Share

3. Kamar Yang Asing.

‘Empuk.’

Keningnya mengkerut saat merasakan punggungnya menyentuh benda yang terasa empuk dan nyaman.

Perlahaan Alice pun membuka kedua matanya. Dikerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya sesaat kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya.

“I-Ini di mana lagi?” gumam Alice, mengedarkan pandangannya untuk menatap sekeliling ruangan.

“Tunggu dulu.”

Seakan teringat sesuatu, Alice memeriksa cepat pakaian yang masih dikenakannya itu. Seketika helaan nafas lega pun dihembuskan olehnya.

“Syukurlah bajuku masih sama.”

Alice kembali mendongakkan kepalanya dan membiarkan kedua matanya menjelajah seisi kamar ruangan yang terlihat jelas seperti sebuah kamar, karena dirinya saat ini saja berada di atas kasur berukuran king size itu.

“K-Kenapa aku bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dua orang pria tadi yang bawa aku ke sini?” tanya Alice, kepada dirinya sendiri karena masih bingung akan keadaan yang dialaminya saat ini. “Lalu mereka berdua ada di mana sekarang? Kenapa hanya ada aku sendiri di sini?”

Kebingungan dan keheranan melanda Alice, mendapati hanya ada dirinya seorang diri berada di dalam kamar mewah yang sangat luas itu.

Ditelan salivanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa keting. Sejenak dia meringis kesakitan ketika sudut bibirnya terasa agak perih terkena salivanya itu.

“Shss masih sakit ternyata,” gumam Alice, menyentuh pelan sudut bibirnya itu.

Alice menghela nafasnya. Dia berusaha menyibakkan selimut yang sempat menutupi kedua kaki jenjangnya itu. Gaun putih yang melekat di tubuhnya sebenarnya agak membuat alice kesulitan bergerak, namun dia tidak punya pilihan lain karena hanya itu satu-satunya pakaian yang dimilikinya saat ini.

“A-Akh!”

Pekik Alice, ketika tubuhnya terasa limbung ke depan saat kedua kakinya menapak pada lantai kamar tersebut.

“S-Sakit,” lirih Alice, menyentuh kepalanya yang seketika berdenyut-denyut pening.

Pikirannya pun mengarah pada dua orang pria yang sebelumnya menarik rambutnya dengan kuat. Mungkin itu sebabnya kepala Alice bisa terasa sesakit ini sekarang.

“Aku harus kabur dari sini.”

Alice berusaha menyeimbangkan tubuhnya meskipun kepalanya masih terasa begitu pusing. Belum lagi tubuhnya lemah sekali karena memang belum ada makanan maupun minuman yang dia masukkan ke dalam tubuh lemahnya itu.

Perlahan tapi pasti, Alice mulai melangkahkan kakinya menuju ke sebuah pintu berwarna putih dengan dihiaskan gagang pintu berwarna keemasan itu.

‘Hanya itu satu-satunya jalan keluar di sini. Apa aku bisa keluar dari sana dengan bebas?’ batin Alice, dilema dengan pilihan yang dia ambil sekarang. ‘Tidak, aku tidak perlu memikirkannya. Bagaimanapun itu, aku harus bisa pergi jauh dari tempat ini.’

Perkataan kedua orang pria asing sebelumnya itu masih terngiang-giang jelas di dalam pikiran Alice. Tentu, dia masih ingat dengan jelas bahwa kedua orang itu mengatakan Alice sudah dijual dan dibeli oleh seseorang yang kaya raya.

Mendapati dirinya yang berada di dalam kamar hotel mewah itu, Alice sudah bisa mencerna bahwa kemungkinan besar sebentar lagi dia akan bertemu dengan sosok kaya raya yang mungkin telah membelinya itu.

‘Aku tidak mau hidupku menjadi milik orang lain seperti ini. Aku bahkan belum tahu siapa yang telah menjualku,’ batin Alice,bertekad untuk keluar dari kamar mewah yang terasa seperti penjara untuknya.

Ceklek!

Pintu dibuka pelan oleh Alice. Sebelum benar-benar keluar, dia mengeluarkan sedikit kepalanya untuk memastikan keadaan di luar sana aman.

“S-Sepertinya aman,” ucap Alice pelan. “Tapi kenapa tidak ada yang menjagaku?”

Alice kembali merasa heran karena baik di luar maupun di dalam ruangan, hanya ada dirinya seorang.

‘Ini terasa aneh,’ batin Alice, merasa tidak nyaman dengan situasi yang seakan menguntungkannya itu. ‘Tapi mungkin saja ini memang kesempatanku untuk kabur dari sini.’

Di langkahkannya kaki kotor dan penuh lukanya itu keluar dari kamar mewah tersebut. Tidak lupa dia menyeret gaun putih yang sudah melekat di tubuhnya sejak dia tidak sadarkan diri itu.

