Share

Bab 4 : Terluka

Kamu sedang tidak bercanda kan, Lara Angeswari?!"

"Apa aku kelihatan bercanda, Mas?"

"Tapi kenapa ... bukannya kita baik-baik saja?!"

Namun gadis itu tiba-tiba berbalik dan lari ke dalam rumahnya. Ditutupnya dengan cepat pintu jati itu, tetapi dengan sigap, Rey menghalang dengan kakinya.

Lara berlari, dengan gesit Rey menangkap lengan gadis itu, menahannya di antara ruang tamu berbatasan dengan ruang tengah.

"Ada apa, Mas butuh penjelasan."

Mereka berdiri berhadapan.

Rey mengangkat dagu itu perlahan.

"Jelaskan ada apa, Dek? Bukannya kita baik-baik saja? Kita akan menikah. Kenapa malah tiba-tiba kamu ingin mengakhiri hubungan kita, apa mas punya salah?

Lara menggeleng.

"Aku baru sadar, ternyata aku tidak pernah mencintaimu, Mas," ujar Lara sambil mengalihkan pandangannya dari netra kelam itu. Hidung mancung gadis itu kembang kempis, ada rasa yang ingin meledak dari dalam dirinya.

Untuk sesaat Rey terkejut. "Pandang aku kalo bicara." Menangkup wajah Lara, mengarahkan padanya, kedua mata itu bersirobok.

"Katakan kalo kamu tidak mencintai aku."

"Aku tidak mencintai kamu." tegas Lara dengan suara yang serak dan bergetar. Kedua bola matanya bergerak di antara kedua netra di depannya.

Rey menatap lekat kedua netra itu. Bulir bening dengan deras tiba-tiba meluncur di kedua pipi mulus itu, tanpa bisa dicegah lagi.

Perlahan lelaki yang memiliki senyum khasnya, menghapus jejak kristal yang masih mengalir. Direngkuhnya tubuh yang mulai berguncang karena gejolak yang berusaha ditahan. Ujung hidungnya memerah, juga dengan bibirnya yang basah mengkilat tertimpa cahaya lampu. Terlihat sangat menggoda di mata Rey.

"Kenapa yang aku lihat sebaliknya?" Kedua mata Rey menghujam pada manik indah di depan, tegas namun ada kelembutan di dalamnya. Kedua tangannya yang kokoh memegang kedua bahu gadis yang begitu dicintainya.

Lara memalingkan wajahnya tidak ingin manatap mata elang itu.

Namun Rey kembali menangkup wajah gadis itu lagi.

Dadanya bergemuruh saat Rey menatapnya, fokus.

"Kamu mengatakan tidak mencintai, tapi matamu menyimpan cinta yang begitu dalam. Ada apa?" Rey yang seorang jebolan Intel tentunya tidak bisa dibohongi begitu saja.

Matanya beralih pada bibir sensual gadis itu

Perlahan diusap dengan jarinya, mendekatkan wajahnya lalu mengulum benda kenyal itu penuh perasaan. Sesaat Lara terbuai, membalas dengan penuh kerinduan. Namun cepat-cepat didorongnya tubuh atletis itu.

Tetapi tangan yang kekar semakin erat menekan tengkuk Lara, melanjutkan aksinya.

Lara mendorong tubuh isetengah kuat, hingga menciptakan jarak di antara mereka.

Sesaat terdiam, menenangkan deru napas yang memburu.

"Katakan sejujurnya, ada apa, kita akan membuka lembaran baru."

"A-aku rasa ... aku tidak sanggup untuk menjadi istri seorang prajurit."

"Alasan macam apa itu? Apa kamu sedang mencari-cari alasan, berilah alasan yang tepat!"

"Aku tidak sanggup! Aku bukan salah satu dari perempuan-perempuan tangguh yang mendampingi prajurit negara. Aku bukan mereka! Aku tidak bisa seperti mereka, yang tetap kuat walaupun tidak bisa terlelap karena was-was memikirkan suaminya yang sedang berjuang bertaruh nyawa," pekik Lara. Bulir-bulir bening mengalir di pipi gadis cantik itu.

Hening.

"Tiga tahun cukup menjadi cerminan. Tiga tahun kehadiran, Mas, bisa dihitung dengan jari. Aku tidak sanggup, menjalani kehidupan seperti itu Mas. Mimpiku punya keluarga kecil yang bahagia. Memiliki suami yang selalu ada di sisiku tiap saat, bersama dengan anak-anak. Aku tidak bisa dapatkan itu semua dari Mas. Seharusnya dari awal aku tidak menjalani hubungan seperti ini."

