Evan.Ia berdiri tenang, mengenakan setelan jas gelap yang membingkai tubuh tingginya dengan sempurna. Rambutnya rapi, senyumnya tipis. Tapi mata itu—mata yang dulu menatap Alya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. “Nona Alya.” Suaranya terdengar ringan, seperti tak ada beban di antara mereka.Alya menahan napas. “Apa yang anda kerjakan di sini?”Evan melirik ke pintu ruang rapat yang tertutup. “Aku ada janji sama bosmu. Mau presentasi proposal kerja sama.”“Proposal?” Alya menyipitkan mata. “Anda sangat yakin sekali bisa bekerja sama dengan kami, Tuan,” ujar Alya meremeh kan keinginan Evan yang sulit untuk menembus kerja sama dengan perusahaannya. Evan tersenyum tipis, sejak pertemuan dan perbincangan kerja sama yang ingin Evan lakukan dengan perusahaannya. Memang, Alya seolah tak memberikan celah agar perusahaannya bisa melakukan kerja sama. Tentu saja, Evan tak akan menyerah begitu saja, sampai ia bisa bekerja sama dan akan sering bertemu Alya. Dan satu …merebut Alya kemba
Wajah itu—yang barusan bersikap tenang—mendadak menegang. Ia berdiri begitu cepat sampai kursi di belakangnya bergeser keras.“Ada apa?” tanya Evan, ia ikut penasaran dengan apa yang terjadi pada Alya tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Maaf, aku… harus pergi. Maaf,” jawab Alya cepat. Ia meraih tasnya tanpa sempat meneguk air minum yang baru tersaji di atas meja makan mereka. Kabar yang baru saja ia dapat lebh penting dari pertemuan yang sama sekali tidak ia inginkan. “Biar kuantar,” kata Evan, mencoba berdiri di jalurnya. Evan menawarkan bantuan bantuan ketika melihat Alya tiba-tiba panik. “Tidak!” jawab Alya, lebih keras dari yang ia sadari. Pandangannya segera melunak, tapi ekspresi paniknya tak bisa ditutupi. “Maaf, Evan. Aku benar-benar harus pergi sekarang.”Evan memicingkan mata. “Alya, kau baik-baik saja? Setidaknya biar aku—”“Aku bilang tidak,” potong Alya, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar restoran.Evan terdiam sejenak. Tapi nalurinya sebagai pria yang terbiasa deng
Mesin mobil meraung pelan menembus kesunyian malam. Suasana di dalam mobil itu begitu hening, seolah-olah suara apa pun bisa membuat semuanya runtuh. Hanya ada detak jam digital dashboard dan hembusan napas tergesa dari seorang anak kecil yang tertidur dalam pangkuan ibunya—atau lebih tepatnya, tergolek lemah.Alya duduk dengan tubuh kaku, memangku Cale yang tampak pucat dan lemas. Tubuh mungil anak itu panas membara, membuat peluh Alya mengalir deras meski AC mobil dinyalakan cukup dingin. Tangannya tak henti membelai rambut anaknya dengan gelisah. Ia nyaris tak berani berkedip, matanya terus mengamati dada kecil Cale yang naik turun dengan napas cepat, tidak teratur.Kecemasan telah mencengkeramnya sejak telepon darurat dari pengasuh datang. “Bu, Cale demam tinggi dan muntah-muntah terus,” begitu katanya dengan suara panik. Tanpa pikir panjang, Alya langsung pamit dari makan malam bersama Evan dan berlari pulang.Kini, ia berada dalam mobil Evan. Pria yang sudah lima tahun tak ditem
