Carol berjalan terseok-seok menyusuri jalanan panjang menuju jalan raya menuju arah pusat kota Amberfest. Ia mengurungkan niatnya menginap di rumah peninggalan ibunya. Besok pagi, ia harus mencari pekerjaan untuk menopang kehidupannya.
Carol berdiri di tepi jalan besar, tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Seorang wanita membuka jendela kaca, menatap Carol dengan tatapan sinis. "Kau pengemis?" "Aku terlihat seperti pengemis?" Carol balik bertanya. Wajah Carol terlihat kusam mengerikan. Rambut acak-acakan, riasan wajah hancur, mata merah dan hidung yang berair. Mungkin karena itu, wanita asing itu bertanya padanya. "Kau sedang menunggu taksi?" wanita itu kembali bertanya. Carol mengangguk pelan. "Ah, kalau begitu ikutlah denganku sampai jalan raya menuju kota. Kudengar di sini sangat sulit mencari kendaraan." Carol masih terdiam di tempatnya. Ia masih mencerna ucapan wanita asing di depannya. Karena lama tak ada jawaban, wanita asing itu membuka pintu mobil lalu menarik Carol masuk. Ia juga memerintahkan supir taksi untuk memasukkan lima koper milik Carol ke bagasi. "Namamu siapa?" tanya Carol sebelum berangkat. Wanita itu tersenyum lebar lalu menepuk-nepuk bahu Carol. "Aku takut dengan orang asing." "Ah, namaku Anna. Aku tinggal di Amberfest seorang diri. Kebetulan aku lewat di tempat ini dan bertemu denganmu. Aku, hanya ingin menolongmu saja." "Terima kasih. Omong-omong, bagaimana kau tahu kalau aku sedang membutuhkan tumpangan? Dan, memang benar wajahku seperti pengemis?" Anna mengangguk. "Kau seperti pengemis. Aku yakin kau baru saja diusir." "Kau adalah cenayang." Perjalanan ternyata cukup jauh dan keduanya tiba di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Amberfest yang padat. Selama perjalanan Carol tertidur, ia cukup lelah untuk sekedar bercakap-cakap dengan Anna. Setelah tiba, Anna membangunkan Carol yang masih terlelap. Saat wanita itu bangun, matanya terbelalak. Pemandangan di sekelilingnya tampak asing. "Kita sampai," ujar Anna tenang. Ia menyuruh supir taksi menurunkan koper lalu mengajak Carol untuk turun. "Ini dimana?" Carol belum sepenuhnya sadar. Ia masih terbawa mimpi lelapnya tadi. "Ini rumahku, kau menginap saja di sini. Besok, kau bisa mencari tempat tinggal kalau kau mau," usul Anna yang turun lebih dulu dari taksi. Carol mengikutinya dari belakang. Carol menyeret masuk kopernya ke dalam rumah Anna yang sederhana. Rumah itu tampak sepi dari luar. Tak ada hiruk pikuk di dalamnya. Lampu depan belum dinyalakan dan saat mereka masuk, denting jam menyapa mereka dengan suaranya yang damai. "Tempat tinggal yang nyaman," gumam Carol. Carol mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ada dua lukisan yang terlihat usang saat membuka pintu depan. Anna ikut memandang ke arah lukisan itu. "Ah, itu lukisan kakek dan nenekku saat masih muda. Aku tinggal sendiri karena keluargaku telah tiada." "Maaf, aku—" "Kau boleh tinggal denganku selama mencari pekerjaan di sini. Ah, dulu kau bekerja sebagai apa? Mungkin aku bisa bantu carikan." Anna terlihat begitu tulus saat menawarkan bantuan. Tadinya Carol berpikir jika dirinya adalah orang jahat tapi ternyata tidak. Carol menghela napas kasarnya. "Konsultan bisnis di Deluxe Corp, anak perusahaan Parker Group. Aku dipecat setelah pulang ke rumah dan—" Carol menarik napas panjang lalu menghelanya. Sementara Anna mengerutkan dahinya bingung. "—diceraikan." "Tepat sekali dugaanku. Kau punya masalah pribadi yang cukup pelik. Tidurlah di sini, besok aku bantu cari pekerjaan di sebuah restoran untuk sementara." "Kau mau membantuku?" Anna mengangguk membuat Carol tersenyum. "Terima kasih." "Aku hanya bisa membantumu di restoran ayam. Selanjutnya, kau bisa cari penggantinya jika keberatan." "Tidak, aku butuh uang untuk kebutuhanku. Jadi, tak mengapa jadi pelayan." "Baiklah. Tidurlah, besok aku bangunkan pagi hari." *** Keesokan harinya, Carol melamar kerja di sebuah restoran ayam yang terkenal di pinggiran