Share

Penjaga Idaman
Penjaga Idaman
Penulis: Lynelle Kim

Bab 1. Bodyguard

“Shena, perkenalkan, dia Kastara Wijaya yang akan bekerja sebagai penjaga barumu. Kemana pun kau pergi dia akan selalu menjagamu. Papa tidak mau mendengar kau memecat penjagamu seenak hatimu sendiri lagi. Mengerti? Karena Papa tidak mau kejadian awal bulan tadi terulang lagi. Untung saja ada Ron dan Evan yang sedang berada di halaman depan, kalau mereka tidak ada … mungkin nyawamu saat ini sudah berada di surga,” gerutu Iwan Duarte di depan anak gadisnya yang bersungut.

Awal bulan tadi, Shena Duarte hampir menjadi korban penculikan oleh orang yang tidak dikenal. Gadis itu baru berusia dua puluh satu tahun, baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas terkenal di ibukota dan dia kembali ke kota ini untuk membantu ayahnya mengembangkan usaha mereka di bidang eksport import.

Dia juga gadis yang sangat cantik, manis dan ramah. Padahal sejak pulang ke kota mereka, dia hampir tidak pernah keluar sendiri. Selalu bersama teman-temanya atau saudara-saudaranya. Tetapi dia gemar sekali melakukan hal bodoh, suka mengerjai pegawai di kantor ayahnya. Minggu lalu dia baru saja memecat penjaga yang yang ditugaskan ayahnya, seperti hari ini. Lelaki itu sudah berdiri di depan meja setelah Tuan Iulus dari beberapa ujian dari Tuan Iwan langsung, Kastara langsung diantar ke ruangan ini.

Shena menatap tajam lelaki di hadapannya itu. Dia tampan … dan gagah, otot-ototnya tampak jelas walau tubuhnya dibalut kemeja. Hem … dia juga tampak lugu dan culun. Entah apa kepandaiannya.

“Apa yang kau kuasai … Kastara … Wijaya …, namamu tidak asing. Apa kita pernah berjumpa sebelumnya? Kenapa kau bisa bekerja di sini? Apa pendidikan terakhirmu?” tanya Shena melihat kertas berisi data Kastara seperti sedang melakukan wawancara.

“Apa semua pertanyaan itu wajib aku jawab?” tanya Kastara mengernyit.

“Aku ini atasanmu, tentu saja kau wajib menjawab semua yang aku tanyakan, Tuan Wijaya,” balas Shena dengan dahi berkerut.

“Pertanyaanku tidak ada yang aneh. semua yang kutanyakan adalah pertanyaan umum,” lanjut Shena lagi.

“Kastara, Wijaya itu nama kakekku. Apa kau mengenal kakekku?” Kastara balik bertanya.

“Aku bertanya padamu, kau tidak mempunyai hak untuk bertanya padaku, mengerti!” seru Shena sedikit emosi karena Kastara tidak menjawab pertanyaannya tetapi malah balik bertanya.

“Lagipula namamu itu Kastara Wijaya, wajar saja kau memanggilmu Tuan Wijaya. Mana aku tahu kalau itu nama kakekmu. Lain kali tidak usah pake Wijaya saja, apalagi aku tebak … kakekmu itu pasti ‘Rest In Peace’, iya kan?” lanjut Shena lagi.

Kastara diam, bukan karena ucapan gadis itu salah. Dia benar, kakeknya sudah lama meninggal. Bahkan dia sendiri tidak mengenal kakeknya itu.

“Kenapa tidak menjawabku?”

Tiba-tiba bunyi ketukan pintu membuyarkan pembicaraan mereka.

“Shena, rapat lima menit lagi ke ruang rapat. Jangan lupa sekalian bawa berkas kemarin,” tukas Ashley, sekretaris Iwan Duarte.

“Mampus aku lupa, Ashley! Oke-oke aku akan segera bersiap. Lima menit cukup,” jawab Shena yang langsung bergerak mengambil fotokopi yang ada di atas printer, lalu membuka komputer dan mengetikkan sesuatu, kemudian mencetaknya.