Langkah pelan tersebut perlahan-lahan mulai semakin cepat menyusuri koridor yang cukup panjang itu.

‘Di mana pintu keluarnya? Aku harus secepatnya kabur!’

Panik mendera Alice ketika dia kesulitan mencari tempat keluarnya karena memang hotel tersebut terlalu luas untuk dia telusuri sendiri. Belum lagi kepanikan dan gelisah yang memenuhi benaknya, membuat Alice kesulitan berpikir tenang. Yang ada di dalam kepala nya hanyalah kabur secepat mungkin dan jangan sampai tertangkap.

“I-itu dia!” seru Alice lega setelah menemukan tempat lift yang sebelumnya dia naiki bersama dua orang pria asing itu.

Secepatnya dia masuk ke dalam lift kosong itu dan menekan tombol menuju ke lantai bawah berkali-kali hingga akhirnya pintu lift tertutup rapat.

Alice menggigit ujung kuku jempol kanannya dengan perasaan gelisah, sambil melihat ke angka lantai yang dilewatinya.

Ting!

‘Aku harus cepat.’

Alice berlari keluar dari dalam lift itu. Rasa sakit di telapak kakinya sama sekali tidak mengurungkan niat Alice untuk kabur dari hotel mewah tersebut.

“A-Akhirnya,” lirih Alice, sesaat kakinya menyentuh dinginnya jalanan di luar hotel tersebut.

Air mata lega menerobos keluar dari kedua mata sembabnya itu. Dia berlari menjauh dari gedung hotel mewah itu tanpa tahu kemana dirinya akan pergi, yang terpenting untuk Alice adalah menjauh dari tempat yang sudah mengurungnya itu.

Dirasa cukup jauh, Alice menghentikan kedua kaki nya. Dia meraup oksigen di sekitarnya dengan cepat karena menipisnya nafasnya sehabis berlari itu.

“Sekarang aku harus kema—”

“Hahh, mau sampai kapan sebenarnya dia berlari?”

Degh!

Tubuh Alice menegang. Suara di belakangnya membuat dirinya takut dan gelisah. ‘S-Siapa itu?’ batin Alice, takut untuk menoleh.

“Jangan lari lagi. Kamu itu milik Tuan kami jadi jangan macam-macam dan kabur begini, dasar wanita menyusahkan,” ucap pria di belakangnya yang sekarang sudah menarik rambut Alice.

“Arghh! L-Lepaskan!” teriak Alice merasakan rasa sakit pada kepalanya itu.

Bahkan saat tubuhnya mulai diangkat oleh pria itu, Alice tidak bisa melawan selain berteriak minta tolong.

“Lebih baik kita buat dia diam,” ucap pria yang lain.

Alice menggelengkan kepalanya, saat tangan itu mendekat pada tengkuk lehernya. ‘Tidak lagi.’

Namun terlambat. Dia merasakan pukulan pada tengkuk lehernya itu dan pada akhirnya Alice kehilangan kesadarannya lagi.

Sempat dia melihat dua pria berpakaian rapi dengan jas hitam itu. Saat itu juga Alice tahu bahwa dua pria itu bukan pria yang sama dengan pria yang membawanya.

***

“Hahaha!”

Tawa menggelegar di dalam sebuah kamar mewah itu. Seorang perempuan dengan gaun tipis yang melekat di tubuhnya, berjalan mendekat ke arah televisi yang sedang menayangkan wajahnya dengan wajah suaminya itu.

“Akhirnya sekarang aku tidak lagi melihat wajah wanita itu,” ucap perempuan itu, tidak lain tidak bukan adalah Federica.

Mendudukkan dirinya di atas sofa kecil sambil meraih gelas berisi wine dan meneguknya sedikit. “Sudah berapa hari setelah pernikahan kita, dia menghilang, mungkin saja dia sudah mati sekarang.”

Tawa kecil kembali terdengar dari kedua bibir merah itu. “Sekarang aku sudah memiliki semuanya, bahkan aku juga sudah menikahi Albert.”

Federica menyandarkan punggungnya. Matanya memandang ke arah layar televisi yang tidak henti-hentinya menayangkan tentang acara pernikahan dan tentang hubungannya dengan Albert.

“Rasanya bahagia sekali. Seluruh perhatian benar-benar tertuju padaku, bukan kepada Alice.” Senyuman licik terukir di wajahnya.

“Akan lebih baik kalau dia benar-benar mati di luar sana. Lagian semasa dia hidup, tidak ada yang benar-benar menyayangi dia. Dasar wanita bodoh.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Uci Lurum
pengen jitak online si federika aja
goodnovel comment avatar
Dina0505
kasian banget Alice. apa lagi yang akan terjadi sama Alice?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status