Rey tertegun. Seperti tertampar, karena selama ini tidak menyadari ternyata wanita yang begitu dicintainya punya mimpi yang bertolak belakang dengan profesinya sebagai seorang prajurit.

Mimpi yang wajar, dan tidak muluk-muluk namun Rey tahu kalau dia tidak bisa mewujudkan mimpi sederhana itu. Apalagi tugasnya sebagai inteligen yang hampir seluruh waktunya tersita oleh misi-misi yang tidak menentu dan terjadwal.

Tugas seorang prajurit Intel yang mengabdikan hidup seutuhnya bagi negara. Yang mau tak mau, harus siap sedia tiap saat melaksakan tugasnya, apapun situasinya. Dia butuh pendamping hidup yang bisa menerima dan mendukung dia sepenuhnya, dalam tugasnya.

Lara mematung, tubuhnya terguncang menahan tangis. Ada perasaan tak rela dalam dirinya untuk mengakhiri hubungan mereka karena bagaimana pun dia masih sangat mencintai Rey dan mungkin selamanya.

Tubuhnya semakin terguncang menahan sesak. Lelaki itu mendekat lalu memeluk Lara. Tangisnya semakin pecah.

"Setahun lalu mas menghilang. Mas tidak tau betapa tersiksanya aku tiap saat. Walaupun aku tau mas sedang melaksanakan misi, tapi ... aku tetap tidak bisa tenang. Tiap saat mendengar berita prajurit yang tewas di tv nyawaku seperti tercabut. Aku kuatir mas kenapa-kenapa, pikiran-pikiran buruk selalu menghantuiku. Mas tidak tau betapa tersiksanya, aku." Suara Lara serak menahan tangis. Segukan yang berubah menjadi tangis yang menyayat.

Rey memeluknya semakin erat. Dia dapat memahami apa yang Lara rasakan, karena dia juga merasakan hal yang sama.

Terkadang di saat menghadapi keadaan yang mengancam nyawanya, terbayang orang-orang terkasihnya. Wajah mereka silih berganti. Dia takut jika terjadi sesuatu pada dirinya. Bukan takut menghadapi bahaya tapi takut meninggalkan kesedihan bagi orang-orang yang dikasihinya.

"Jika yang kamu pikirkan hanya hal-hal yang buruk, maka hal itu akan selalu mengganggu dirimu. Memang tugasku berbahaya, prajurit seperti kami kadang bisa tewas sewaktu-waktu dan nama kami lenyap begitu saja demi misi yang harus tetap dijaga. Namun segala hal yang terjadi percayalah ... itu semua atas kehendakNya." Rey mengusap air mata di pipi Lara penuh perasaan. Menariknya dalam rengkuhannya, disesapnya kembali bibir yang menggodanya sejak tadi, lama mereka saling meresapi melepas rindu.

"Aku sangat mencintaimu, bertahanlah ... Mas akan mengajarimu menghadapi ketakutanmu," bisik Rei dengan deru napas yang berat.

"Tapi aku tidak bisa memaksakan dirimu, jika kamu tidak bersedia menjadi istriku," tukas Rey.

Rasa ingin memiliki orang yang dicintainya begitu besar namun ada juga rasa takut meninggalkan kesedihan yang mendalam, jika suatu saat nanti terjadi sesuatu dengan dirinya. Tak terhitung berapa kali dia lolos dari maut, bisa saja suatu hari tidak. Dia dapat memahami jiwa Lara yang rapuh.

Lara menatap lelaki itu lekat. Ada kecewa yang terselip di hatinya. Memang dia yang menginginkan perpisahan itu, tapi begitu mudahnya Rey menyanggupinya. Sebagian hatinya terluka. 'Tidak bisakah kamu bersikeras, memaksaku melanjutkan ke pernikahan kita,' batin Lara. Entalah Lara bingung sendiri dengan perasaannya.

Rey meraih tangan Lara, lalu merentangkan jemarinya, kemudian disisipnya cincin yang tadi dikembalikan, ke jari manis Lara.

"Jujur aku tidak bisa mengakhiri hubungan ini, karna aku sangat mencintaimu tapi aku juga tidak bisa memaksa jika kamu ingin mengakhirinya. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik. Pakailah cincin ini, jika Mas masih tetap ada di hatimu, lepaskanlah jika memang Mas sudah tidak ada lagi di sana."

