“Shena, perkenalkan, dia Kastara Wijaya yang akan bekerja sebagai penjaga barumu. Kemana pun kau pergi dia akan selalu menjagamu. Papa tidak mau mendengar kau memecat penjagamu seenak hatimu sendiri lagi. Mengerti? Karena Papa tidak mau kejadian awal bulan tadi terulang lagi. Untung saja ada Ron dan Evan yang sedang berada di halaman depan, kalau mereka tidak ada … mungkin nyawamu saat ini sudah berada di surga,” gerutu Iwan Duarte di depan anak gadisnya yang bersungut.
Awal bulan tadi, Shena Duarte hampir menjadi korban penculikan oleh orang yang tidak dikenal. Gadis itu baru berusia dua puluh satu tahun, baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas terkenal di ibukota dan dia kembali ke kota ini untuk membantu ayahnya mengembangkan usaha mereka di bidang eksport import.
Dia juga gadis yang sangat cantik, manis dan ramah. Padahal sejak pulang ke kota mereka, dia hampir tidak pernah keluar sendiri. Selalu bersama teman-temanya atau saudara-saudaranya. Tetapi dia gemar sekali melakukan hal bodoh, suka mengerjai pegawai di kantor ayahnya. Minggu lalu dia baru saja memecat penjaga yang yang ditugaskan ayahnya, seperti hari ini. Lelaki itu sudah berdiri di depan meja setelah Tuan Iulus dari beberapa ujian dari Tuan Iwan langsung, Kastara langsung diantar ke ruangan ini.
Shena menatap tajam lelaki di hadapannya itu. Dia tampan … dan gagah, otot-ototnya tampak jelas walau tubuhnya dibalut kemeja. Hem … dia juga tampak lugu dan culun. Entah apa kepandaiannya.
“Apa yang kau kuasai … Kastara … Wijaya …, namamu tidak asing. Apa kita pernah berjumpa sebelumnya? Kenapa kau bisa bekerja di sini? Apa pendidikan terakhirmu?” tanya Shena melihat kertas berisi data Kastara seperti sedang melakukan wawancara.
“Apa semua pertanyaan itu wajib aku jawab?” tanya Kastara mengernyit.
“Aku ini atasanmu, tentu saja kau wajib menjawab semua yang aku tanyakan, Tuan Wijaya,” balas Shena dengan dahi berkerut.
“Pertanyaanku tidak ada yang aneh. semua yang kutanyakan adalah pertanyaan umum,” lanjut Shena lagi.
“Kastara, Wijaya itu nama kakekku. Apa kau mengenal kakekku?” Kastara balik bertanya.
“Aku bertanya padamu, kau tidak mempunyai hak untuk bertanya padaku, mengerti!” seru Shena sedikit emosi karena Kastara tidak menjawab pertanyaannya tetapi malah balik bertanya.
“Lagipula namamu itu Kastara Wijaya, wajar saja kau memanggilmu Tuan Wijaya. Mana aku tahu kalau itu nama kakekmu. Lain kali tidak usah pake Wijaya saja, apalagi aku tebak … kakekmu itu pasti ‘Rest In Peace’, iya kan?” lanjut Shena lagi.
Kastara diam, bukan karena ucapan gadis itu salah. Dia benar, kakeknya sudah lama meninggal. Bahkan dia sendiri tidak mengenal kakeknya itu.
“Kenapa tidak menjawabku?”
Tiba-tiba bunyi ketukan pintu membuyarkan pembicaraan mereka.
“Shena, rapat lima menit lagi ke ruang rapat. Jangan lupa sekalian bawa berkas kemarin,” tukas Ashley, sekretaris Iwan Duarte.
“Mampus aku lupa, Ashley! Oke-oke aku akan segera bersiap. Lima menit cukup,” jawab Shena yang langsung bergerak mengambil fotokopi yang ada di atas printer, lalu membuka komputer dan mengetikkan sesuatu, kemudian mencetaknya.
Lalu dia berdiri, merapikan kemeja tipis dari bahan sifon berwarna ungu muda yang lembut dan celana kain, lalu membenahi rambut panjang yang diikat ekork kuda itu, kemudian mengganti sandal jepit dengan sepatu berhak tujuh senti. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia keluar dari ruangannya menuju ke lantai atas tempat ruangan meeting berada.
Tidak disadari Shena, Kastara mengikutinya tanpa suara hingga ke ruangan meeting. Semua mata menoleh padanya saat dia masuk diikuti Kastara.
“Kau punya asisten sekarang?” tanya Fia dari divisi marketing pada Shena. Shena langsung menoleh ke belakang dan melihat Kastara di berdiri di belakangnya dengan tegap dan tanpa suara.
“Kenapa kau mengikutiku?” sergah Shena risih.
“Sudah tugasku untuk mengikuti kemana pun kau pergi, Nona Duarte,” jawab Kastara datar.
