“Hei, biarkan saja, sudah aku bilang jangan ngomongin hal yang tidak berguna di sini. Lagian setelah kita mengantarnya ke tempat itu, urusan kita selesai dengannya. Itu bukan urusan kita, mau di jual ke orang kaya atau di bunuh sekali pun biar kan saja. Aku tidak peduli."
Keringat dingin membasahi kening dan juga punggung Alice. Rasa takut, resah, dan sesak, bercampur aduk di dalam benaknya.‘Apa … aku benar-benar telah dibuang?"Alice rasanya tidak mampu membayangkan dirinya benar-benar dibuang oleh keluarganya sendiri. Dia mulai berpikir apakah kedua orang tuanya merasa malu karena Alice dipermalukan di acara pernikahan yang harusnya menjadi pernikahannya itu. Atau ini hanyalah sandiwara untuk menyingkirkan dirinya, ibu tirinya tidak menyukainya sejak kedatangannya begitu juga sebaliknya tetapi Federica adalah orang yang mengajaknya bermain kala itu.Apa karena alasan itu juga Alice dipermainkan oleh semua orang yang dianggapnya sebagai keluarga? Bahkan Alice seakan masih jelas mendengar suara cemoohan orang-orang yang mengatai dirinya saat di aula pernikahan tadi.‘Tidak … Ibu dan ayah tidak setega itu, kan? Mereka tidak mungkin membuang ku,’ batinnya, menguatkan hatinya yang rapuh itu.Hidupnya seakan seperti sebuah boomerang yang siap meledak kapanpun. Bahkan saat ini Alice tidak tahu apa yang sedang menunggu dirinya.Alice merasakan jika mobil yang di naikinya telah berhenti. Dan tak lama salah satu pria bersuara.“Sampai. Cepat bawa dia turun sekarang dan buka ikatan tangannya dan penutup di matanya itu.”“Oke.”Alice mendongakkan kepalanya saat sebuah tangan kasar memegang pergelangan tangannya. “L-Lepaskan,” lirih Alice, berusaha untuk melepaskan pegangan tangannya yang di cengkram kuat oleh salah satu pria yang membawanya.“Diam dan turun cepat!” bentak orang itu.Alice terdiam mendengar bentakan tersebut. Dia meringis kesakitan saat tangannya diremas semakin erat hingga dia yakin akan menimbulkan bekas kemerahan di sana.‘Kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini? Memangnya apa salah aku sama mereka? Apa yang akan mereka perbuat padaku? Tuhan tolong aku,'Alice takut. Dia tidak tahu di mana dia berada dan dengan siapa dia saat ini. Tidak ada satu pun suara yang dia kenali di antara dua pria yang saat ini tengah melepaskan ikatannya.“Ngh ….”Alice membuka kedua matanya perlahan disaat kain yang membungkus matanya sudah tidak lagi.“Ini ….”Terbuka lebar kedua matanya memandang gedung mewah yang berada di hadapannya. Secepat kilat dia mengedarkan pandangannya dan terkejut bukan main ketika mendapati dua pria berwajah seram yang berada di belakangnya.“S-Siapa kalian? Kenapa aku dibawa kemari?” tanya Alice berusaha menjauhkan dirinya dari kedua pria itu.Alice menurunkan pandangannya dan menyadari bahwa pakaian yang dia kenakan masih sama seperti saat dia berada di aula pernikahan tadi.“Sudah aku bilang diam! Ikuti saja kami!” bentak orang yang bersuara sama dengan yang Alice dengar di dalam mobil tadi.“A-Aku mohon … jangan apa-apakan aku,” lirih Alice.Terlihat kedua bahunya bergetar ketakutan.“Ck, bukan kami yang bakal apa-apakan kamu tapi orang yang sudah membeli kamu yang akan melakukannya,” sahut pria tersebut, meraih kasar pergelangan tangan Alice. “Ikuti saja kami karena kamu itu sudah dijual.”Bola mata Alice semakin terbelalak lebar. “Di … jual?”