Share

Part 8. Ranjang Berdampingan

Urusan dengan Pak Harjoko nanti saja ku pikirkan. Pasti nanti dia akan bertanya kenapa Rinata juga ikut dalam perjalanan dinas kali ini. Sekarang biar ku booking tiket buat sekretaris polos ku itu, nggak apa-apa kalau harus mengeluarkan uang pribadi, yang penting aku bisa mencari tahu tentangnya.

***

Dalam perjalanan menuju bandara aku hanya diam membisu, terasa berat mulut ku berbicara dengan dia. Rinata pun entah mengapa juga tak mengeluarkan suaranya. Hmm, mungkin masih merasa kesal dengan ku.

Dan benar saja dugaan ku, Pak Bos terkejut dengan ada Rinata di samping ku. Pak Harjoko sudah lebih dahulu keluar dari kantor. Mungkin ada keperluan lain.

"Lho Rin, Rinata i...." Pak Harjoko melihat ke arah ku dan Rinata secara bergantian.

"Yuk kita check-in Pak, nanti keburu antri lama." dengan sigap aku memotong ucapan Pak Harjoko, supaya Rinata tidak menaruh curiga terhadap ku.

Untung saja Pak Harjoko, tidak meneruskan pertanyaanya lagi. Kali ini, Pak Bos bisa diajak berkompromi. Padahal aku dengan dia sering beradu pendapat. Rinata hanya mematung tidak banyak berbicara saat berada di dekat Pak Harjoko, mungkin ada rasa segan.

***

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam. Akhirnya kami sampai di hotel penginapan. Aku pun langsung menuju meja receptionist untuk membooking kamar. Setelah memesan dua kamar dan semuanya beres akupun langsung menghampiri Pak Harjoko dan Rinata yang duduk di kursi tamu lobi hotel.

"Pak, ini kunci kamarnya." ucapku sembari menyodorkan kunci kamar yang persis berbentuk kartu ATM itu.

"Kamu sekamar denganku ya Rinata, aku hanya memesan dua kamar." 

Kali ini ku lihat muka polosnya semakin memerah, mau melampiaskan emosi juga tidak bisa. Terpaksa dia manut saja dengan apa yang ku perintahkan.

Nanti di kamar aku akan melanjutkan aksi ku terhadapnya lagi.

***

Sesampainya di kamar kami pun meletakkan koper masing-masing. Aku sibuk dengan aktifitas ku begitu juga dengan Rinata. Kali ini aku minta single bed dua buah. Tak sudi jika tidur dalam satu ranjang yang sama dengan wanita polos ini. 

Entah apa yang pantas aku sebut nama untuknya. Aku juga tidak tahu siapa yang memulai duluan di antara Mas Reno dan Rinata.

"Rin, kamu nggak apa-apa kan saya ajak kerja dinas seminggu ke luar kota gini." basa basi ku untuk menjalankan rencana selanjutnya.

"Rinata yang masih sibuk memindahkan perlengkapan dari koper ke lemari pun menyangkut pertanyaan ku, "tidak apa-apa Bu, lagian namanya juga berusaha profesional Bu." sahutnya.

"Iya, maksud saya apa pacar kamu engga keberatan di tinggal selama seminggu?"

"Hok, hok, ah apa Bu? Pacar? Saya tidak punya pacar Bu." elaknya, kulihat dia masih sibuk menata perlengkapan pribadinya. Mungkin menghilangkan rasa ketakutan atau supaya aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi Rinata memunggungi ku.

"Lho kok kamu tiba-tiba batuk gitu Ta? Jujur saja, masa iya perempuan secantik kamu tidak punya pacar" ejekku, rasa mau muntah ketika menyebut dirinya wanita cantik.

Sebenarnya dia memang cantik, apalagi wajahnya yang terkesan ayu. Tapi sejak mengetahui apa yang dia lakukan dengan Mas Reno rasanya tadi sudi memuji dia setinggi langit.

"Iya, Bu. Saya tidak punya pacar, jangankan pacar, dekat dengan lelaki pun saya engga Bu." benar-benar hebat dia bersandiwara.

Lalu dia pun meninggalkan ku, membuka pintu kamar mandi dengan menenteng sebuah handuk. Mungkin mau mandi atau sekedar bersih-bersih. Aku juga tidak peduli dengan apa yang dia lakukan.

Ranjang ku dengan ranjang Rinata letaknya berdampingan. Mata ku tertuju pada gawainya, terletak manis di atas ranjang. Aku berjalan perlahan, mencoba mendekati ponsel pipih milik sekretaris pribadi ku itu. Mana tauan ada informasi yang bisa kudapatkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status