Lalu dia berdiri, merapikan kemeja tipis dari bahan sifon berwarna ungu muda yang lembut dan celana kain, lalu membenahi rambut panjang yang diikat ekork kuda itu, kemudian mengganti sandal jepit dengan sepatu berhak tujuh senti. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia keluar dari ruangannya menuju ke lantai atas tempat ruangan meeting berada.

Tidak disadari Shena, Kastara mengikutinya tanpa suara hingga ke ruangan meeting. Semua mata menoleh padanya saat dia masuk diikuti Kastara.

“Kau punya asisten sekarang?” tanya Fia dari divisi marketing pada Shena. Shena langsung menoleh ke belakang dan melihat Kastara di berdiri di belakangnya dengan tegap dan tanpa suara.

“Kenapa kau mengikutiku?” sergah Shena risih.

“Sudah tugasku untuk mengikuti kemana pun kau pergi, Nona Duarte,” jawab Kastara datar.

“Heiii itu perintah Papa. Aku tidak suka, kembalilah ke ruanganku. Aku tidak akan lari, Kastara. Aku hanya menghadiri meeting. Pergi sana, jangan membuatku malu,” desak Shena dengan suara sedikit berbisik. Fia yang kebetulan berada di dekat Shena tertawa tertahan mendengar gadis itu mengusir sang bodyguard.

Semua orang sudah tahu masalah apa yang menimpa Shena hingga ayahnya menggunakan jasa bodyguard untuk melindunginya.

Tapi Kastara tetap berdiri di belakang kursi Shena diam tak bergerak juga tak bersuara walau Shena mendorongnya pergi, tetapi dia tidak begeser sedikit pun.

Tuan Iwan Duarte memasuki ruangan rapat dan seketika itu juga ruangan yang tadinya riuh menjadi senyap dalam sekejap. Shena sempat merasa heran karena tak menyangka kejadian seperti ini juga terjadi di kantor ayahnya bukan hanya di sekolah.

Lelaki paruh baya itu langsung menatap Kastara yang berdiri di belakang anak gadisnya itu, lalu sedikit mengangguk sebelum melangkah ke kursi direktur di tengah meja berbentuk lonjong itu.

Kastara juga mengangguk tanpa suara tanpa kata-kata. Ini hari pertamanya bekerja di perusahaan eksport import yang berada di gedung berlantai delapan, dan ruangan meeting ini berada di lantai delapan. Sedangkan ruangan Shenna berada di lantai tujuh. Lumayan capek kalau lift sedang ngadat. Tapi untungnya dia rajin berolahraga, jalan pagi sejauh lima kilometer pagi dan sore. Itu membuat staminanya tetap terjaga.

Hampir dua jam kemudian rapat selesai, satu persatu peserta rapat kembali ke ruangan masing-masing setelah Iwan Duarte meninggalkan ruangan. Shena masih duduk di kursinya tak berniat beranjak.

“Kau masih betah di sini?” tanya Fia yang bersiap pergi setelah merapikan beberapa berkas yang tadi dibacakannya saat rapat.

“Aku hanya sedang memikirkan yang dijelaskan Tuan Iwan tadi. Kau mengerti tidak? atau hanya aku yang masih bingung dan linglung,” desah Shena.

Fia tertawa sambil menggeleng, lalu keluar dengan setumpuk berkas di pelukannya. Lima menit kemudian ruangan itu sudah kosong, hanya tersisa Shena dan Kastara yang masih di sana. Gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung pena ke meja hingga menimbulkan bunyi yang mengganggu.

“Sampai kapan kau ingin duduk di sini?” tanya Kastara dengan nada datar dan dingin.

“Aku mau duduk di mana saja itu hakku. Apa hakmu bertanya padaku?” jawab Shena dengan dahi berkerut dengan tatapan membunuh.

“Tidak ada. Aku hanya menanyakannya saja,” jawab Kastara tetap dengan wajah tanpa ekspresi.

***

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Agung99
semoga kak, ceritanya seru Banga
goodnovel comment avatar
princeskinan49
bab awal udah seseru ini...
goodnovel comment avatar
Weka
Shena dan Kastara seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status