kota Amberfest sebagai seorang pelayan. Pendidikannya yang tinggi ternyata harus kalah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh keluarga Parker. Setelah diceraikan dan diusir, ia juga dipecat dari pekerjaannya. Bahkan, namanya diblacklist dari seluruh perusahaan besar di negara ini. Saat jam istirahat, Carol menyempatkan diri membuka email lowongan pekerjaan yang dikirimkannya ke beberapa perusahaan terkenal. Lagi-lagi ia menghela napas kasarnya kala mendapati penolakan dari perusahaan itu. Padahal, ia sangat mengenal pemimpin perusahaan mereka. Bahkan pernah bertemu dengannya berkali-kali. "Kenapa mereka sombong sekali? Apa mereka pikir aku penipu?" umpat Carol mendesis kesal. Carol memasukkan lagi ponselnya ke dalam loker lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Lantai satu restoran telah penuh dengan pelanggan. Suara anak kecil dan tumpukan piring sudah menantinya sejak ia keluar dari ruangan istirahat. Carol menarik napas sejenak, ketegangan mulai terasa dari ujung rambutnya. Keringat dingin pun mulai menetes dari ujung dahinya. Semua tidak ada yang tahu jika dirinya memiliki gangguan kecemasan yang cukup tinggi. "Carol, tolong bersihkan meja nomor lima!" teriak Dania dari seberang meja. Carol mengangguk berjalan menuju meja nomor lima. "Ternyata, ini pekerjaanmu sekarang?" Carol menoleh ke belakang merasa familiar dengan suara yang tadi menyapanya. "Pelayan restoran ayam? Wow, sungguh kejatuhan yang luar biasa." 'Sial!' Carol membersihkan meja tersebut lalu mengambil buku menu untuk mereka tanpa senyum dan basa-basi. Hingga lima menit berlalu, tak ada juga yang dipesannya, membuat Carol mendengus kesal. "Kami tak jadi memesan. Sayang, kita pulang." wanita yang dikenalnya itu membuang buku menu tepat di depan Carol. Membuat wanita itu menggeram marah. "Kau! Tidak punya sopan santun!" teriak Carol yang sialnya diketahui oleh manajer restoran. "Oh, maaf." "Carol, kau dipecat!"Damian meluangkan waktunya hari ini untuk datang ke Genius Groups atas permintaan Pascal yang menginginkan dirinya hadir. Malam ini, akan ada pesta perpisahan resmi Damian yang akan melanjutkan pekerjaannya sebagai dewan direksi di Harold Times. Hadir juga para petinggi Genius Groups yang sering ditemui oleh Damian. Mereka terlihat kehilangan sosok pria tampan itu karena telah lebih dari lima tahun dipimpin olehnya. Saat Damian masuk ke dalam ruang pertemuan, dirinya telah disambut meriah oleh para karyawan lamanya. Ada Darren dan Marco yang turut hadir sesuai undangan dari Pascal. Mata Damian dan Marco bertemu. Marco sempat ketakutan dan akhirnya berhasil menghindari tatapan mata elang itu. "Semuanya, kita kedatangan tuan Damian Easton yang kini sibuk di tempat barunya. Kita ucapkan selamat datang pada tuan Damian," sambut Pascal dengan wajah cerianya. Damian berdiri mengucapkan salam sejenak lalu kembali duduk. "Acara hari ini adalah acara pelepasan tuan Damian ke tempat barunya
Damian mengangkat ujung bibirnya hingga membuat lengkungan tinggi. Senyum mengejek setelah mendengar rekaman suara yang baru saja diperdengarkan oleh Ken padanya. Tiba-tiba ia mendorong kursi lalu menaikkan salah satu kakinya. "Menurutmu, itu projek apa?" tanya Damian pada Ken. "Apa saja yang sedang dikerjakan oleh Pascal?" "Menurut informasi dari sekretaris beliau, saat ini tuan Pascal belum mengerjakan projek baru. Beliau masih melanjutkan semua projek lama peninggalan tuan Damian," jawab Ken yang dibalas anggukan oleh Damian. "Pasti setelah ini Rose akan menghubungi Pascal. Dia akan menggunakan nama kakaknya untuk menjeratnya lalu menjebak perusahaanku." Damian berdiri dari kursinya. Wajahnya sangat lelah. Saat melirik arloji di tangannya, ia terkejut. Rupanya, hari sudah hampir malam. "Apakah nyonya telah tiba di rumah?" tanya Damian sambil berjalan merapikan mejanya. Ia tengah bersiap-siap untuk pulang. "Sudah. Tuan akan pulang?" "Uhm. Kau antar aku pulang, lalu kau boleh