Cahaya lampu ruang perawatan menyinari wajah pucat Cale yang terbaring lemah di atas ranjang. Jarum infus tertancap di tangan mungilnya, membuat Alya tak sanggup menahan gemetar di tubuhnya. Ia duduk di kursi dekat ranjang, tangannya menggenggam jemari putranya yang dingin. Alya melirik ponselnya. Sudah hampir jam 12 malam. Hanya ada mereka di ruangan itu. Dunia di luar begitu sunyi, tapi hatinya penuh suara: kecemasan, rasa bersalah, ketakutan.Setelah ia memastikan Cale nyenyak tidurnya. Alya menuju ke sofa tunggu yang berada di seberang ranjang pasien. Ia ingin menghubungi seseorang yang selalu mampu menenangkan dirinya di kala hatinya sedang resah melanda. Dengan tangan gemetar, ia menekan nama yang tertera di layar: Vira. Satu-satunya orang yang tahu seluruh kebenaran.Sambungan terangkat dalam tiga dering. Suara khas Vira langsung terdengar, meski agak parau mungkin temannya itu akan tidur. “Alya? Ada apa? Kamu telepon malam-malam begini?” Belum sempat menjawab, Vira melanjut
“Bukankah perusahaan ini menyediakan pinjaman untuk karyawannya yang membutuhkan, yang nanti akan dipotong langsung dari gaji bulanan sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan pada perusahaan ini, Pak?” Tanya Alya. Gadis berusia 20 tahun yang saat ini sedang menjadi tulang punggung keluarganya mencoba berargumen pada manajer akunting baru yang tak lain adalah anak dari pemilik pabrik konveksi tempatnya bekerja. Wanita yang sejak beberapa tahun terakhir ini menjadi lemah keadaannya, karena harus mendapati fakta jika sang ibu yang selama ini bekerja keras untuknya dan Safa, adiknya itu harus mengidap penyakit jantung koroner. Pria yang berada di balik meja kerjanya itu menatap tak suka pada Alya yang berusaha mencari simpati kepadanya. Kebijakan baru saja dia buat, tentu saja dia tak akan melakukan pelanggaran atas apa yang sudah diputuskan olehnya. Bagi Evan, permintaan karyawannya itu tak masuk akal. Jumlah yang akan dipinjam bukanlah jumlah sedikit. Melainkan jumlah uang ratusan j
Alya kembali ke ruang kerjanya dengan mata sembab dan langkahnya yang gontai. Banyak pasang mata yang menatap penuh tanya saat melihat kondisi yang terjadi kepada Alya. Tentu saja semua orang yang melihat keadaan Alya tidak seperti biasanya itu saling bertanya satu sama lain. Dan mereka hanya mengira jika sesuatu buruk terjadi pada ibu gadis tersebut.Tiba di ruang kerjanya, sambutan pertama yang Alya dapatkan adalah tatapan cemas dari Vira, rekan kerja satu profesi dengannya yang menjadi desain tiap pakaian yang diproduksi oleh pabrik tekstil tersebut.Vira yang mendapati keadaan temannya yang sedang tidak baik-baik saja itupun tidak tinggal diam. Dia segera mendekat, menatap penuh tanya kepada wanita yang terbiasa ceria itu masuk dengan mata sembab yang masih memerah.“Apa yang terjadi?” Vira yang mendapati sang teman sedang tak baik-baik saja itu pun menjadi panik. Setelah mereka melakukan absensi masuk bekerja, Vira sudah tidak mendapati temannya kembali masuk ke ruang kerjany
“Maaf.” Vira yang sebelumnya terlihat antusias mendengar keluhan dari Alya itu tiba-tiba meminta maaf pada temannya. Dia menatap sendu pada Alya, setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh rekan kerjanya tersebut. Vira tidak mampu berbuat banyak. Sebagai teman yang baik dia hanya mampu mendoakan semoga kalian bisa melewati ujian hidup yang terjadi pada dirinya dan keluarganya tersebut.“Kenapa Mbak minta maaf. Mbak ga salah apa pun loh,” kata Alya. Wanita yang semula sudah bersiap menumpahkan cairan kristal di balik kelopak matanya itu tiba-tiba terkekeh pelan. Dia mengulas senyum cantiknya, menatap pada sang teman karena Vira yang sama sekali tidak melakukan kesalahan malah meminta maaf kepadanya.“Al.” Wanita yang menetap sendu kepada Alya itu bukan suara, masih dengan tatapan nanarnya. Dia berucap, “mbak minta maaf. Kali ini habis tidak bisa membantu lebih untukmu dan keluargamu. Jujur saja Mbak juga habis memberikan pinjaman kepada Mas Emir untuk biaya pendidikannya. Jad
