Malam itu, Carol kembali ke rumah keluarga Parker untuk meminta keadilan. Ia berharap keluarga besar Parker akan membelanya dari segala perlakuan Henry. Namun yang didapatkan adalah perlakuan yang sama. Ia diusir, seluruh barang-barangnya dibuang.
"Pergi kau dari rumah ini! Keluarga Parker tidak membutuhkan hama sepertimu di sini!" Nyonya Emma Welson berteriak keras hingga membuat seluruh pelayan di mansion mewah itu tersentak kaget. Carol yang baru saja pulang dari rumah sahabatnya terkejut, karena tiba-tiba ibu mertuanya itu memakai dirinya dengan kata-kata kotor. Sementara di sudut sana, Henry Parker suaminya hanya berdiam diri sambil meneguk minuman di gelas tinggi. Ia hanya tersenyum sinis melihat istrinya diperlakukan kasar oleh ibunya. "Apa maksud ibu? Apa salahku hingga harus diusir dari rumah ini?" Carol membela diri. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Ia berjalan mendekati ibu mertuanya untuk meminta penjelasan tapi tangannya yang hendak memegang lengan nyonya Emma langsung ditepis kasar oleh Lusy yang entah kapan berdiri di dekatnya. "Wanita kotor sepertimu tidak pantas berada di keluarga Parker yang damai. Kembalilah ke asalmu yang kumuh dan kotor," ujar Lusy mengejek Carol, mantan sahabat dekatnya. Carol mengerutkan dahinya. Lusy, wanita yang dulu pernah dibantunya bekerja di perusahaan Parker Group setelah diusir dari tempatnya bekerja kini berbalik memusuhinya. "Seharusnya kau yang pergi! Kau berasal dari tempat kotor dan hina. Berkacalah sebelum mulutmu berkata!" Carol mendorong Lusy hingga wanita itu hampir jatuh. Beruntung seorang pelayan berhasil memegang kedua tangannya. "Kau, jangan sentuh calon menantuku! Dia sedang hamil cucuku, calon pewaris keluarga Parker." Carol membelalakkan matanya. Bibirnya bergetar menggumam tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya. Ia menoleh ke arah suaminya yang masih duduk menikmati wine di dalam gelas. Carol merebut gelas itu lalu membantingnya ke atas meja. Henry sedikit terkejut namun berhasil merubah raut wajahnya kembali datar. "Kau mengetahuinya?" Henry mengangguk. Carol menganga tak percaya. Bagaimana bisa ia berselingkuh dengan wanita yang dulu pernah diselamatkan olehnya. "Kau berselingkuh di belakangku? Kau—" "Sudahlah, Carol. Kemasi barangmu, aku sudah menceraikanmu dan secara hukum kau bukanlah istriku lagi." Henry berdiri lalu melemparkan sebuah dokumen yang diberikan oleh asistennya pada Carol. "Pergilah, aku tak membutuhkanmu lagi." Carol membaca isi dokumen tersebut lalu merematnya. Hatinya sakit, seperti ditusuk beribu-ribu pisau. Selama satu tahun pernikahan ternyata ia telah dibohongi oleh keluarga Parker. Ia bodoh karena tak menyadarinya. Satu tahun yang lalu sebelum pernikahan, Henry Parker diberi kewenangan untuk mengelola perusahaan milik keluarga Dustin karena mereka tak memiliki pewaris selain Carol. Tuan Dustin telah memberikan kepercayaan pada pria itu hingga tak ragu memberikan semuanya tanpa kecuali. Kini, setelah ayahnya meninggal semuanya yang pernah menjadi milik Carol diambil tanpa sisa oleh Henry. Carol terhuyung. Air matanya jatuh di sudut matanya yang cantik. Tatapan nanar diberikannya pada Henry yang tersenyum tanpa dosa. Seolah apa yang diperbuatnya adalah sebuah hal yang biasa dilakukan. "Kau, mengambil seluruh milikku? Kau—" Carol menerjang tubuh Henry dengan menggunakan tangannya. Ia memukul wajah tampan itu hingga lebam. Kekuatannya tak main-main, ia berhasil membuat seorang Henry terjatuh di lantai. "Penjaga! Tarik wanita ini!" teriak nyonya Emma memanggil bodyguard yang masih berjaga di luar rumah. Dua orang bodyguard segera datang menarik tangan Carol lalu mengikatnya ke belakang. Ia memberontak dan memaki semua orang yang hanya diam menatap dirinya. Henry perlahan beranjak dari lantai sambil memegang rahangnya yang sedikit kebas. "Aku tak akan membalas pukulanmu karena kau seorang wanita. Kau sudah sepantasnya pergi dari rumah ini!" maki Henry. Carol tak takut, ia membusungkan dadanya menantang Henry. "Kembalikan perusahaan