Share

Part 7. Harus Ikut!

Senin yang begitu cerah, matahari pun menjadi saksi betapa bagusnya cuaca hari ini. Berjalan menuju lobi kantor, kali ini aku agak berenergi untuk memasuki gedung yang terdiri dari dua puluh lantai ini, aura yang kurasakan sudah membaik dari beberapa hari belakangan.

"Pagi, Bu" sapa seorang satpam bernama Pak Wawan, kita saling berpas-pasan di lobi kantor. Aku sambut hangat sapaannya.

"Pagi juga Pak Wawan, semangat bekerja ya." balasku dengan sedikit senyuman, Pak Wawan pun membalasnya dengan sikap hormat grak.

Agak lucu memang, dia memang terkenal satpam humoris di antara satpam-satpam lainnya. Dan juga, dia mengabdi di perusahaan ini sudah lebih dari 15 tahun lamanya. Bukan waktu yang sebentar pastinya.

Memberikan senyum dan sapaan yang hangat untuk karyawan lain. Hal ini sudah biasa aku lakukan sejak bergabung di kantor ini. Bagi ku pribadi tidak ada perbedaan strata apalagi jabatan karena di sini kita sama-sama mencari rezeki selagi itu halal.

Ketika pintu lift mau tertutup, tiba-tiba Rinata datang.

"Bu, Bu, tunggu aku." celetuk Rinata sambil mendorong pintu lift.

Aku yang berdiri di dalam lift agak heran melihat tingkahnya. Mengapa juga mesti tergesa-gesa, lagian lift di kantor ini nggak cuma satu, masih ada beberapa lift lagi. Ku lihat arloji yang melingkar di tangan sebelah kiri juga masih menunjukkan pukul 07.00 pagi.

Aku pun memencet tombol supaya pintu lift tidak jadi tertutup, lalu Rinata pun masuk dengan nafas tersengah-sengah. Di dalam lift penghuninya cukup padat, posisi berdiri ku pun dipisahkan tiga orang dari Rinata. Satu per satu karyawan yang cukup padat di dalam lift mulai keluar sesuai dengan lantai yang mereka tuju. 

Dan ketika karyawan keluar lift di lantai 5, hanya aku dan Rinata yang masih berada di dalam lift. Dia pun menyapa.

"Pagi Bu." ucapnya sambil tersenyum tipis ke arah ku.

"Pagi juga." ku sahut dengan nada santai. Padahal jauh di lubuk hati ini sangat geram terhadapnya. Wanita yang ku anggap polos selama ini berani menikamku dari belakang.

***

"Selamat siang Bu." ucapnya sambil membuka pintu

"Siang juga. Silakan masuk dan silakan duduk." dia mengikuti sesuai perintahku.

"Baik, Bu." jawabnya lembut.

"Oke, sekarang silakan kamu perkenalkan tentang dirimu serta kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki!" perintahku sambil melihat surat lamaran lengkap dengan berkas pendukungnya.

Siang itu adalah waktu pertama kali aku bertemu dengan Rinata. Wajahnya yang polos serta ayu, dilihat dari cara berpakaiannya yang sederhana, ternyata benar dia berasal dari keluarga sederhana juga, sama seperti ku. Aku saat itu sedang mencari karyawan dengan posisi sekretaris. Dari sekian banyak yang aku interview cuma srek dengan Rinata, nilai "jual" yang dia tunjukan saat interview 80% seperti kriteria yang aku cari.

Apalagi dengan umurnya yang masih terbilang muda, saat itu dia berusia 22 tahun. Yap, dia bergabung di perusahaan ketika aku sudah bergabung di sini selama dua tahun. Artinya, sebelum aku menikah dengan Mas Reno.

***

"Bu, Bu kita sudah sampai di lantai 12." Rinata menepuk pundak ku.

"Iya." jawabku pendek lalu melangkah menuju ruangan.

Ya ampun masih sempatnya aku melamunin dia di dalam lift. Tenang Rinjani, tenang. Rinata memang anak yang ku kenal baik selama ini. Dan akan ku cari tahu, kenapa, dan mengapa dia bisa menjalin hubungan dengan mantan suamiku.

***

Menjelang istirahat siang, telepon VoIP ku berbunyi.

"Halo Rinjani, kamu bisa ke ruangan saya!"

"Baik Pak, segera saya ke ruangan Bapak." ucapku sembari menutup gagang telepon.

Sekembalinya dari ruangan Pak Harjoko, aku langsung menelfon Rinata menggunakan telefon voip.

"Rinata, kamu ke ruangan saya sekarang."

Tak lama kemudian, Rinata pun mengetuk pintu ruangan ku.

"Ada apa ya Bu memanggil saya." tanyanya sembari mendekat ke arah ku.

"Tadi Pak Harjoko menyuruh aku dan kamu untuk ikut dengan dia ke Bali. Penerbangan malam ini, karena ada pekerjaan di sana selama seminggu. Eh iya satu lagi, tolong kamu lengkapi semua keperluan kantor baik dokumen atau pendukung lainnya untuk dibawa keluar kota. Nanti saya kirim listnya melalui pesan pribadi apa-apa saja yang mesti kamu siapkan." aku berusaha profesional, walaupun darah ini sudah memanas menembus jantung, inginku cecar dari A sampai Z.

"Haa, ke Bali Bu. Kok terkesan mendadak ya Bu." nampak sekali dari raut kecemasan dan tidak suka akan perintah ku kali ini.

"Iya, ini memang dadakan." jawabku singkat.

"Baik Bu, hmm, saya boleh izin di jam istirahat nanti Bu untuk mempersiapkan keperluan pribadi dulu." 

"Oh boleh, tapi jangan lama-lama. Sekitaran jam 2 siang kamu udah mesti berada di kantor lagi. Nanti kita berangkat ke bandaranya dari kantor saja."

Dia berlalu meninggalkan ruangan ku dengan wajah cemberut, terlihat sekali dia tidak begitu berkenan aku bawa untuk bertugas keluar kota. Sebenarnya, Pak Harjoko hanya berangkat berdua saja denganku. Ini salah satu trik jitu ku mencari tahu semuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status