Home / Rumah Tangga / Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku / Part 5. Siapa Perempuan Itu?

Share

Part 5. Siapa Perempuan Itu?

last update Last Updated: 2023-05-19 16:18:35

Kutarik nafas lalu dihembuskan perlahan, mengatur emosi yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Permasalahan yang ada harus diselesaikan satu per satu. Tak perlu lagi aku meratapi, tentang apa yang sudah terjadi. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Dan mungkin ini jalan terbaik. 

Mencoba ikhlas dan rela tentu takkan mudah. Tapi kalo menurut Yang Kuasa aku mampu menjalani, ya sudah berbesar hati saja. Aku kuat demi diri sendiri dan Ibu, itu saja saat ini.

Ku pandangi satu per satu foto yang berderet di atas nakas. Sungguh indah memang untuk dikenang, tak ada yang menyangka rumah tangga yang ku harap hanya sekali seumur hidup berakhir dengan persoalan yang menurutku itu konyol.

***

Malam harinya ku kemas satu per satu baju dan perlengkapan pribadi, rasanya semakin sesak jika aku tetap tinggal di rumah penuh kenangan ini. Sewaktu mau menutup pintu kamar. Tiba-tiba bell berbunyi, sembari ucapan salam dari luar.

"Assalamualaikum, Rinjani, buka pintunya!" suara yang tak asing lagi, dia mantan suamiku, Mas Reno.

"Waalaikumsalam." jawabku pelan sambil berjalan menuju pintu utama dan membukakan pintu, aku hanya diam membisu ketika pintu sudah terbuka. Tak ku hiraukan Mas Reno yang sudah berdiri di depan pintu.

"Mau kemana kamu malam-malam begini Rin, pake bawa koper segala?" sepertinya dia heran karena aku keluar membawa sebuah koper.

"Apa peduli mu, Mas. Bukankah aku bukan istrimu lagi." sungutku sembari tetap berjalan ke arah mobil.

"Hmm, atau kau mau kumpul keb* dengan selingkuhanmu itu? Iya. Wah, hebat-hebat." sindirnya sambil tepuk tangan.

"Jaga mulutmu ya, Mas!" aku berusaha mengontrol emosiku supaya tidak terpancing oleh ucapan Mas Reno.

"Benar-benar wanita jal*ng kau ya, Rinjani. Tidak salah kalau aku menalakmu. Dan kau wanita yang tak tahu diri." mulutnya semakin menjadi mencaci diriku.

"Terserah kata mu saja, Mas. Aku tak peduli." sambil mengangkat bahu dengan nada datar ku balas caciannya, buat apa juga meladani toh tidak merubah semuanya.

"Kau persis sama dengan Ibumu wanita jal*ng." teriaknya.

Kali ini tak bisa lagi ku redam emosi yang tertahan sejak tadi. Ku menoleh tajam ke arahnya, "lancang sekali mulutmu Mas, jika kamu benci denganku tak usah membawa nama Ibu dalam masalah kita. Aku tak mengapa dicampakkan begini, asal jangan Ibuku yang kamu hina." cecarku, ingin rasanya menampar mulut tak bermoral itu tapi aku tak ingin menodai tangan ini hanya demi laki-laki macam dia.

Ku banting pintu mobil dengan keras, biar dia tahu betapa murkanya aku dengan ucapannya yang tak bermoral itu. Apa ini sikap aslinya? Berani lancang kamu sama Ibuku. Laju mobilku tak stabil, emosi ku masih membludak, airmata juga masih mengucur dengan deras.

***

Mobilku terhenti di sebuah hotel kecil yang jaraknya lebih kurang satu jam dari rumahku. Cukuplah tempat ini menjadi penginapan ku beberapa hari kedepan. Setidaknya aku bisa beristirahat dengan tenang, tanpa ada bayang-bayang kenangan.

Berjalan menuju meja receptionist, tampak ada beberapa costumer penghuni hotel. Tapi, ada yang mengganggu pandanganku. Terlihat ada Rinata dan seorang teman perempuannya, tetapi sepertinya Rinata tidak melihat aku yang sedang berjalan menuju meja receptionist.

Ku tutupi setengah muka ini dengan cardigan yang daritadi terikat di bahuku, berharap Rinata tidak mengenali sosokku.

Lalu siapa perempuan yang bersama Rinata? Apa yang mereka lalukan di hotel malam-malam begini? 

Ah, sudahlah tak perlu ku hiraukan keberadaan Rinata dan temannya itu. Mending aku check-in dulu daripada keburu penuh kamar hotelnya. Di maklumin saja, hotel yang ku singgahi ini termasuk terfavorit, walaupun hanya bintang empat. Tetapi, posisi hotel yang strategis membuatnya banyak diminati.

Belum lagi hotel ini sering dipakai untuk acara-acara besar, salah satunya symposium acara kedokteran. Otomatis para peserta juga banyak menginap di sini.

"Mba, aku mau check-in selama seminggu atas nama Rinjani Haseena Putri." ucapku kepada petugas receptionist dia seorang wanita berparas ayu, dilihat dari pin yang melekat dibajunya, dia bernama Wandini.

"Baik Bu, Ibu mau bednya yang mana? Single atau yang big Bu?" tanyanya ramah.