“Heiii itu perintah Papa. Aku tidak suka, kembalilah ke ruanganku. Aku tidak akan lari, Kastara. Aku hanya menghadiri meeting. Pergi sana, jangan membuatku malu,” desak Shena dengan suara sedikit berbisik. Fia yang kebetulan berada di dekat Shena tertawa tertahan mendengar gadis itu mengusir sang bodyguard.
Semua orang sudah tahu masalah apa yang menimpa Shena hingga ayahnya menggunakan jasa bodyguard untuk melindunginya.
Tapi Kastara tetap berdiri di belakang kursi Shena diam tak bergerak juga tak bersuara walau Shena mendorongnya pergi, tetapi dia tidak begeser sedikit pun.
Tuan Iwan Duarte memasuki ruangan rapat dan seketika itu juga ruangan yang tadinya riuh menjadi senyap dalam sekejap. Shena sempat merasa heran karena tak menyangka kejadian seperti ini juga terjadi di kantor ayahnya bukan hanya di sekolah.
Lelaki paruh baya itu langsung menatap Kastara yang berdiri di belakang anak gadisnya itu, lalu sedikit mengangguk sebelum melangkah ke kursi direktur di tengah meja berbentuk lonjong itu.
Kastara juga mengangguk tanpa suara tanpa kata-kata. Ini hari pertamanya bekerja di perusahaan eksport import yang berada di gedung berlantai delapan, dan ruangan meeting ini berada di lantai delapan. Sedangkan ruangan Shenna berada di lantai tujuh. Lumayan capek kalau lift sedang ngadat. Tapi untungnya dia rajin berolahraga, jalan pagi sejauh lima kilometer pagi dan sore. Itu membuat staminanya tetap terjaga.
Hampir dua jam kemudian rapat selesai, satu persatu peserta rapat kembali ke ruangan masing-masing setelah Iwan Duarte meninggalkan ruangan. Shena masih duduk di kursinya tak berniat beranjak.
“Kau masih betah di sini?” tanya Fia yang bersiap pergi setelah merapikan beberapa berkas yang tadi dibacakannya saat rapat.
“Aku hanya sedang memikirkan yang dijelaskan Tuan Iwan tadi. Kau mengerti tidak? atau hanya aku yang masih bingung dan linglung,” desah Shena.
Fia tertawa sambil menggeleng, lalu keluar dengan setumpuk berkas di pelukannya. Lima menit kemudian ruangan itu sudah kosong, hanya tersisa Shena dan Kastara yang masih di sana. Gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung pena ke meja hingga menimbulkan bunyi yang mengganggu.
“Sampai kapan kau ingin duduk di sini?” tanya Kastara dengan nada datar dan dingin.
“Aku mau duduk di mana saja itu hakku. Apa hakmu bertanya padaku?” jawab Shena dengan dahi berkerut dengan tatapan membunuh.
“Tidak ada. Aku hanya menanyakannya saja,” jawab Kastara tetap dengan wajah tanpa ekspresi.
***
Hampir saja tangan Dellia melayang ke pipi anaknya. Matanya membulat menatap gadis itu dengan penuh amarah. Bagaimana mungkin gadis ini jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri! Dia tidak percaya!Tangis Chelsea langsung pecah saat tangan ibunya menyentuh pipinya yang halus. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah diperlakukan kasar seperti saat ini. Bukan salahnya dia jatuh cinta pada Steven, bukankah rasa cinta tidak bisa dikontrol. Saat mata bertemu mata, lalu rasa itu turun ke hati … bukankah seperti itu?“Ada apa, kenapa kau memukuli Chelsea, Delia?” tegur Iwan Duarte yang baru saja kembali dan mendengar keributan.“Anakmu yang satu ini sudah gila, Iwan! Dia jatuh cinta pada Stevan! Apa kau percaya?!?” seru Delia melengking.Wajah Iwan Duarte berubah mendengar perkataan Delia.“Kau bayangkan bagaimana bisa dia jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri. Aku haru memukulnya agar dia sadar!” seru Delia lagi.Iwan Duarte terdiam beberapa saaat, lalu teringat ucapan orang kepercayaan yan
Kastara berjalan keluar kamar lewat pintu beranda yang baru dibukanya sambil memegang ponsel itu dengan erat hingga membuat Shena terheran-heran.‘Ada apa? Siapa yang menelepon Kastara? Mengapa tubuh Kastara mendadak menjadi tegang, seolah-olah ada yang terjadi?’ tukas Shena dalam hati dengan bingung dengan dahi berkerut dan mata yang mengikuti Kastara hingga berdiri tegak di balkon.Perlahan dia bangkit dari kursinya dan berjinjit ke pintu beranda untuk mendengar apa yang dibicarakan Kastara. Dia penasaran.“Bagaimana? Apa sudah ada hasilnya?” tanya Kastara yang terdengar samar di balik pintu kaca itu.Dahi Shena semakin berkerut, rasa penasarannya semakin meningkat hingga lupa pada tugas yang diberikan Kastara padanya. Dia menempelkan telinganya pada pintu supaya suara Kastara semakin jelas.“…. Jadi begitu info yang kau dapatkan? Baiklah, Bram, kau bisa kembali besok. Aku perlu bukti pembicaraanmu dengan informan itu. semoga kasus ini cepat terselesaikan ….” Lalu suara tawa Kastara