Henry masuk ke tempat yang ditunjukkan Rose dalam pesan singkatnya di ponsel. Sebuah kamar pribadi dengan tingkat keamanan yang cukup tinggi. Ruang yang dipesan oleh Rose adalah ruangan kedap suara terbaik di seluruh tempat di Amberfest. Untuk pertemuan bisnis yang cukup rahasia, tempat itu mulai dipertimbangkan oleh Henry kelak jika ingin bertemu dengan seseorang. "Kau sudah lama menunggu?" Henry masuk lalu menutup pintu ruangan khusus itu. Rose yang telah sampai lebih dulu, duduk menyilangkan kaki sambil memanggang daging di atas tungku arang. "Duduklah dulu, Henry. Hari ini kita akan membicarakan tentang sesuatu yang menarik." Rose mengangkat gelas kecil berisi minuman berwarna putih kehijauan. Henry pun sama. Keduanya menenggak minuman itu hingga tandas. "Aku ingin tahu apa yang ingin kau bicarakan. Apa ini tentang rencana kita untuk..." "Kau mengenal Pascal? Salah satu sepupu jauh Damian yang masih berada di pohon keluarga Easton," tanya Rose yang membuat Henry mengerutkan da
Carol mengerutkan dahinya. Sekilas tatapannya mengarah pada satu sosok pria yang sedang duduk di depan sebuah kafe dalam gedung kantor. Sosok itu sekilas mirip mantan suaminya jika melihat dari bentuk punggungnya. Carol menaikkan bahunya menganggap tak pernah melihat sosok itu lalu kembali berjalan lurus menuju lift khusus. Saat ia berjalan, sosok itu menoleh. Tepat pada langkah ketiga, Carol ikut menoleh dan kedua mata mereka pun beradu pandang. Namun dalam hitungan dua detik, Carol membalikkan pandangannya tak ingin menatap Henry yang kini terus memandanginya. 'Aku membencinya.' Sesampainya di lantai atas, suasana hati Carol sangatlah buruk. Matanya masih terngiang-ngiang wajah menyebalkan yang dulu pernah hadir di hidupnya. Entah mengapa tiba-tiba saja trauma menyakitkan itu datang lagi menyerbu kepalanya. Tubuh Carol mulai limbung. Kepalanya pusing hingga membuatnya ingin pingsan. Beruntung dia pengawal yang berada di sampingnya dengan cepat memegangi tubuh bagian belakangnya
Mata kelam Henry menatap tajam ke arah ruangan kaca yang terletak pada ujung lorong dekat pintu masuk. Lorong yang paling ditakutin oleh para pekerja terutama para manajer dan pemimpin divisi. Ruangan itu milik tuan Dustin lima tahun lalu, sekarang disulap menjadi milik Damian. Tatapan tajam itu menyiratkan sebuah kebencian dan dendam yang mendalam pada sosok yang tengah duduk menyandarkan kepalanya di kursi kebesarannya. Terlihat anggun dan kharismatik tapi juga terselip kesan membunuh di setiap tatapannya. Henry berhenti sejenak lalu menghela napas kesalnya. Kebodohan macam apa yang membuatnya terpuruk hingga harus kehilangan kesempatan mendapatkan kursi panas yang kini ditempati oleh Damian. Damian diam-diam melirik dari ujung matanya lalu tersenyum sadis. Henry yang tak menyadarinya segera beranjak dari tempatnya berdiri menuju ruangannya yang letaknya tak terlalu jauh dari ruangan Damian. Hari ini, ia hanya sebentar saja datang ke Harold Times. Ada sesuatu yang harus diurusny
Hari pertama Damian bekerja penuh di Harold Times hanya membahas mengenai perkembangan projek yang tengah dihadapi oleh kantor berita terbesar di Amberfest. Hanya projek biasa dan itu telah membuat Damian bosan. Sebelumnya, ia sering membahas berbagai projek besar yang sangat sulit. Ia berpikir, tak ada tantangan baginya di sini. "Bagaimana jika kalian memikirkan kembali tentang program talk show yang pernah berjalan lima tahun lalu. Aku pernah melihat program itu cukup banyak menarik audiens. Entah mengapa program itu berhenti tiba-tiba." tatapan mata Damian begitu dingin menyapu ke seluruh ruangan pertemuan di lantai sepuluh. Ada aura mencekam setiap kali Damian berbicara dengan tegas. Para manajer dan pemegang program acara yang duduk di dalam ruangan saling melirik satu sama lain. Mereka berbisik pelan lalu menunduk menuliskan sesuatu di komputer kerjanya. "Saya ingin proposal acara itu. Tuan Erik, ada tambahan? Sebenarnya, tidak seharusnya hari ini saya berada di sini. Namun t