahkan ikut menegur staf lain yang membebani Damar terlalu banyak pekerjaan.
“Pak Damar masih dalam masa pemulihan. Jangan semuanya dilempar ke beliau,” kata Karina di depan staf, membuat Damar merasa diperlindungi.
Semua staf pun merasa heran, namun mereka kembali berpikir positif, karena memang benar Damar masih dalam masa pemulihan, tidak baik jia Damar terlalu banyak bekerja dan memaksakan diri untuk bekerja.
Perlahan, Damar mulai terbiasa dengan kehadiran Karina. Terlalu terbiasa. Ia mulai menantikan suara ketukannya di pintu, senyum singkatnya saat menyodorkan berkas, bahkan aroma parfumnya yang samar.
Di sisi lain, Alya mulai merasakan jarak. Suaminya memang pulang ke rumah, tapi pikirannya seolah tertinggal di kantor.
Suatu sore, saat mereka berdua duduk setelah rapat, Karina berkata pelan, “Bapak tahu? Saya kagum pada Bapak. Banyak orang pasti menyerah kalau mengalami kecelakaan seperti itu. Tapi Bapak bisa bangkit, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.”
Damar menoleh. Matanya bertemu dengan mata Karina. Ada ketulusan di sana, yang membuat hatinya bergetar.
“Terima kasih, Karina. Tidak semua orang bisa melihat sisi itu," ucap Damar dengan tulus.
“Kadang orang hanya melihat luka. Tapi saya melihat keberanian,” jawab Karina.
Kalimat itu menancap. Damar merasa dihargai dengan cara yang berbeda bukan sebagai pasien, bukan sebagai beban, tapi sebagai pria yang dikagumi.
Di rumah, Alya menyiapkan teh hangat. Ia meletakkannya di meja kerja Damar, yang sibuk dengan laptop.
“Dam, minumlah dulu," kata Alya.
“Sebentar, Ly. Laporan ini harus selesai malam ini," sahut Damar tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.
Alya berdiri di samping pintu, menatap punggung suaminya. Ada jarak yang makin jelas, jarak yang tak terlihat tapi nyata. Ia tidak menangis, tidak protes. Ia hanya berbisik dalam hati, “Aku sudah melewati luka bersamamu. Jika ada luka baru, aku akan tetap berdiri. Aku tidak akan runtuh.”
Alya pun keluar dari ruang kerja Damar, ia tak ingin mengganggu Damar. Alya memutuskan kembali kekamarnya untuk beristirahat.
Namun sampainya di kamar, Alya kembali teringat tentang lembaran kertas itu. -K, siapa K itu?" batin Karena yang bertanya-tanya dalam hatinya.
"Apa Damar mempunyai rahasia besar? apa perubahan dan jarak ia ciptakan ini karena ada seseorang yang hadir di dirinya?"
Karina terus memikirkan tentang hal itu, namun ia kembali mencoba berpikir positif dan tak ingin menuduh Damar mempunyai wanita lain diluar sana. Walau sebenarnya didalam hatinya dugaan itu sangat kuat.
Malam itu rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Damar baru pulang lewat tengah malam. Lampu ruang tamu masih menyala, dan Alya sudah menunggunya di sofa dengan pakaian santai, secangkir teh hangat di atas meja.Begitu pintu terbuka, Damar langsung tertegun melihat istrinya masih terjaga. “Ly… kamu belum tidur?”Alya tersenyum samar. “Aku menunggumu Mas. Aku kira hari ini Mas pulang lebih cepat.”Damar meletakkan jasnya di gantungan, mencoba terlihat tenang. “Ada rapat mendadak, aku tidak bisa tinggalkan.”"Lagi-lagi alasan yang sama, setiap hari alsannya selalu sama ketika pulangtengah malam," batin Alya.Alya berdiri, berjalan mendekatinya. Aroma parfum asing yang beberapa hari terakhir mengusik indra penciumannya kembali tercium samar. Ia menghela napas pelan, menatap Damar dalam-dalam.“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” suaranya lembut, tapi tegas.“Tentu. Apa, Ly?”“Kalau aku bilang… aku mencium aroma berbeda darimu akhir-akhir ini, Mas akan jawab apa?”Damar tercekat. Senyum
Suasana kantor siang itu masih sibuk. Lobi dipenuhi pegawai yang lalu-lalang, beberapa membawa berkas, sebagian lain menunggu lift. Di antara keramaian itu, langkah Alya tetap anggun. Ia tidak tampak terburu-buru, tapi aura kehadirannya membuat beberapa pasang mata menoleh.Resepsionis yang sudah mengenalnya segera berdiri. “Selamat siang, Bu Alya.”“Selamat siang,” balas Alya dengan senyum tipis. “Saya ingin menemui Mas Damar. Dia sedang di ruangan, kan?”“Betul, Bu. Saya antar sampai lift," tawar resepsionis dengan sopan."Baiklah," ucap Alya yang tersenyum kepada resepsionis itu.Beberapa menit kemudian, Alya sudah berdiri di depan pintu kayu berpelitur gelap dengan plakat bertuliskan Damar Pratama – Direktur Utama. Ia mengetuk sekali, lalu mendorong pintu masuk tanpa menunggu jawaban.Damar mendongak dari balik tumpukan berkas. Saat melihat Alya yang masuk Damar merasa kaget bukan main melihat Alya berdiri di sana. “Ly? Apa yang… kamu lakukan di sini?”Alya menutup pintu perlahan,
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, membias hangat ke seluruh ruangan. Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang tergerai lembut. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya penuh tekad. Semalam ia tidak banyak tidur, pikirannya terus bergulir, menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil. Dan pagi ini, keputusannya bulat, ia akan mendatangi kantor Damar, bukan lagi hanya menunggu cerita dari Nadia atau menebak-nebak, Alya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.Ia menyiapkan sarapan dengan rapi seperti biasa. Damar turun dari kamar, sudah rapi dengan kemeja kerja abu-abu yang dipadu jas gelap. Alya menaruh secangkir kopi hitam di depannya, senyum tipis tersungging di bibirnya.“Mas, jangan lupa pakai jaket. Cuaca agak sulit ditebak belakangan ini,” katanya lembut, seolah semua berjalan normal.Damar menatap sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Ly. Kamu jangan terlalu capek di rumah.”Percakapan berhenti di situ. Selebihnya hanya suara sendok beradu
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menyentuh wajah Alya yang sudah bangun sejak subuh. Ia menatap sosok Damar suaminya yang masih terlelap. Sejenak ia teringat masa-masa ketika lelaki itu lumpuh dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dulu, setiap pagi, ia yang menguatkan Damar, menyuapi, memijat, bahkan memandikannya. Kini, setelah sembuh, lelaki itu tampak gagah kembali, seakan semua luka masa lalu hilang.Namun Alya tahu, luka yang sesungguhnya bukan di tubuh, melainkan di hati.Dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar, menuju dapur, dan mulai menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang putih berpadu dengan wangi kopi hitam memenuhi udara. Alya menata meja dengan rapi, menyusun buah di piring kecil, dan meletakkan sendok-garpu sejajar. Tangannya begitu tenang, meski pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Tak lama, Damar keluar kamar dengan kemeja putih dan dasi yang baru ia pasang. “Wah, sarapan pagi ini kelihatan istimewa sekali,” kata Damar samb
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.Setelah sarapan, Damar pamit dengan terge
Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tida