“Kasihan sekali kamu, ya. Sudah dijual begini, yah setidaknya orang yang membeli kamu adalah orang kaya, dilihat dari hotel mewah ini.”Tubuh Alice terseok-seok karena ditarik paksa oleh orang yang menarik tangannya secara kasar itu. Dia tidak sanggup melakukan perlawanan karena memang tubuhnya kecil dibandingkan kedua orang tersebut.“K-Kenapa … aku dijual?” tanya Alice lirih, dengan kedua mata yang kembali basah akan air mata. “S-Siapa yang menjualku?”Dalam hati dia terus-terusan berusaha meyakinkan diri bahwa bukan keluarganya yang mempermainkannya seperti ini, bahkan sampai menjual dirinya kepada orang lain.“Yah, siapa lagi kalau bukan orang yang tidak menyukai kamu,” jawab pria tersebut.Timbul tanda tanya di dalam benak dan pikiran Alice. Namun belum selesai kebingungannya, Alice merasa semakin gelisah dan resah saat melihat dirinya dipaksa masuk ke dalam lift.“Tidak,” lirih Alice, sambil menggerakkan tangannya sekuat tenaga agar dilepaskan oleh pria di depannya itu.“Sial! Dia ini tidak mau diam!”Pria itu langsung mengeluarkan sebuah pistol dari dalam jaketnya. Ditodongkannya pistol tersebut tepat di depan wajahnya Alice.“Jika kamu masih berisik, pistol ini benar-benar akan mengenai wajah kamu,” bisik pira itu, mengancam Alice.Wajah Alice seketika memucat. Dia tentu merasa takut jika saja peluru dingin itu sampai menembus tepat di wajahnya.Namun Alice sendiri juga enggan mengikuti kedua orang yang mengatakan bahwa Alice telah dijual.“Patuhlah maka kami juga ti—akh!”Gigitan kuat Alice berikan kepada pria tersebut. Pistol yang sebelumnya berada di tangan pria itu pun terjatuh ke atas lantai.Dengan sigap Alice meraih pistol itu lalu melangkah mundur, menjauhi dua pria yang sedang menatap tajam padanya.“J-Jangan mendekat,” ucap Alice, menodongkan pistol tersebut ke arah kedua pria itu.Namun sayangnya kedua tangannya terlihat semakin bergetar karena ini pertama kalinya dia memegang kedua pistol itu.Keributan itu membuat beberapa orang yang berada di hotel langsung berbisik-bisik sembari menatap ke arah Alice dan dua orang pria berbadan kekar itu. Menyadari hal itu salah satu pria bicara agar pada pengunjung hotel."Maaf, jika nona kami ini menganggu kenyamanan anda semua. Nona kami ini sebenarnya kurang waras, dia merasa jika suaminya di culik saat akan menikah. Itulah sebabnya kami ingin mengantarnya ke sini untuk istirahat, karena dia menganggap apa yang dilihat itu musuhnya dan orang asing seperti temannya. Mengenai pistol itu, itu cuma mainan hanya sama persis seperti sungguhan." ujarnya memastikan tidak ada yang curiga.“Hei, kamu itu lemah, jadi tidak mungkin bisa menembakkan pistoll itu ke kami. Lebih baik serahkan pistol itu sekarang, selagi kami memintanya baik-baik,” ucap salah satu pria tersebut, dengan menahan rasa geramnya karena Alice malah membuat keributan.Alice terdiam dengan kepala yang tertunduk. Perlahan dia menurunkan pistolnya itu.“Nah, begitu. Cepat kema—”“A-Aku tidak akan ikut dengan kalian,” ucap Alice, memotong cepat ucapan pria itu.Tanpa diduga, Alice mengangkat kembali pistol dengan sebelah tangannya yang bergetar. Dia sekali lagi menodongkan pistol tersebut, namun kali ini ke arah kepalanya sendiri.“Apa yang mau kamu lakukan?!” bentak pria itu panik.“L … Lebih baik aku mati, daripada harus ikut dengan kalian,” lirih Alice dengan air matanya yang tidak henti-hentinya mengaliri wajahnya.“Jika hidupku memang tidak berarti untuk siapapun, lebih baik aku pergi dari dunia kejam ini.”Saat Alice menarik pelatuk pistol tersebut, seketika dia merasakan pukulan yang sangat keras pada tengkuk lehernya.Kedua mata Alice terbuka lebar dengan mulutnya yang ikut sedikit terbuka. Tubuhnya pun limbung ke depan dan pistolnya juga terlepas dari genggaman tangannya.