“Kenapa aku harus hidup begini, Ly?!” suara Damar pecah malam itu.
“Aku ini lelaki gagal! Tidak bisa jalan, tidak bisa kerja, bahkan untuk ke kamar mandi pun harus dibantu. Untuk apa aku masih hidup?” lirih Damar.
Alya yang sedang menuangkan air hangat ke baskom berhenti sejenak. Ia menoleh, menatap suaminya dengan mata jernih. Tak ada air mata, tak ada wajah iba hanya ketenangan yang entah dari mana datangnya.
“Kau masih hidup karena Tuhan belum ingin memanggilmu, Dam,” jawabnya pelan tapi tegas.
“Dan karena aku masih di sini, di sampingmu. Kalau kau menyerah, semua perjuanganku akan sia-sia.”
Damar membuang muka, rahangnya mengeras. “Kau terlalu sabar. Kalau aku jadi kau, aku sudah pergi sejak lama.”
Alya tidak menanggapi. Ia membawa baskom ke hadapan suaminya, lalu dengan sabar mengangkat kaki Damar, mengusapnya dengan kain hangat. Gerakannya lembut, tapi penuh ketegasan seorang wanita yang tahu apa yang ia lakukan.
“Dulu aku menikah denganmu bukan hanya untuk saat kau gagah dan sehat,” ucap Alya sambil menunduk, tangannya tetap sibuk menusap kaki Damar.
“Aku menikah denganmu untuk seluruh perjalanan hidup, termasuk saat kita jatuh sejatuh-jatuhnya," lanjut Alya.
Damar terdiam. Napasnya berat, tapi kata-kata Alya menembus egonya yang rapuh.
Enam bulan sebelumnya, hidup mereka begitu berbeda.
Alya masih ingat jelas telepon yang ia terima malam itu. Suara panik seorang polisi di ujung sana: “Ibu Alya? Suami Anda, Pak Damar, mengalami kecelakaan di tol. Mohon segera ke RS Cakrawala.”
Tangannya langsung gemetar. Ia berlari keluar rumah tanpa sempat mengenakan jilbab dengan benar, jantungnya berpacu begitu keras seolah hendak pecah.
Di lorong rumah sakit, ia hampir roboh saat melihat tubuh Damar terbaring dengan selang dan perban di mana-mana. Darah mengering di wajahnya, dan alat bantu pernapasan menutupi mulutnya.
“Dokter, suami saya… bagaimana keadaannya?” suaranya lirih, hampir tak keluar.
Dokter menatapnya serius. “Ada luka parah di tulang belakang. Kami akan lakukan operasi segera, tapi kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan permanen.”
Seakan seluruh dunia runtuh menimpa kepalanya.
Saat operasi selesai dan Damar akhirnya sadar, ia menatap Alya dengan mata kosong. “Aku… lumpuh, Ly. Kalau kau mau pergi, pergilah. Aku tidak akan menahan.”
Alya menelan sesak di dadanya, lalu menggenggam tangan suaminya erat-erat.
Itu adalah sumpah baru yang ia ucapkan tanpa sadar, sumpah yang kemudian mengikat langkahnya dalam hari-hari terberat mereka.
Flash Back Off
Damar menarik napas panjang. “Aku muak menjadi beban.”
Alya menatapnya, kali ini lebih tajam. “Kalau kau benar-benar merasa beban, buktikan dengan berjuang. Jangan hanya marah. Kau punya aku, Dam. Aku berdiri di sampingmu bukan untuk mendengar keluhan, tapi untuk melihat kau mencoba.”
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak lambat namun menusuk.
Damar menunduk. Untuk pertama kalinya malam itu, ia tidak membalas. Sementara Alya melanjutkan pekerjaannya, wajahnya tetap tenang meski dalam hati ia tahu: perjalanan mereka masih panjang dan melelahkan.