ayahku! Pengkhianat!" teriaknya. Henry tertawa keras. Ia menarik rambut Carol hingga kepalanya tertarik ke belakang, lalu berbisik di telinganya. "Ayahmu yang bodoh telah menyerahkan semuanya padaku. Masih untung aku memberikan adik tirimu pekerjaan di sana. Kau, membusuklah di tempat kumuh!" Henry melepas tarikan itu lalu mendorong tubuh Carol ke belakang. Rambutnya yang berantakan menutupi dahi wanita itu. Membuatnya tampak seperti pengemis di pinggir jalan. "Kau, pria sialan!" teriak Carol. "Katakan itu pada dirimu sendiri." Henry menyeringai. Tak lama kemudian, lima orang pelayan datang membawa lima koper pakaian milik Carol dan barang-barang pribadinya lalu menaruhnya di samping wanita itu. Henry mengusirnya. Pria itu menendang salah satu koper hingga membuat tubuh Carol terseret cukup jauh. Carol terjatuh dengan nyeri di pinggangnya karena menabrak dinding pembatas. Ia meringis memegangi pinggangnya yang mungkin saja telah lebam. "Pergilah dari rumah ini, Carol! Wanita kotor tak tahu diri!" Carol memejamkan matanya sejenak. Kepalanya terisi banyak peristiwa dan itu membuatnya pening. Tangisnya tak bisa berhenti, tapi ia bertekad akan membalas semua perlakuan keluarga Parker yang telah membuangnya. Ia pun bangkit perlahan sambil memegangi pinggangnya. Tangannya mengusap wajahnya yang berlumuran air mata. Tiga orang yang tadi menghardiknya hanya diam berdiri dengan tatapan jijik terarah pada Carol. Rambut yang berantakan, air mata yang terus meleleh di pipinya hingga pakaian yang kusut sudah menggambarkan betapa hancurnya Carol saat ini. "Aku selalu mengingat peristiwa ini sampai akhir hidupku. Aku akan membalas perbuatan kalian! Semoga kalian mendapatkan karmanya!" Carol pergi sambil menyeret kelima koper dengan dua tangannya. Ia berjalan kaki menyusuri jalan setapak halaman mansion mewah keluarga Parker. Tujuannya adalah rumah sederhana milik ibunya yang terletak di kaki bukit emerald. Ia harus menyusun rencana untuk besok. Perjalanan hidupnya masih panjang dan ia berjanji tak akan menyerah dengan mudah. 'Kukutuk kau keluarga Parker!'Seorang pria berdiri di tepi jembatan yang berseberangan dengan sebuah halte bus. Ia mengamati ujung jalan dekat perbatasan kota Amberfest dan Visoo. Halte itu sunyi, tak ada tanda-tanda satu orang pun mendekat. Berkali-kali ia mengubah posisi berdirinya. Kira-kira lima kali dalam satu menit. Matanya memicing saat melirik arlojinya. Sudah pukul sebelas malam dan ini telah lewat satu jam dari waktu perjanjian awal. Tangannya mengetuk pinggir jembatan melampiaskan kegelisahannya. Di kepalanya, ia sempat terpikir kalau dirinya akan gagal lagi kali ini. Tiba-tiba di kejauhan tepatnya di halte seberang, seseorang baru saja turun dari sebuah mobil sedan. Ia membuka kacamatanya mencari seseorang dan akhirnya mereka pun bertemu tatap satu detik. 'Apa orang itu? Bukankah ada dua orang.'Pria di pinggir jembatan berlari menghampiri si pria kacamata itu. Ia yakin kalau dia adalah orang suruhan Marco yang diperintahkan untuk menguntit Damian dan Erik. "Kau orangnya?" tanya si pria jembatan ya
"Kau mau ke mana?" tanya Carol. Alisnya mengerut bingung melihat suaminya tengah mencari kemeja dan jas hitam yang biasa dipakai olehnya. "Kau mau berkencan dengan seorang wanita?" Damian menoleh. Lirikan matanya membuat jantung Carol berdetak kencang. Pesona Damian memang sulit ditepis olehnya. "Aku dan Erik akan bertemu dengan nyonya Carmen dan nyonya Ferlestin untuk membicarakan kerja sama yang telah kita buat sebelumnya. Kau mau ikut?" tatapan mata Damian melembut. Carol terdiam sejenak tengah memilih apakah akan ikut atau tidak. Malam ini ia ingin bersantai bersama Damian, tapi tidak bisa. Lalu ia kembali berpikir, Damian dan Erik akan bertemu dengan dua orang wanita tanpa suami. Tiba-tiba saja di pikirannya bergelayut rasa cemburu pada dua wanita itu. 'Mereka pasti akan terpikat pada ketampanan Damian. Aku tak boleh membiarkannya.' "Aku ikut. Tunggu sebentar." Carol berlari masuk ke dalam kamarnya, membuat Damian terkekeh geli melihat tingkahnya. 'Dia seperti remaja yang te
