Share

2. Menyebalkan

“Apa mukamu itu tidak bisa tersenyum? Paling tidak lebih ramah sedikit. Mukamu itu menyebalkan, tahu tidak?” gerutu Shena dengan kesal melihat wajah Kastara yang datar dan dingin.

“Oke, kau memang digaji oleh Papa untuk menjadi penjagaku. Tetapi aku tidak mau kalau penjagaku selalu bermuka busuk seperti mukamu itu. Padahal kalau aku amati mukamu itu cukup tampan, Kastara. Jadi coba lah untuk tidak menakuti orang-orang didekatku, mengerti? Atau kau akan berakhir seperti penjaga sebelum dirimu yang langsung kutendang keluar dari gedung ini!” ancam Shena dengan senyuman dingin.

Kastara tetap tidak beraksi dan masih tetap diam dan berdiri tegak, hanya matanya yang melihat ke kanan ke kiri, melihat situasi. Padahal mereka ada di dalam kantor Shena. Tidak mungkin kejadian buruk terjadi di sini.

“Pa … katakan padaku, kau dapat penjaga ini dari mana? Apa dia lulusan angakatan darat? Kenapa kaku seperti robot? Aku tidak suka,” gerutu Shena pada ayahnya yang langsung tertawa keras mendengar gerutuan anaknya itu.

“Dia cocok sekali denganmu, Sayang. Ini belum sampai dua puluh empat jam dia menemanimu. Tunggu sampai dua puluh empat jam kau pasti akan menyukainya,” jawab Iwan Duarte dengan tawa yang sama.

“Haa? Maksud Papa? Papa ingin menjodohkan dia dengan aku? Aku anakmu, Pa! Kau ingin punya menantu seorang bodyguard?” tanya Shena mendelik walau dia tahu ayahnya tidak akan melihat wajahnya karena percakapan mereka melalui interkom.

“Dasar bodoh! Tidak mungkin Papa menjodohkanmu dengan Kastara, Sayang. Kau anak kesayangan Papa yang cantik, ayu dan pintar. Paling tidak kau akan mendapatkan lelaki yang sebanding denganmu, Sayang, seorang CEO,” jawab Iwan tertawa lebar.

Shena langsung mengusap dadanya lega. Hampir saja jantungnya lepas andai ayahnya menjawab iya, dia akan dijodohkan dengan Kastara.

“Papa tidak berniat menjodohkanku, kan?” tanya Shena hati-hati.

“Kakakmu saja belum menikah, apa kau ingin mendahului kakakmu?” Iwan Duarte balik bertanya.

“Ahh … tidak, tidak … aku masih ingin bersenang-senang dengan teman-temanku, Pa. Jangan menjodohkan aku, Pa … ingat, aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki manapun,” tukas Shena ketus. Wajah bersungut kembali terpancar di raut wajah ayu itu.

Iwan Duarte tertawa lagi.

***

“Aku ingin ke mall, Kastara. Apa kau akan mengawalkku pergi?” tanya Shena ketika sore hari sepulang dari kantor.

“Aku akan mengantarmu kemana saja, Nona,” jawab Kastara seperti biasa, datar dan dingin.

“Itu berarti kau yang akan mengemudikan mobilku?” tanya Shena lagi. apa sekarang dia akan memiliki seorang sopir dan penjaga sekaligus? Hebat sekali!

“Tentu saja, Nona. Karena itu tugasku,” jawab Kastara kaku.

Shena mengambil ponsel di dalam kantong celana dan menekan nomor ayahnya secepat mungkin.

“Pa, sebenarnya Papa itu memberiku pengawal atau sopir sih?” tanyanya dengan kesal.

Dia tidak suka diatur-atur dan lagi dia suka sekali mengendarai kendaraannya sendiri. Mobil Land Rover Defender sudah menjadi kendaraan gadis itu sejak duduk di bangku kuliah. Mobil besar berwarna hijau navy itu selalu menemaninya kemana saja. Bagaimana mungkin dia bisa memberikan pada si penjaga untuk mengemudikan kendaraannya? Mati pun dia tidak rela melepaskannya.

“Nona, mau pergi sekarang?” tanya Kastara pelan.

“Kau tahu … aku ingin mengemudikan sendiri mobilku, Kastara. Jadi lebih baik kau duduk di belakang saja,” tukas Shena bersiap naik ke bagian depan mobil yang terparkir di deretan direksi.

“Apa kau sedang bermimpi, Nona? Tuan Iwan menggajiku untuk menjaga keselamatanmu di mana pun kau berada. kalau kau yang mengemudikan sendiri mobil ini, lalu bagaimana caranya aku bertugas?” tanya Kastara sambil menyugar rambut hitam dan tebal itu.