Malam itu, setelah selesai membersihkan tubuh Damar dengan kain hangat, Alya duduk di kursi kayu di samping ranjang. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya kekuningan yang jatuh ke wajah pucat suaminya.
“Tidurlah, Dam. Besok kita coba lagi latihannya,” ucap Alya lirih sambil merapikan selimut.
Damar tidak menjawab. Matanya kosong menatap langit-langit. Nafasnya berat, penuh sesal, seakan hidupnya sudah tidak punya arti. Alya tahu, perang sedang berlangsung di dalam hati lelaki itu antara menyerah pada takdir atau mencoba melawannya.
Alya berdiri, hendak mematikan lampu, ketika suara serak Damar terdengar.
Alya menoleh, menatap lurus ke arah suaminya. “Aku sudah menjawab itu berkali-kali, Dam. Kau bisa saja meragukan dirimu, tapi jangan pernah meragukan aku.”
Damar menutup mata, memilih diam. Malam itu mereka tertidur dengan hati masing-masing yang masih penuh luka.
***
Keesokan paginya, Alya sudah bangun sebelum matahari terbit. Ia menyiapkan sarapan, menata obat di meja, lalu membantu Damar bangun dari ranjang. Lelaki itu menolak.
“Aku tidak lapar,” katanya dingin.
“Kau harus makan untuk minum obat,” balas Alya singkat.
“Aku muak dengan semua ini, Ly! Kau tidak lelah?” Damar meninggikan suara.
Alya menghentikan tangannya, lalu menatapnya tegas. “Aku lelah, Dam. Sangat lelah. Tapi aku tetap di sini, bukan? Jadi jangan paksa aku mendengar alasanmu untuk menyerah.”
Keheningan menyelimuti kamar. Damar akhirnya menunduk. Ia tahu, istrinya tidak akan mengasihaninya. Dan mungkin, itu satu-satunya alasan kenapa ia masih berusaha.
Hari-hari setelahnya penuh dengan rutinitas melelahkan. Alya membimbing Damar melakukan latihan sederhana: menggerakkan jari kaki, mencoba mengangkat paha, hingga belajar duduk tegak tanpa bantuan.
Setiap usaha selalu diiringi keluhan.
Meski bibirnya sering mengeluh, tubuh Damar tetap bergerak mengikuti instruksi. Alya tidak membiarkan kelemahan menguasai mereka. Ia tahu, menyerah berarti mengubur seluruh harapan.
Malam-malam mereka pun berbeda. Alya duduk di meja kecil, menulis catatan kemajuan Damar.
Hari ini bisa angkat kaki 5 detik… hari ini berdiri dengan penopang 10 langkah… Catatan itu menjadi pengingat bahwa sekecil apapun hasilnya, mereka tetap bergerak maju.
***
Suatu malam, Damar terbangun dengan napas memburu. Alya yang tidur di kursi segera menghampiri.
Damar mengusap wajahnya. “Kalau saja malam itu aku tidak ugal-ugalan di tol, semua ini tidak akan terjadi.”
Alya menatapnya, lalu berkata pelan tapi mantap, “Kalau saja aku tidak menikah denganmu, aku tidak akan ada di sini sekarang. Tapi aku memilih. Dan aku tidak menyesal.”
Damar tercekat. Kata-kata itu menghantam keras, membuatnya menahan tangis. Tapi ia tetap membalikkan badan, enggan menunjukkan kelemahannya.
***
Waktu berjalan. Tiga bulan berlalu sejak kecelakaan. Latihan yang berat perlahan membuahkan hasil. Kini Damar bisa menggerakkan kakinya, meski masih lemah. Dengan bantuan tongkat, ia sudah bisa berjalan beberapa langkah.
“Luar biasa, Pak Damar,” puji terapis suatu siang.
“Dengan latihan rutin, besar kemungkinan Anda bisa pulih hampir sepenuhnya," lanjut terapis.
Untuk pertama kalinya, Damar tertawa kecil. Matanya kembali berbinar. Alya ikut tersenyum, meski dalam hatinya masih ada rasa was-was.