“Sudah aku bilang yang patuh tapi dia malah bikin ribut kayak gini,” geram pria itu mengambil kembali pistolnya. “Seret dia!”Rekan pria itu pun tanpa ragu menarik rambut Alice dan menyeret tubuh Alice begitu saja, hingga masuk ke dalam lift yang sudah menunggu mereka itu.Rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat Alice menangis dalam diam. Penglihatannya pun mulai mengabur karena rasa pening di kepalanya saat ini.Belum lagi saat tubuhnya kembali diseret keluar dari dalam lift, membuat kesadaran Alice kian menipis.‘Aku … tidak tahan lagi.’Perlahan kedua matanya terpejam, namun sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, Alice mampu mendengar suara yang masuk ke indera pendengarannya. Suara itu berbeda dari kedua pria yang menyeret dirinya.“Tuan, wanita itu ada di dalam."Deg!Acara yang sudah disusun sedemikian matang akhirnya gagal karena satu hal yang tidak mungkin dilakukan mengingat akan banyak orang yang akan terlibat di dalamnya Alaric tidak ingin mengambil resiko terlebih kejadian yang belum lama ini dialami oleh istri dan anaknya sehingga rencana pun berubah. Walau demikian Alice, sebagai istri tentu mendukung penuh apa yang diinginkan oleh sang suami. Tanpa mencampuri tangan orang banyak sang suami tentu bisa menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari-hari berlalu dengan tenang semua yang terlibat di dalamnya pun tentu merasa takut karena selama beberapa hari ini pun tidak ada yang mengusik ataupun bergerak untuk menangkap mereka justru sebaliknya keluarga kecil itu tengah berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di kota."Sebenarnya apa yang di rencanakan, kamu?""Hum, kamu keberatan dengan ketenangan ini?"Alice menggeleng tentu tidak terganggu dengan ketenangan yang dibuat oleh sang suami namun selain itu ada hal yang membuatnya merasa
"Ayah!!""Sayang, kamu tidak apa-apa?"Arka menggeleng cepat wajahnya ia benamkan dalam ceruk leher Alaric."Benar yang tante katakan tadi kan? Ayah akan datang untuk menyelamatkan kita. Tuan, Alaric terima kasih, sudah menyelamatkan kami.""Sayang apa mereka menyakitimu?"Arka kembali menggeleng sesaat memperhatikan Larissa yang menatapnya."Ayah, bawa aku pergi dari sini. Aku takut,""Ya, sayang, kita akan pergi."Alaric membawa Arka pergi tak lama langkahnya terhenti saat suara dari belakang terdengar."Tuan, anda tidak mengajakku pergi? Aku sudah berusaha untuk melindungi den Arka,"Tanpa mengatakan ataupun menjawab Alaric meninggalkannya begitu saja. Sesuatu terjadi dan putranya tengah ketakutan."Ben, urus wanita itu jangan biarkan salah satu lepas termasuk dia.""Baik, tuan.""Ayah, mama, mana?""Mama, sedang menunggu kita di rumah, nak. Anak ayah yang tampan dan hebat ini apa sudah bisa ceritakan pada ayah?"Arka terdiam tubuhnya terasa sedikit bergetar. Alaric tahu ada yang t
Alaric bersikap tenang membuat pria paruh baya mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tahu apa yang akan terjadi jika salah bicara bukan hanya dirinya tapi juga seluruh keluarga akan hancur bahkan kematiannya tidak akan terendus oleh pihak berwajib sehingga ia di nyatakan mati sewajarnya.Membayangkan hal itu membuat buku kuduknya berdiri tatapan yang terlihat tenang itu justru tatapan sebaliknya. Tatapan seorang pembunuh berdarah dingin, siapa tak kenal Alaric dalam dunia bisnis dan bawah dua orang yang di takuti banyak orang termasuk lawan bisnisnya."Haruskah aku percaya? Atau kau ingin kita bermain-main lebih dulu tuan?""Hahaha, becandamu tidak bisa membuatku tertawa. Tapi, sedikit menggelitik.""Tuan, cobalah untuk jujur agar tidak ada hal yang membuat kita tidak nyaman terlebih anda." "Boy, kau belum mengenalku sepertinya. Aku tidak pernah bermain-main dan apa yang aku katakan itu adalah sebuah kejujuran.""Oke, kali ini aku percaya tuan Rendra. Anggap saya percaya dengan perkataa