Alya merasa lemas seketika, saat harus menyadari panggilan untuk datang ke sekolah Safa, adiknya. Selain tak bisa mengabaikan masalah biaya yang harus ia dapatkan untuk pengobatan ibunya. Alya juga tidak bisa membiarkan Safa mengalami kesulitan di ujung kelulusan yang sudah di depan mata.Ternyata seperti ini rasanya sekolah di swasta. Semua harus serba dengan uang. Bahkan, saat harus mengikuti ujian akhir pun. Uang masih harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan. “Ada apa lagi?” Tanya Mbak Vira pada Alya. Alya menoleh pada sang teman, menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya membuangnya dengan perlahan.Dia menatap pada Vira sekilas, sebelum akhirnya mengalihkan tatapan pada jalanan menuju ke ruang kerja mereka.“Panggilan dari sekolah Safa, Mbak. Sebentar lagi Safa akan ujian akhir, wali kelasnya meminta Alya untuk datang ke sekolah mengenai perihal uang akhir tahun Safa yang belum terbayar lunas.” Alya sama sekali tidak menutupi gambar yang baru saja ia dapatkan dari wal
Cahaya lampu ruang perawatan menyinari wajah pucat Cale yang terbaring lemah di atas ranjang. Jarum infus tertancap di tangan mungilnya, membuat Alya tak sanggup menahan gemetar di tubuhnya. Ia duduk di kursi dekat ranjang, tangannya menggenggam jemari putranya yang dingin. Alya melirik ponselnya. Sudah hampir jam 12 malam. Hanya ada mereka di ruangan itu. Dunia di luar begitu sunyi, tapi hatinya penuh suara: kecemasan, rasa bersalah, ketakutan.Setelah ia memastikan Cale nyenyak tidurnya. Alya menuju ke sofa tunggu yang berada di seberang ranjang pasien. Ia ingin menghubungi seseorang yang selalu mampu menenangkan dirinya di kala hatinya sedang resah melanda. Dengan tangan gemetar, ia menekan nama yang tertera di layar: Vira. Satu-satunya orang yang tahu seluruh kebenaran.Sambungan terangkat dalam tiga dering. Suara khas Vira langsung terdengar, meski agak parau mungkin temannya itu akan tidur. “Alya? Ada apa? Kamu telepon malam-malam begini?” Belum sempat menjawab, Vira melanjut
Mesin mobil meraung pelan menembus kesunyian malam. Suasana di dalam mobil itu begitu hening, seolah-olah suara apa pun bisa membuat semuanya runtuh. Hanya ada detak jam digital dashboard dan hembusan napas tergesa dari seorang anak kecil yang tertidur dalam pangkuan ibunya—atau lebih tepatnya, tergolek lemah.Alya duduk dengan tubuh kaku, memangku Cale yang tampak pucat dan lemas. Tubuh mungil anak itu panas membara, membuat peluh Alya mengalir deras meski AC mobil dinyalakan cukup dingin. Tangannya tak henti membelai rambut anaknya dengan gelisah. Ia nyaris tak berani berkedip, matanya terus mengamati dada kecil Cale yang naik turun dengan napas cepat, tidak teratur.Kecemasan telah mencengkeramnya sejak telepon darurat dari pengasuh datang. “Bu, Cale demam tinggi dan muntah-muntah terus,” begitu katanya dengan suara panik. Tanpa pikir panjang, Alya langsung pamit dari makan malam bersama Evan dan berlari pulang.Kini, ia berada dalam mobil Evan. Pria yang sudah lima tahun tak ditem
Wajah itu—yang barusan bersikap tenang—mendadak menegang. Ia berdiri begitu cepat sampai kursi di belakangnya bergeser keras.“Ada apa?” tanya Evan, ia ikut penasaran dengan apa yang terjadi pada Alya tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Maaf, aku… harus pergi. Maaf,” jawab Alya cepat. Ia meraih tasnya tanpa sempat meneguk air minum yang baru tersaji di atas meja makan mereka. Kabar yang baru saja ia dapat lebh penting dari pertemuan yang sama sekali tidak ia inginkan. “Biar kuantar,” kata Evan, mencoba berdiri di jalurnya. Evan menawarkan bantuan bantuan ketika melihat Alya tiba-tiba panik. “Tidak!” jawab Alya, lebih keras dari yang ia sadari. Pandangannya segera melunak, tapi ekspresi paniknya tak bisa ditutupi. “Maaf, Evan. Aku benar-benar harus pergi sekarang.”Evan memicingkan mata. “Alya, kau baik-baik saja? Setidaknya biar aku—”“Aku bilang tidak,” potong Alya, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar restoran.Evan terdiam sejenak. Tapi nalurinya sebagai pria yang terbiasa deng