Karena bersamaan dengan kesembuhan itu, ia melihat sesuatu berubah dalam diri suaminya. Damar mulai lebih sering berdiri di depan cermin, merapikan rambut, meminta parfum kesukaannya, bahkan sesekali bertanya tentang kabar teman-teman lamanya.
Itu pertanda baik, pikir Alya. Tapi ada tatapan dalam mata Damar yang membuatnya resah tatapan seorang lelaki yang mulai haus akan pengakuan lagi.
Malam itu, Alya sedang menyiapkan sup ketika Damar duduk di kursi makan dengan tongkat di sampingnya.
“Ly,” panggilnya.
“Ya?”
“Kalau aku sudah benar-benar sembuh… kau masih mau mengurusku seperti ini?”
Alya menghentikan adukan, menoleh, lalu menatapnya tajam. “Aku mengurusmu bukan karena kau lemah. Aku mengurusmu karena aku istrimu. Kalau kau sembuh, itu justru yang paling kuinginkan.”
Damar tersenyum samar, lalu menunduk. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Tapi Alya merasakan sesuatu yang ganjil di balik pertanyaan itu.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa badai besar justru akan datang ketika hujan mulai reda.
Malam itu rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Damar baru pulang lewat tengah malam. Lampu ruang tamu masih menyala, dan Alya sudah menunggunya di sofa dengan pakaian santai, secangkir teh hangat di atas meja.Begitu pintu terbuka, Damar langsung tertegun melihat istrinya masih terjaga. “Ly… kamu belum tidur?”Alya tersenyum samar. “Aku menunggumu Mas. Aku kira hari ini Mas pulang lebih cepat.”Damar meletakkan jasnya di gantungan, mencoba terlihat tenang. “Ada rapat mendadak, aku tidak bisa tinggalkan.”"Lagi-lagi alasan yang sama, setiap hari alsannya selalu sama ketika pulangtengah malam," batin Alya.Alya berdiri, berjalan mendekatinya. Aroma parfum asing yang beberapa hari terakhir mengusik indra penciumannya kembali tercium samar. Ia menghela napas pelan, menatap Damar dalam-dalam.“Mas, boleh aku bertanya sesuatu?” suaranya lembut, tapi tegas.“Tentu. Apa, Ly?”“Kalau aku bilang… aku mencium aroma berbeda darimu akhir-akhir ini, Mas akan jawab apa?”Damar tercekat. Senyum
Suasana kantor siang itu masih sibuk. Lobi dipenuhi pegawai yang lalu-lalang, beberapa membawa berkas, sebagian lain menunggu lift. Di antara keramaian itu, langkah Alya tetap anggun. Ia tidak tampak terburu-buru, tapi aura kehadirannya membuat beberapa pasang mata menoleh.Resepsionis yang sudah mengenalnya segera berdiri. “Selamat siang, Bu Alya.”“Selamat siang,” balas Alya dengan senyum tipis. “Saya ingin menemui Mas Damar. Dia sedang di ruangan, kan?”“Betul, Bu. Saya antar sampai lift," tawar resepsionis dengan sopan."Baiklah," ucap Alya yang tersenyum kepada resepsionis itu.Beberapa menit kemudian, Alya sudah berdiri di depan pintu kayu berpelitur gelap dengan plakat bertuliskan Damar Pratama – Direktur Utama. Ia mengetuk sekali, lalu mendorong pintu masuk tanpa menunggu jawaban.Damar mendongak dari balik tumpukan berkas. Saat melihat Alya yang masuk Damar merasa kaget bukan main melihat Alya berdiri di sana. “Ly? Apa yang… kamu lakukan di sini?”Alya menutup pintu perlahan,
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, membias hangat ke seluruh ruangan. Alya berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang tergerai lembut. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya penuh tekad. Semalam ia tidak banyak tidur, pikirannya terus bergulir, menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil. Dan pagi ini, keputusannya bulat, ia akan mendatangi kantor Damar, bukan lagi hanya menunggu cerita dari Nadia atau menebak-nebak, Alya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.Ia menyiapkan sarapan dengan rapi seperti biasa. Damar turun dari kamar, sudah rapi dengan kemeja kerja abu-abu yang dipadu jas gelap. Alya menaruh secangkir kopi hitam di depannya, senyum tipis tersungging di bibirnya.“Mas, jangan lupa pakai jaket. Cuaca agak sulit ditebak belakangan ini,” katanya lembut, seolah semua berjalan normal.Damar menatap sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Ly. Kamu jangan terlalu capek di rumah.”Percakapan berhenti di situ. Selebihnya hanya suara sendok beradu