Kedua netra itu bertemu, saling memindai. Mata kelam lelaki dengan kekecewaan yang tersirat didalamnya. Ada bendungan yang siap jebol lagi di manik indah milik Lara.

"Kamu membuat keputusan yang tidak sejalan dengan hatimu, akan terasa sangat berat. Mas tau kamu sangat mencintai Mas, juga sebaliknya."

"Apakah kamu yakin jika kita berpisah kita akan baik-baik saja? Benar ini sudah menjadi keputusanmu, Dek?"

Rey menyodorkan tangannya di depan wajah Lara.

"Gigitlah!"

"Nnggh?" Lara mendongak dengan raut menyiratkan tanya, menatap netra kelam itu.

"Segala sesuatu ada konsekuensinya, Mas butuh kepastian. Jika itu keputusanmu Mas akan terima tapi tidak serta merta mengakhiri hubungan kita, Mas akan beri waktu untuk kamu, berpikirlah lebih dewasa lagi."

Rey semakin mengikis jarak di antara mereka "Apakah kamu sanggup jika suatu saat nanti melihat Mas dengan orang lain?"

Lara terpana, menatap dalam pada manik di depannya.

Memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya, menghalau bayangan perempuan lain yang akan ada di samping Rey nanti. Rey merengkuh tubuh ramping itu, memeluknya erat.

"Mas sangat mencintaimu, Mas juga tidak akan rela melihat orang lain di sampingmu."

"Gigitlah, tinggalkan bekas luka di situ. Kembalilah pada mas sebelum bekas lukanya benar-benar menghilang."

Lara menatap Rey ragu, sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki itu menaruh tangannya tepat di bibir Lara.

"Gigitlah!" suara Rey tegas memerintah seperti pada anak buahnya.

"Tinggalkan bekas yang mendalam biar waktumu untuk kembali pada Mas lebih lama, jika sampai bekas luka menghilang sebelum kamu kembali, kita benar-benar berakhir." Manik sendu itu fokus pada manik elang di depannya.

Lara bingung dengan perasaannya sendiri, dia menginginkan untuk berpisah tetapi sisi lain hatinya tak rela jika waktu untuknya kembali terlalu singkat.

Lara membuka mulutnya, hanya mengisap tangan Rey tanpa menggigitnya.

"Gigitlah sekuatnya, berikan waktu untuk kamu berpikir lebih lama, jika kamu menggigit sekedar saja maka secepatnya akan sembuh, bekasnya akan cepat menghilang."

Dengan sekuat tenaga Lara mengigit tangan itu, sekuat itu juga air mata yang mengalir. Lara mendongak menatap Rey namun tidak ada ekspresi apa-apa di sana. Tidak merasa sakit kah? Lara menghentikan gigitannya ketika terasa asin, lalu memandang tangan Rey yang berdarah. Sekali lagi menatap Rey namun seperti tadi, tidak ada ekspresi kesakitan di wajah itu.

Rey memindai bibir Lara yang berjejak cairan merah di bibir ranum itu, mendekat, memiringkan wajahnya lalu perlahan mengusap jejak itu dengan bibirnya, lidahnya menyapu bersih cairan merah tadi, lalu memagutnya. Melepas pagutan itu setelah dirasanya jejak tadi sudah menghilang.

Rey mengangkat tangan memperhatikan darah yang mengalir.

"Mas biar aku bersihkan, pasti sakit, maafkan aku." Rey menatap nanar wajah gadis di depannya lalu menggeleng. Ingin rasanya dia memeluk tubuh itu dan meminta untuk bertahan di sisinya, selamanya.

"Sakitnya tidak seberapa dengan sakit yang mas rasakan di sini," tunjuk Rey pada dadanya.

Degh!

Lara seperti dikembalikan pada dunia nyata, dia lupa kalo ada hati yang juga terluka dengan keputusannya. Dia hanya fokus untuk hatinya yang tak terima dengan keputusannya sendiri, antara logika dan hatinya tidak sinkron.

Komen (40)
goodnovel comment avatar
Dessy Chandra
sedih melanda
goodnovel comment avatar
Mood Die
keputusan yg sangat berat sedang difase ini jd sedih bacanya
goodnovel comment avatar
Vimi Kurnia
serba salah pissah lara masih mencintai rey klu diteruskan lara gk kuat LDR an dan jg hatinya gk bisa tenang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status