Hari kedua rapat pemegang saham, Henry muncul sebagai pesaing dari pihak lawan Erik. Ia berdiri dengan gagah di depan layar monitor yang memunculkan namanya dan berbagai prestasi yang pernah diraihnya. Ia juga memberikan sedikit visi dan misinya jika terpilih sebagai pemimpin utama Harold Times secara terselubung di dalam presentasinya. Semua yang dipaparkannya, tak ubahnya seperti mendengar ocehan anak kecil saat akan tidur. "Dengan posisi sebagai pemilik saham terbesar ketiga, tentunya akan mudah bagi saya untuk menduduki kursi penting di Harold Times. Walau tanpa presentasi pun, itu seharusnya bisa menjadi milik saya. Bukan begitu tuan Erik yang terhormat?" sindir Henry lembut. "Anda pasti lupa satu hal, tuan Henry. Sebelum meninggal, ayahku memberikan hak untuk mengajukan diri sebagai pemimpin perusahaan walau tanpa kepemilikan saham. Ini didasarkan pada keinginan kakakku juga yang memilih tak ingin ikut campur dalam mengelola Harold Times," ujar Erik dengan wajah tenang. Wajah
Hari yang ditunggu telah tiba. Harold Times akan mengadakan rapat umum pemegang saham untuk menentukan arah kebijakan yang akan direncanakan untuk lima tahun ke depan. Erik, selaku pemimpin yang saat ini masih berdiri memegang tampuk kekuasaan menjabarkan segala rencananya dengan matang untuk lima tahun masa gemilang Harold Times ke depannya. Selain itu, ia juga memberikan laporan apa saja yang telah dirinya lakukan untuk menaikkan lagi reputasi Harold Times setelah sebelumnya hancur saat James Dustin wafat. Beruntung, saat itu Damian datang menolongnya hingga masalah Harold Times dapat teratasi dengan baik. Namun sayangnya, publik hanya mengetahui jika semuanya adalah berkat bantuan Henry Parker yang saat itu masih menjadi suami Carol Dustin. Rapat dibuka. Setelah beberapa kata sambutan diuraikan oleh sekretaris Erik, tiba-tiba saja ruangan menegang. Erik bisa melihat mata mereka menatap memburu pada dirinya sejak kedatangannya ke dalam ruangan. Seperti hewan buas yang tengah membi
Damian terdiam setelah mendengar semua pengakuan Erik yang baru dikatakannya siang ini. Ia hanya tersenyum lalu berjalan dan menepuk bahu Erik yang lemas. Damian jarang menunjukkan emosinya, cukup tenang dalam menghadapi masalah. "Kau tak usah pedulikan ketakutan itu. Bukannya, bukti itu sudah kau pegang?" Erik mengangguk. Adik iparnya itu masih diliputi kecemasan. Karirnya bisa tamat jika semua rahasia keluarga lamanya dibongkar. "Apa yang harus kulakukan?" Damian menekan tombol interkom lalu berkata, "Ken, kemarilah." Tak lama kemudian, Ken masuk ke dalam ruangan. Ia membungkuk penuh hormat pada Damian. "Ada yang bisa dibantu, Tuan Damian?" "Kau, selidiki apa yang terjadi di Harold Times. Kudengar, semua direksi berkomplot untuk menjegal Erik," perintah Damian."Saya sedang mencari tahu kemungkinan lainnya. Tuan Erik harap berhati-hati dalam perjalanan anda. Bukan tidak mungkin, ada yang berusaha menghilangkan nyawa anda juga," ujar Ken. Erik menegang. Astaga, masalahnya seru
Dua puluh tahun yang lalu, awal timbulnya dendam antara keluarga Easton dan Parker diawali dengan perebutan lahan mendirikan perusahaan baru. Easton yang dahulu terkenal dengan warisan tambang terbesar, tiba-tiba saja berniat untuk mendirikan perusahaan properti. Easton terdahulu mengatakan, hasil tambang yang diperoleh dari warisan bisa sewaktu-waktu hilang akibat alam dan mereka butuh usaha yang kuat untuk menguasai dunia bisnis di Amberfest. Lalu, David Easton yang kala itu baru ingin memulai bisnisnya di bidang properti mendapatkan angin segar dari ayahnya. Di saat bersamaan, keluarga Parker juga berkeinginan untuk mendirikan perusahaan properti yang sama dengan milik Easton. Dua tahun usaha berjalan, keluarga Parker mengalami kerugian cukup besar. Mereka menuding keluarga Easton telah menyabotase seluruh titik usaha mereka dengan memanfaatkan kepopuleran di masyarakat, mengingat keluarga Easton adalah penyumbang terbesar amal kota yang berlangsung puluhan tahun silam. Persainga