“Bagaimana keadaan putriku?” tanya Iwan Duarte pada lelaki yang ada di hadapannya. Saat ini mereka sedang duduk di kedai kopi tak jauh dari kediaman Bastian Kusuma.“Kelihatan baik dan wajahnya juga ceria. Tidak nampak kesedihan di wajah cantiknya itu, Bos. Aku yakin penjaga itu berhasil meraih hatinya. Lagi pula dia juga orang miskin seperti dugaanmu, Bos. Info yang kudapat dari orang sekitar, Tuan Bastian Kusuma memiliki dua putra dan dua putri. Dua putrinya sudah menikah dan keluar dari rumah besar itu. Sementara putra tertuanya sekarang sedang di ibukota. Aku tidak tahu ada urusan apa dia di ibukota. Putra bungsunya itu yang memang bertugas mengurusi ekspedisinya,” jawab lelaki berbadan tegap dan berkumis tebal itu.“Hem … jadi anakku berhasil menggaet pengusaha kampung,” balas Iwan Duarte menghela napas panjang.“Bisa dibilang begitu, Bos,” jawab lelaki itu lagi.“Baiklah, terima kasih infomu, Darwis,” tukas Iwan Duarte lega.“Jangan lupa ….” Ucap Darwis dengan jari jempol dan te
Kastara segera berlari menuruni anak tangga dengan cepat dan segera membuka pintu depan yang kuncinya selalu tergantung di pintu setiap malam setelah mengunci pintu. Dia keluar setelah pintu terbuka dan langsung memanggil anjing penjaganya yang ada enam ekor itu. Semuanya berkumpul di depan Kastara setelah mendengar panggilan lelaki tampan itu.Dia mengelus kepala keenam anjing petarung itu dengan lembut.“Apa yang kalian lihat, teman,” bisik Kastara pelan karena dia hanya ingin membuat anjing-anjing itu berhenti mengonggong. Suara yang berisik akan membangunkan seisi rumah. Dan dia tidak ingin Shena terbangun.Dia mencoba melihat ke sekeliling rumah mencari apa ada sesuatu yang mencurigakan, tetapi tidak ada apa-apa. Mungkin juga orang yang mencoba masuk tadi sudah lari tungang langgang begitu ke enam anjingnya mengonggong ke arah mereka. itu sudah pasti karena Kastara menemukan sebelah sandal yang terputus talinya di depan pagar. Dia tertawa tanpa suara. Tiba-tiba, “Tara!”Suara pan
‘Ini gila!’ bisik Kastara dalam hati memikirkan perkataan Bram barusan. Rasanya tidak mungkin Iwan Duarte menghabisi istri dan anak-anaknya sendiri dan meninggalkan seorang anak kesayangannya. Kastara menyugar rambut dengan gelisah.Tetapi tiba-tiba daun yang bergoyang di halaman depan rumahnya membuatnya heran. Itu pohon kelapa dan tingginya hanya setinggi satu meter lebih sedikit, tidak ada angin yang membuat pohon atau rumput di sekelilingnya bergoyang. Jadi apakah ada seseorang di bawah sana? Dahinya langsung berkerut sempurna. Dia mendekati jendela dan menajamkan pandangannya pada pohon kelapa itu.Tiba-tiba seberkas sinar senter menyorot ke lantai dua, kamarnya. Dia terkejut dan mundur ke tembok. Benar dugaannya ada orang yang sedang mengamati kamarnya! Siapa dia?!? Mau apa orang itu !?Kastara langsun melihat ke ranjang dan Shena masih terlelap dan tidak terganggu sama sekali. Dia harus turun dan menangkap basah maling yang mengintip kamarnya itu!Perlahan, Kastara membuka pint
“Kau tidak demam, kan?” tanya Kastara heran dengan punggung tangannya di dahi Shena.Shena menggeleng sambil tertawa, “Tidak, aku baik-baik saja, Tara. Hanya ingin tidur sambil memelukmu. Boleh tidak?”“Kau—kau ingin memelukku? Tentu saja boleh, Shena. Aku senang sekali kalau itu kemauanmu sendiri — atau jangan-jangan kau sedang ngidam? Kudengar di televisi mengatakan bahwa istri yang sedang hamil suka berbuat yang aneh-aneh! Kebanyakan mungkin berasal dari perasaan mereka yang tidak tercapai …,” Kastara tergelak setelah mengucapkan kata-katanya sendiri.“Tapi … itu bukan kemauanku sendiri, Tara. Ini pasti kemauan si jabang bayi yang ingin kau peluk,” sanggah Shena dengan roman cemberut.Kastara tergelak lagi melihat wajah Shena, “Sudah-sudah, tak masalah bagiku mau kau yang ingin atau bayimu yang ingin memelukku. Aku senang sekali mendengarnya. Baiklah, malam ni kita akan tidur satu ranjang. Tapi ranjang ini tidak terlalu besar ….” Kastara mengernyit lagi sambil memikirkan ide apa ya