“Yaa … terserah padamu bagaimana kau memikirkan caranya. Aku malas berdebat denganmu. Sekarang aku mau ke mall. Kau mau ikut atau tidak? Aku ini sudah lebih dari lima tahun mengendarai mobil, bukan baru sehari dua hari kalau itu yang kau takutkan. Dan aku tidak pernah mengalami kecelakaan satu kali pun,” jawab Shena sombong.

“Puji Tuhan kalau begitu, Nona. Tidak perlu sombong, karena tidak ada seorang sopir yang ingin mobil yang dikendarainya mengalami kecelaaan. Begitu juga aku,” ucap Kastara tenang.

Wajah Shena langsung memerah. Ucapan Kastara sungguh mengena di hatinya.

“Ucapanmu memang benar, Kastara, tapi aku tidak suka mobilku dikendarai oleh orang lain. Itu masalahnya!” jawab Shena to the point. Darahnya berlomba naik hingga ke ubun-ubun. Dia belum pernah dipermalukan seperti ini. Tetapi untungnya mereka masih berada di lobi gedung kantor dan sudah banyak yang pulang.

Kastara terdiam, seumur hidupnya dia belum pernah menemukan ada pemilik kendaraan yang menolak seorang sopir membawa mobilnya. Ini aneh sekali baginya yang hanya orang kampung.

“Jadi sekarang kita akan pergi atau tidak, Nona?” tanya Kastara setelah berhasil menurunkan egonya.

“Pulang saja. Aku malas, gairah berbelanjaku sudah hilang. Nanti malam saja kalau ada teman yang mau mengajakku pergi,” tukas Shena cemberut.

“Kalau Nona akan pergi nanti malam, itu berarti aku juga harus ikut. Karena tugasku menjagamu, Nona,” jawab Kastara pelan. Dia sudah memikirkan harus lembur malam ini.

“Ya sudah, tidak jadi semua. Aku mau tidur saja! Kau pulang saja,” jawab Shena geram.

Sore itu mereka pulang dengan kendaraan kantor. Padahal Kastara sudah menurunkan egonya andai Shena benar-benar akan ke mall, dia rela duduk di belakang.

***

“Bagaimana? Apa kau sudah terbiasa dengan Kastara?” tanya Iwan malam itu di ruang keluarga yang besar dan luas.

“Terpaksa terbiasa, Pa. Dia itu sontoloyo sekali, menyebalkan!” sungut Shena dengan muka bertekuk.

“Loh memangnya apa yang dilakukannya padamu, Sayang?” tanya Iwan penasaran melihat Shena yang geram, gusar dan emosi.

“Ahh … sudahlah. Kuceritakan juga Papa tidak akan mengerti. Lupakan saja. Bahkan aku mau pergi dengan temanku, dia mau ikut! Menyebalkan sekali!” seru Shena kembali emosi mengingat kejadian tadi sore.

“Bahkan dia siap untuk lembur,” sambung Shena berapi-api.

Iwan Duarte terbahak hingga terpingkal-pingkal sambil mengeluarkan kedua jempolnya.

“Bagus sekali. Memang tepat sekali yang dikatakannya. Kalau kau pergi malam, justru dia harus siap, Shena. Banyak kejahatan yang terjadi di malam hari. Apa kau tidak tahu itu?” ucap Iwan Duarte masih tertawa.

“Papa senang sekali tertawa sampai terpingkal-pingkal. Aku sudah muak melihat wajahnya yang terus berada di dalam kantor. Aku sampai tidak bisa berkencan dengan pacarku. Coba Papa katakan padaku, bagaimana aku bisa berkencan dengan Stevan kalau dia selalu mengikutiku, Pa,” tanya Shena kesal. Untung saja kekasihnya saat ini ada di ibukota, jadi mereka hanya berhubungan dengan telepon dan video call setiap malam.

“Baguslah kalau begitu. Kalau kau mau kencan katakan saja pada Kastara, dia pasti mengerti dan menjauh darimu. Tetapi tetap berada di sekitarmu, Sayang,” Iwan Duarte memberikan gambaran.

“Huh … tetap saja aku dan Stevan tidak akan leluasa. Mana ada orang berkencan diikuti pegawal? Aku bukan selebriti begitu juga Stevan. Bagaimana kalau Papa ganti saja dia. Dia itu menyebalkan! Aku sungguh-sungguh, Pa,” seru Shena serius. Benaknya mulai mencari akal untuk mengerjai Kastara ….

***

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Weka
sis sena seru juga
goodnovel comment avatar
Cindi82
shena ngeyel
goodnovel comment avatar
Its Me
Hehe seruuu ini pasti lanjutannya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status