"Yang besar aja, terus saya mau kamar yang viewnya pemandangan kota ini ya."

"Baik Bu, ini Bu kunci kamarnya, ada yang bisa dibantu lagi Bu?" serayanya sambil menawarkan bantuan.

"Oh, tidak terima kasih." kurapikan KTP lalu mengambil kunci kamar yang mirip seperti kartu ATM, dan berjalan menuju lift.

Sambil berjalan menuju lift, ku putar bola mata ke arah dimana Rinata dan teman perempuannya yang duduk di sofa tamu paling pojok, alangkah terkejutnya aku melihat Mas Reno duduk di antara mereka.

Ku tutup lagi setengah wajah ini dengan cardigan, lalu  berdiri di dekat tonggak sambil menguntit mereka bertiga. Lebih baik aku mencari tahu apa yang dilakukan Mas Reno di sini.

Aku yang berdiri di dekat tonggak sambil menjulurkan kepala sedikit, berharap ada informasi yang aku dapatkan dari menguntit mereka. Tiba-tiba ada yang memukul pundak ku, ketika menoleh.

"Mba, permisi anda ngapain ya berdiri di dekat tonggak dengan seperti ini?" tanya seorang satpam hotel.

"Eh, ti-tidak ngapa-ngapain Pak." agak gugup aku menjawabnya karena jantungku yang berdebar kencang melihat sosok mantan suamiku ada bersama sekretaris pribadiku sendiri.

"Sikap anda sedikit mencurigakan Bu, jangan sampai anda membuat masalah di hotel ini!" pungkasnya dengan suara agak lantang.

"Siapa juga yang bikin masalah, Pak? Apa salah, saya berdiri di dekat tonggak seperti ini?" aku berusaha membela diri supaya si satpam tidak menaruh curiga.

"Gelagat Ibu saya lihat seperti lagi membuntuti seseorang? Lebih baik Ibu pergi dari sini atau akan saya bawa ke posko satpam!" kali ini aku tak bisa lagi membela diri daripada mengundang perhatian banyak orang terlebih lagi kalau Mas Reno dan Rinata tahu keberadaanku, kuputuskan untuk pergi.

Kutarik kasar koper yang berada di samping, sambil berdengus ke satpam yang masih berdiri mematung. Aku pikir dia akan meninggalkan ku, rupanya malah dia masih berdiri tegak menunggu kepergianku dari tempat itu.

Aku yang tergesa-gesa masuk ke dalam lift karena takut Mas Reno dan Rinata tahu kalau aku berada di hotel yang sama dengan mereka. Ketika pintu lift terbuka, aku juga gegabah langsung masuk tanpa memerhatikan keadaan sekitar.

"Duh, hati-hati dong Mba." laki-laki bersuara oktaf itu mengagetkanku.

"Ma-maaf Pak, saya lagi buru-buru soalnya." aku membela diri supaya lelaki yang tertabrak oleh ku tak marah.

Aku menabrak seorang laki-laki bertubuh ideal, saat mau masuk lift. Sedangkan posisinya laki-laki itu ada di depan ku. Di dalam lift hanya ada aku dan laki-laki berkulit putih kebule-bulean itu. Betapa malunya aku, bisa gegabah seperti ini.

Duh Rinjani sabar, tak perlu tergesa seperti ini. Melihat sosok Mas Reno dengan Rinata membuyarkan semuanya. Malah menabrak orang yang tidak di kenal, syukur-syukur wanita, ini malah seorang laki-laki yang ku tabrak.

Keluar dari lift dengan tergesa-gesa kali ini bukan karena takut kelihatan oleh Mas Reno dan Rinata lagi tetapi karena malu telah menabrak orang lain dan sepanjang jalan menuju kamar, bathin ku masih bertanya-tanya apa yang dilakukan Mas Reno dengan Rinata di hotel ini? Lalu perempuan yang bersama mereka itu siapa?

Emosi ku yang masih naik turun serta fokus ku yang berantakan membuat pintu kamar tidak terbuka-buka. Padahal berulang kali aku tempelkan kartu check-in tetapi tetap saja tidak terbuka pintu kamarnya.

"Mba, kartunya terbalik."

Ketika ku menoleh ke samping kanan, ternyata lelaki yang aku tabrak di lift tadi, ya ampun raut wajahku seakan memerah dibuatnya, malu lebih tepatnya. "Eh, iya Pak. Makasih banyak." ucapku, pintu kamar terbuka, lalu buru-buru masuk sebelum lelaki itu tahu betapa malunya aku atas kejadian tadi.

Meletakan koper dan tas pribadi, lalu menuju lobi. Berharap masih kutemukan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
seharusnya qm cari tahu Rinjani sapa tau tuh Reno yg selingkuh tuh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku   Mau Miskin ataupun Bahagia, Aku Pilih Jalan Sendiri!

    Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham

  • Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku   Diberi Nama Argantara

    Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b

  • Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku   Arumi Dibawa Pergi

    Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit

  • Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku   Sepucuk Amplop Putih

    Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima

  • Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku   Apa Hanya Sekedar Ancaman?

    Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s

  • Pengkhianatanmu Awal Kebahagiaanku   Debat-debat Apaan Itu di Lantai 2

    Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status