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai kamar, menyentuh wajah Alya yang sudah bangun sejak subuh. Ia menatap sosok Damar suaminya yang masih terlelap. Sejenak ia teringat masa-masa ketika lelaki itu lumpuh dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Dulu, setiap pagi, ia yang menguatkan Damar, menyuapi, memijat, bahkan memandikannya. Kini, setelah sembuh, lelaki itu tampak gagah kembali, seakan semua luka masa lalu hilang.Namun Alya tahu, luka yang sesungguhnya bukan di tubuh, melainkan di hati.Dengan langkah pelan, ia meninggalkan kamar, menuju dapur, dan mulai menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang putih berpadu dengan wangi kopi hitam memenuhi udara. Alya menata meja dengan rapi, menyusun buah di piring kecil, dan meletakkan sendok-garpu sejajar. Tangannya begitu tenang, meski pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Tak lama, Damar keluar kamar dengan kemeja putih dan dasi yang baru ia pasang. “Wah, sarapan pagi ini kelihatan istimewa sekali,” kata Damar samb
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar, jatuh di dinding dengan lembut. Alya sudah bangun lebih awal, menata rambutnya rapi, lalu beranjak ke dapur. Bunyi sayuran yang ditumis dan aroma bawang putih memenuhi udara, menandai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah sejak dulu.Damar keluar kamar dengan kemeja biru muda, wajahnya segar. “Seperti biasa, kamu bangun duluan. Aku heran, kamu nggak pernah lelah ya, Ly?” tanyanya, mengambil tempat di meja makan.Alya hanya tersenyum tipis. “Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya ringan sambil menuang jus jeruk ke gelas.Mereka sarapan bersama. Damar sesekali menatap ponselnya, jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sesekali bibirnya membentuk senyum kecil, seolah membaca pesan yang menyenangkan. Alya memperhatikan gerakan itu dari ekor mata, lalu menunduk kembali pada piringnya. Ia tak bertanya apa-apa, hanya membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang daripada kata-kata.Setelah sarapan, Damar pamit dengan terge
Pagi itu udara masih sejuk. Aroma embun bercampur dengan bau tanah basah masuk lewat celah jendela. Alya membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat karena tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia sempat terbangun beberapa kali di tengah malam, memikirkan aroma asing yang semalam begitu mengganggunya.Ia menoleh ke samping. Damar masih terlelap. Wajah Damar tampak tenang, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Alya memandanginya lama, mencoba menemukan sesuatu di balik ketenangan itu. Tapi yang tampak hanyalah Damar yang sama lelaki yang pernah ia rawat dengan sepenuh hati ketika lumpuh dulu.Alya bangkit perlahan, menyingkap selimut, lalu berdiri di sisi ranjang. Matanya langsung jatuh pada kursi di dekat jendela, tempat kemeja abu-abu yang dipakai Damar semalam tergantung seadanya.Tangannya bergerak pelan, meraih kemeja itu. Ia mendekatkannya ke wajah, menarik napas panjang menghirup aroma parfum yang ada di kemeja Damar. Wangi itu masih ada. Lembut, floral, bercampur musk. Tida