Alice membuka matanya aroma obat tercium begitu menyengat di hidungnya. Memindai seluruh ruangan bercat putih. Alice mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Sesaat tubuhnya bergetar mencoba untuk bangkit namun sayang tubuhnya begitu sulit untuk di gerakkan."Sayang, kamu sudah sadar? Kamu tidak boleh bergerak, tetap seperti ini,""Arka, di mana Arka? Kamu berhasil menyelamatkan anakku kan? Katakan padaku Alaric, mana anakku!!" Alice memukul dada bidang Alaric, putranya tidak ada di sampingnya. "Sayang, kamu harus tenang ya?" Alaric mencoba untuk memeluk Alice, tapi sayang Alice tetap memberontak dan bahkan berulang kali mendorong tubuh Alaric meski tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Alice mencoba melepaskan diri saat Alaric berusaha untuk menenangkan dirinya walau tubuhnya lemah Alice tetap berusaha untuk turun mencari keberadaan putranya."Aku janji akan membawa anak kita dengan selamat. Tidak ada satu goresan dalam tubuhnya, aku janji sayang." Alaric merengkuh tubuh istrinya y
Alice memilih menu untuk mereka nikmati bersama tanpa bertanya karena ia tahu jika Ratmi menyukai makanan yang sama dengannya. Bahkan Larissa pun memilih makanan favorit walau ia beralasan penasaran dengan menu yang di lihatnya mengunggah seleranya. "Setelah ini anda mau ke mana nyonya?" Larissa memecah keheningan di antara mereka setelah menikmati makan siang di tempat yang di pilih oleh Arka. "Pulang, di rumah ada mama. Tapi sepertinya Arka ingin berkeliling sebentar," "Ya, nyonya anda benar sekali, sepertinya den Arka masih ingin bermain apa sebaiknya kita nunggu sebentar agar den Arka puas bermain?" usul Larissa. Alice membenarkan perkataan Larissa, selagi Emre di luar kebetulan Alice sudah lama tidak mengajak Arka bermain di luar rumah. "Ya, benar. Kita tunggu sebentar." Mereka mengikuti langkah kecil Arka yang memilih satu permainan yang di inginkan olehnya. Walau sejak tadi sudah bermain, tetapi tak terlihat lelah di wajahnya. Alice sesekali menanggapi perkataan La
Alaric yang menceritakan semua yang terjadi di proyek pada Alice. Sebagai seorang suami ia harus jujur terhadap istrinya apapun yang terjadi di luar rasa, termasuk musibah yang menimpa mereka berdua sehingga Alaric menyelamatkan nyawa Larissa sebagai bentuk terima kasihnya yang sudah di selamatkan.Mereka memilih menginap di salah satu penginapan yang tak jauh dari proyek itu pun semua dilakukan demi rasa kemanusiaan dan tentu hal itu membuat Alice semakin mencintainya karena kejujuran laki-laki yang kini telah menjadi seorang ayah untuk putranya. "Aku tidak akan marah ataupun cemburu, apa yang kamu lakukan itu sudah benar tentu aku akan bangga dan mengucapkan terima kasih padanya untuk kedua kalinya dan menyelamatkan suamiku. Dan salah satunya karena ulah anak kita dan yang kedua adalah kamu, bagaimana jika dia tidak menyelamatkan kamu tentu saat ini kamu tidak berada di hadapanku namun sebaliknya aku dan anakku menangis mengiringi kepergianmu"Hal itu tidak mungkin terjadi padaku k