Share

Retakan yang Tak Terlihat

Author: Dinda Cahyani
last update Last Updated: 2025-09-09 12:53:27

Keesokan harinya Damar kembali pulang terlambat dan ia masih berada di kantor, suara keyboard dan denting notifikasi email menjadi musik malam di ruang kerja Damar. Hampir pukul delapan, kantor sudah sepi. Lampu neon putih menyinari ruangan, meninggalkan bayangan panjang di dinding kaca. Damar duduk dengan punggung sedikit membungkuk, wajahnya lelah, tangannya sibuk memeriksa berkas yang menumpuk.

Tok! Tok! Suara ketukan pintu. Karina muncul dengan map di tangannya. Rambut hitamnya terikat sederhana, blus putihnya sudah sedikit kusut karena seharian bekerja, tapi wajahnya tetap segar.

“Pak, ini revisi proposal yang Bapak minta tadi siang.” Ia meletakkan map di meja.

Damar mengangkat kepala. “Cepat sekali kau selesaikan.”

Karina tersenyum tipis. “Saya terbiasa bekerja di bawah tekanan. Lagipula, Bapak kan butuh hasil cepat.”

Damar menutup laptop, bersandar di kursi. Ia memperhatikan Karina, bukan hanya sekadar sekretaris baru. Ada ketenangan dalam cara bicara dan sorot matanya, seolah ia tahu persis kapan harus bicara, kapan harus diam.

Karina melirik tongkat yang bersandar di sudut meja. “Bapak jangan terlalu memaksa diri. Tadi saya lihat langkah Bapak agak berat saat keluar ruang rapat.”

Damar tertawa kecil. “Aku memang belum sepenuhnya pulih. Dokter bilang butuh waktu lebih lama.”

“Kalau begitu, biar saya yang urus dokumen atau berjalan ke ruang rapat. Bapak cukup duduk di ruangan, saya bawakan semuanya.”

Nada suaranya tulus, bukan sekadar basa-basi pekerjaan. Damar menatapnya sesaat, lalu mengangguk. “Kau banyak membantuku. Terima kasih," ucap Damar.

Karina tersenyum, senyum sederhana yang menyalakan sesuatu di dada Damar.

***

Hari-hari berikutnya, Karina makin sering berada di ruangan Damar. Mereka tak hanya bicara soal jadwal atau rapat, tapi juga hal-hal ringan.

Suatu siang, saat jam makan siang, Karina mengetuk pintu. “Pak, mau makan? Saya bisa bungkuskan makanan di kantin.”

Damar menggeleng. “Tidak usah, aku masih ada laporan.”

Karina menatapnya sejenak, lalu melangkah keluar. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan dua kotak nasi. “Saya tahu Bapak pasti bilang sibuk. Jadi saya belikan langsung. Jangan marah ya.”

Damar terkekeh. “Kau keras kepala juga rupanya.”

“Kalau tidak begitu, Bapak bisa lupa makan. Dan kalau Bapak jatuh sakit lagi, siapa yang kerepotan? Saya.”

Mereka makan di ruangan itu, suasananya jauh lebih ringan. Damar merasa seperti kembali muda, bercakap dengan seseorang yang penuh energi. Karina tidak membicarakan penyakit atau obat, ia membicarakan musik, film, bahkan hobinya menulis puisi. Damar terkejut mendengarnya.

“Kau menulis puisi?”

Karina tersenyum malu. “Sekadar hobi. Kadang saya tulis kalau sedang jenuh.”

“Boleh aku baca?”

“Mungkin lain kali, kalau Bapak janji tidak menertawakan.”

Damar mengangguk, hatinya hangat. Perbincangan itu sederhana, tapi memberi ruang bagi dirinya untuk merasa… normal. Tidak seperti pasien, tidak seperti lelaki yang harus dikasihani.

Malam itu, ada presentasi penting untuk investor asing. Damar memutuskan lembur. Karina menolak pulang, tetap menemaninya di kantor.

“Pulanglah, Karina. Sudah malam.”

Karina menggeleng. “Saya sekretaris Bapak. Kalau Bapak lembur, saya juga lembur.”

Mereka bekerja berdampingan. Sesekali tangan mereka bersentuhan saat meraih berkas yang sama. Sesaat, waktu terasa melambat. Damar menatap Karina, Karina menunduk cepat.

“Maaf,” ucapnya pelan.