Evan.Ia berdiri tenang, mengenakan setelan jas gelap yang membingkai tubuh tingginya dengan sempurna. Rambutnya rapi, senyumnya tipis. Tapi mata itu—mata yang dulu menatap Alya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. “Nona Alya.” Suaranya terdengar ringan, seperti tak ada beban di antara mereka.Alya menahan napas. “Apa yang anda kerjakan di sini?”Evan melirik ke pintu ruang rapat yang tertutup. “Aku ada janji sama bosmu. Mau presentasi proposal kerja sama.”“Proposal?” Alya menyipitkan mata. “Anda sangat yakin sekali bisa bekerja sama dengan kami, Tuan,” ujar Alya meremeh kan keinginan Evan yang sulit untuk menembus kerja sama dengan perusahaannya. Evan tersenyum tipis, sejak pertemuan dan perbincangan kerja sama yang ingin Evan lakukan dengan perusahaannya. Memang, Alya seolah tak memberikan celah agar perusahaannya bisa melakukan kerja sama. Tentu saja, Evan tak akan menyerah begitu saja, sampai ia bisa bekerja sama dan akan sering bertemu Alya. Dan satu …merebut Alya kemba
Sudah dua malam berturut-turut Alya memandangi langit-langit kamar, dan tetap tidak menemukan jawab dari keresahan yang mengendap dalam dadanya. Cahaya remang dari lampu tidur membentuk bayangan samar di dinding, menari perlahan seiring hembusan udara dari pendingin ruangan. Suara detak jarum jam terdengar lebih keras dari biasanya, seolah menertawakan pikirannya yang tak kunjung tenang.Alya membetulkan selimut Cale yang melorot hingga pinggang bocah itu. Anak kecil itu tidur dalam posisi menyamping, memeluk boneka mobil cars yang selalu menemani. Napasnya teratur, damai. Tak seperti ibunya yang masih terjaga dengan pikiranya yang sedang menerawang oleh rasa cemas yang melandanya. Sejak Evan kembali, Alya merasa seperti kembali diceburkan ke dalam kolam kenangan yang dingin dan dalam. Dulu, ia sempat berpikir bahwa waktu akan menenggelamkan semua rasa. Tapi ternyata, waktu hanya menyimpannya rapat-rapat, dan kini membukanya kembali.“Mommy…”Suara lirih itu membuat Alya menoleh cep
Langit Tokyo sore itu mendung. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang belum siap jatuh. Di dalam gedung kaca berlantai dua puluh satu itu, Alya duduk di balik meja kantornya yang minimalis. Di balik jendela besar, kota terlihat seperti lukisan yang buram. Tapi bukan cuaca yang membuat dadanya sesak sore itu—melainkan nama yang tertera dalam proposal kerja sama yang baru saja dikirimkan tim marketingnya."Evan Sanders."Dua kata yang langsung membuat darahnya surut ke ujung kaki. Dunia seolah berhenti berputar beberapa detik. Jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Bukan karena gugup menghadapi kerja sama baru, tapi karena sosok Evan adalah masa lalu yang tak pernah ingin ia temui lagi—apalagi sekarang.Tangannya bergetar saat membuka slide presentasi yang dikirimkan perusahaan Evan. Ia membaca cepat, dan tak bisa membohongi dirinya sendiri: proyek ini sangat menjanjikan. Tapi yang lebih mengejutkan, ternyata Evan sendiri yang meminta untuk bertemu langsung dengannya.
