POV Reno 1
***Sekali kekhilafan yang ku lakukan, membawa deras rasa bersalah ku terhadap Rinjani, istriku. Berkhianat di belakangnya, sejak dua tahun yang lalu. Aku tidak ingat kapan memulai hubungan secara serius dengan Rinata.***Meraih cinta Rinjani, sejujurnya begitu sulit kudapatkan. Masih ingat di benakku. Aku yang sedari kuliah sudah menaruh hati kepadanya. Sosoknya yang unik itu yang menjadi daya tarik untukku, ketika pertama kali bertemu di kampus.Apalagi fashionnya tidak seperti wanita kebanyakan, yang sibuk dengan printilan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gayanya yang sederhana itu semakin membuat rasa penasaran ku bertambah. Kehidupan ku dengan Rinjani sangat berbanding terbalik, sekalipun begitu aku tetap saja terpikat olehnya. Kita satu angkatan, satu jurusan, tetapi beda kelas. Pada semester kedua, aku sampe bela-belain pindah kelas, agar bisa sekelas dengan Rinjani. Dan, saat itu aku mulai berkenalan dengan perempuan bermata sipit itu.***Tiga tahun silam ... Banyak yang bilang, lelaki yang akan menikah sangat mudah tergoda wanita ting ting alias perawan. Awalnya aku tidak setuju dengan pernyataan seperti itu, karena menurutku jika seorang lelaki akan berkomitmen menikahi wanita yang dicintai pantang untuk menodai dan mengkhianati mahligai sakrar itu, pikirku.Tetapi semua sedikit goyah setelah bertemu dengan Rinata. Waktu itu, kami berpas-pasan di pintu ruang kerja Rinjani. Aku yang sedari terbiasa membuka pintu tanpa mengetuk dulu dan di waktu bersamaan Rinata juga membuka pintu. Hampir saja tubuh kami beradu. Mata ku sedikit terpana beberapa detik melihat parasnya yang ayu.Kita saling berpandangan, mungkin sekitar 10 detik. Sekejab aku mundur beberapa langkah, membiarkan Rinata keluar lebih dulu sebelum aku memasuki ruang kerja calon istriku. Aku hanya tersenyum tipis begitupun dengan Rinata dia juga membalasnya.Baru beberapa langkah masuk ruangan ya, sudah ku cecar Rinjani, ada rasa penasaran terlintas, "Yang, itu siapa?" tanyaku ke Rinjani yang sedang sibuk dengan layar komputernya."Itu siapa? Maksud kamu, Mas?" tanpa menoleh dia malah balik bertanya kepada ku sembari asyik memainkan keyboardnya."Itu perempuan yang keluar dari ruangan kamu barusan, Yang.""Oh, itu. Dia Rinata, sekretaris pribadi ku. Baru bergabung per hari ini.""Ooooooooo..., ciee... yang udah punya sekretaris nih sekarang." kucubit manja pipi wanita yang sebentar lagi akan menjadi istriku."Hmm, panjang kali nyebut Ooo nya? Kamu terkesima liatnya Mas? Spontan matanya yang tadi menatap layar komputer, beralih seketika ke arah ku. Kulihat dahi Rinjani mengernyit, seakan curiga dengan sikap ku."Ih, apa-apaan sih sayang, kamu ngaco deh. Yaudahlah nggak usah dibahas juga. Eh iya, tadi aku udah ketemu sama Pak Harjoko, katanya permohonan resign aku udah disetujui dan perbulan depan aku udah pindah sayang." kualihkan pembicaraan daripada menimbulkan tanda tanya bagi Rinjani.Aku pun heran kenapa ada rasa aneh ketika bertemu Rinata tadi. Apa ini hanya sekedar pangling saja. Lagian lelaki mana yang tidak terkesima dengan dia. Paras ayu, badannya yang sedikit mungil mungkin itu salah satu membuat lelaki sedikit gemes ketika bertemu Rinata."Yah, aku sedih sayang kita sekarang beda kantor." Rinjani berdiri dan langsung memeluk tubuhku yang mulai kekar ini, efek udah mulai rajin fitness akhir-akhir ini."Sabar yah, ini juga konsekuensi kita kerja di satu kantor yang sama. Kalau masih pacaran masih bisa lah Yang kita ngumpet-ngumpet. Tapi nanti kalau udah nikah mana bisa lagi Yang." ku elus punggung Rinjani."Awas ya kalau kamu berani bermain api di belakang ku, Mas. Jangan sampai kamu goda-goda teman wanita di tempat kerja kamu yang baru nanti." ujarnya sembari menyubit perutku yang mulai berbentuk six pax ini."Enggak mungkin aku khianati kamu, Sayang." makin ku peluk erat tubuh langsingnya itu.Resiko menikah jika satu tempat kerja, konsekuensinya harus resign salah satu. Sekalipun aku dan Rinjani berbeda dari segi divisi tetapi tetap saja pimpinan kami adalah Pak Harjoko, pimpinan tertinggi di perusahaan ini.Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu