Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaankuChapter I"Mulai hari ini aku talak kamu, dan terhitung mulai sekarang kau bukan istriku lagi!" suara lantang, tangan mengepal dan muka memerah saat suami tercintaku melontar kata talak untuk wanita yang sudah tiga tahun menemaninya."Tidak Mas, ini hanya salah paham harusnya kamu dengerin dulu penjelasan aku." berusaha meyakinkan Mas Reno, sembari memegang tangannya berharap dia mau mendengarkan penjelasanku."Cukup Rinjani, tak perlu kau menjelaskan apa-apa lagi. Apa yang ku lihat di restoran tadi sudah cukup jelas, kau berselingkuh di belakangku!" tanganku di sentak hingga terpental ke tempat tidur."Tega kamu, Mas!""Kau dan Ibumu ternyata sama, sama-sama tukang selingkuh." cecarnya."Hei, jaga ucapanmu Mas, urusan Ibuku itu bukan urusanmu!" hardikku.Dia berlalu keluar kamar dan pergi entah kemana.Aku membeku disudut ranjang, bulir- bulir bening mulai membasahi pipi. Suami yang aku cintai sekarang sudah menalak wanita yang katanya paling dia s
#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaankuCharter II***"Astagfirullah Mas, ini anakmu, Rinjani anakmu." rintih Ibu."Aku tak percaya omong kosong kau Ratih, bisa saja kau membohongiku lagi." serang Ayah.Ayah, jangan Ayah jangan. Jangan pukuli Ibu.. Ibuuuuu... Kriing... Kriing... Kriing...Jam weker berbunyi dengan sangat keras. Aku terjaga. Astagfirullah, lagi dan lagi aku bermimpi. Mimpi yang pernah nyata sebelumnya. Setelah menunaikan kewajiban Sholat Subuh, ku ambil gawai di atas nakas, menghabiskan waktu menunggu pagi menjelang. Banyak icon aplikasiku yang berwarna merah, tetapi mata ku tertuju pada icon amplop surat ada angka tiga berwarna merah, pertanda ada tiga pesan masuk. Ini sungguh hal yang tak biasa. [Hai Rinjani, selamat ya atas status jandamu. Saya bahagia melihat kau menderita] [Loh, kok pesanku tak dibalas? Hmm, pasti lagi nangis darah ya?][Hancurkan kau sekarang, Rinjani Haseena Putri! Hahahaha]Nomor yang tidak dikenal? Siapa lagi ini? Kenapa dia tahu kondisi ruma
Matahari Sabtu kali ini masih malu-malu memancarkan sinarnya. Walau sudah pukul 11.00 siang namun hawanya masih seperti pukul 07.00 pagi. Weekend pertama tanpa Mas Reno. Entah dimana dia, setiap detik rasanya masih memikirkan lelaki berhidung mancung itu.Hari ini malas sekali rasanya berkegiatan. Ku ambil gawai di atas nakas, yang dari semalam sepulang kerja tak kusentuh. Ku buka aplikasi icon berwarna hijau sambil berselonjoran di tempat tidur, banyak chat yang masuk mulai group SD, SMP, SMA, kuliah, sampai group kantor, dan ada beberapa chat pribadi. Tetapi, mata ku tertuju pada pesan dari sosok yang selalu dikangenin. Dia Reisya.[Rin, Sabtu ini ada acara nggak? Ketemuan yuk, mumpung aku lagi di Jakarta!] Duh Reisya, kok kamu selalu ada di saat yang tepat sih. Ku balas pesan darinya.[Haa! Lu di Jakarta? Oke, kita ketemunya di tempat biasa aja yah Rei, sekitaran pukul 14.00 aja ketemuannya][Iye, sampai ketemu nanti yah] balasnya lagiReisya adalah teman seperjuanganku sewaktu ma