Tomi tersenyum tipis. “Mereka akan hadir dalam Tokyo Global Textile Forum, tiga hari lagi. Delegasi Kazuki akan menjadi salah satu pembicara utama. Jika Anda datang langsung... kita bisa melewati birokrasi.”Evan mengangguk mantap. “Siapkan penerbangan. Dan pastikan kita dapat akses VIP.”Hari-H, Tokyo dipenuhi aroma musim semi. Gedung kaca tempat forum itu diselenggarakan menjulang elegan. Di dalamnya, para pebisnis, inovator, dan jurnalis dunia industri berkumpul. Evan berjalan masuk bersama Tomi, mengenakan jas abu arang dan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak mendarat.“Mereka di lantai tiga, ruang konferensi C,” kata Tomi sambil membaca jadwal acara.Mereka bergegas menaiki lift. Hati Evan berdegup kencang. Lebih dari sekadar urusan bisnis, ada emosi pribadi yang menyelinap di balik motivasinya. Ia ingin jawaban. Kenapa Alya pergi? Kenapa menghilang tanpa pamit? Dan... kenapa kembali dengan nama baru?Saat pintu konferensi terbuka, ruangan dipenuhi peserta. Di panggung,
Jejak yang KembaliPagi di ruang kerja Evan Sanders tak pernah benar-benar sunyi, tapi pagi ini berbeda. Tidak ada suara gaduh para staf, tidak ada diskusi hangat dari para manajer divisi, hanya detak jam dinding dan suara ketukan sepatu yang nyaris tak terdengar.Evan duduk bersandar di kursi kulit hitam favoritnya, tatapannya kosong menembus jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Tangannya memainkan pena di antara jari-jari. Sejak proyek tekstil mereka tersendat karena bahan baku berkualitas rendah, Evan dilanda kebuntuan. Tidak ada ide segar, tidak ada mitra yang bisa diandalkan, dan tak ada kepercayaan yang bisa diberikan begitu saja di dunia bisnis kejam seperti ini.Tiba-tiba, pintu diketuk dua kali. Tidak menunggu jawaban, seseorang masuk dengan langkah cepat dan teratur.“Tuan Evan, saya punya satu nama perusahaan yang mungkin bisa jadi solusi,” kata Tomi, sekretaris pribadi sekaligus asisten kepercayaannya.Evan melirik sekilas. “Berapa banyak nama yang sudah kau sodorka
Malamnya, setelah makan malam dan Cale tertidur, Alya membuka laptopnya. Ia menulis email untuk Fira, yang sejak dulu menjadi satu-satunya tempat curhatnya.Subject: Kepikiran Ibu.Fir… tadi Ibu nelepon. Dia nonton segmen tentang aku di TV. Mukaku kelihatan jelas banget. Aku takut banget Ibu atau Safa bakal curiga soal Cale. Aku tahu nggak selamanya aku bisa nyembunyiin ini. Tapi aku belum siap. Belum siap kalau Ibu kecewa.Aku cuma pengin jadi ibu yang baik buat Cale. Itu aja.Alya menekan tombol kirim dan memandangi layar lama. Dalam hati ia tahu, semakin lama ia menunda, semakin besar ledakan yang akan terjadi ketika rahasianya terungkap.Pagi berikutnya, saat sedang menyuapi Cale yang ogah-ogahan makan roti, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari nomor yang tak dikenal.“Halo?” “Ini Alya?” “Ya, benar. Maaf, ini siapa?” “Ini saya, Kento Sakamura, dari pihak penyelenggara Asian Creative Award. Anda dinominasikan sebagai Innovative Designer of the Year. Kami ingin mengundang