Damar terdiam, lalu pura-pura kembali fokus pada layar. Namun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

***

Di rumah, Alya menunggu hingga lewat tengah malam. Sup yang ia siapkan sudah dingin. Ketika Damar akhirnya pulang, wajahnya lelah tapi ada cahaya berbeda di matanya cahaya semangat yang Alya tak lagi lihat sejak ia mulai sakit.

“Kau pulang semakin larut,” kata Alya dengan nada tenang.

“Banyak kerjaan. Investor baru menuntut detail," jawab Damar.

Alya menatapnya lama, lalu mengangguk. Ia tidak bertanya lebih jauh. Namun saat mencuci jas Damar keesokan harinya, ia menemukan selembar kertas kecil di saku. Tulisan tangan rapi:

“Jangan lupa rapat jam 14.00, dan jangan lupa obatmu. –K”

Alya menatap catatan itu lama. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum bahagia, melainkan getir. Ia tahu siapa yang menulisnya. Ia tidak membuang catatan itu. Ia meletakkannya kembali di meja kerja Damar, tanpa sepatah kata.

***

Hari-hari berikutnya, perhatian Karina semakin terasa. Ia menyiapkan kopi, mengingatkan soal obat, bahkan ikut menegur staf lain yang membebani Damar terlalu banyak pekerjaan.

“Pak Damar masih dalam masa pemulihan. Jangan semuanya dilempar ke beliau,” kata Karina di depan staf, membuat Damar merasa diperlindungi.

Semua staf pun merasa heran, namun mereka kembali berpikir positif, karena memang benar Damar masih dalam masa pemulihan, tidak baik jia Damar terlalu banyak bekerja dan memaksakan diri untuk bekerja.

Perlahan, Damar mulai terbiasa dengan kehadiran Karina. Terlalu terbiasa. Ia mulai menantikan suara ketukannya di pintu, senyum singkatnya saat menyodorkan berkas, bahkan aroma parfumnya yang samar.

Di sisi lain, Alya mulai merasakan jarak. Suaminya memang pulang ke rumah, tapi pikirannya seolah tertinggal di kantor.

Suatu sore, saat mereka berdua duduk setelah rapat, Karina berkata pelan, “Bapak tahu? Saya kagum pada Bapak. Banyak orang pasti menyerah kalau mengalami kecelakaan seperti itu. Tapi Bapak bisa bangkit, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.”

Damar menoleh. Matanya bertemu dengan mata Karina. Ada ketulusan di sana, yang membuat hatinya bergetar.

“Terima kasih, Karina. Tidak semua orang bisa melihat sisi itu," ucap Damar dengan tulus.

“Kadang orang hanya melihat luka. Tapi saya melihat keberanian,” jawab Karina.

Kalimat itu menancap. Damar merasa dihargai dengan cara yang berbeda bukan sebagai pasien, bukan sebagai beban, tapi sebagai pria yang dikagumi.

***

Di rumah, Alya menyiapkan teh hangat. Ia meletakkannya di meja kerja Damar, yang sibuk dengan laptop.

“Dam, minumlah dulu," kata Alya.

“Sebentar, Ly. Laporan ini harus selesai malam ini," sahut Damar tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

Alya berdiri di samping pintu, menatap punggung suaminya. Ada jarak yang makin jelas, jarak yang tak terlihat tapi nyata. Ia tidak menangis, tidak protes. Ia hanya berbisik dalam hati, “Aku sudah melewati luka bersamamu. Jika ada luka baru, aku akan tetap berdiri. Aku tidak akan runtuh.”

Alya pun keluar dari ruang kerja Damar, ia tak ingin mengganggu Damar. Alya memutuskan kembali kekamarnya untuk beristirahat.

Namun sampainya di kamar, Alya kembali teringat tentang lembaran kertas itu. -K, siapa K itu?" batin Karena yang bertanya-tanya dalam hatinya.

"Apa Damar mempunyai rahasia besar? apa perubahan dan jarak ia ciptakan ini karena ada seseorang yang hadir di dirinya?"

Karina terus memikirkan tentang hal itu, namun ia kembali mencoba berpikir positif dan tak ingin menuduh Damar mempunyai wanita lain diluar sana. Walau sebenarnya didalam hatinya dugaan itu sangat kuat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan yang Kembali

    Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Keputusan

    Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Bayangan Dari Masa Lalu

    Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Antara Luka dan Rasa yang Tumbuh

    Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Sepi yang Tertinggal

    Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l

  • Pengkhianatan di Balik Kesetiaan   Tidak Ada Jalan Kembali

    Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status