“Kau tidak salah, Axel. Ayah memang bergerak.”
Putri Kaya memutari Raja Vathu dengan langkah penuh semangat seperti menari. Matanya melebar keheranan. Sementara Firroke terbang kesana kemari memeriksa setiap sudut tubuh Raja Vathu.
“Syukurlah.” Aku berkata penuh kelegaan sambil mendekati ayah dan anak itu. “Syukurlah semuanya bukan hanya imajinasiku saja.”
“Bagaimana ia bisa bergerak?” Ashlyn menanyaiku tapi wajahnya terpaku pada Raja Vathu.
“Aku juga tidak tahu.” Kataku juga tanpa menoleh karena aku sedang sibuk melihat Raja Vathu.
“Ia seharusnya menghadap ke depan, bukan?”
Aku mengangguk tanpa repot menjawab.
“Apa yang terjadi Ayah?” Putri Kaya menyentuh wajah Raja Vathu. “Setelah puluhan tahun, akhirnya kau menggerakkan tubuhmu. Apakah ada yang ingin kau sampaikan pada kami?”
Mau tidak mau kami terdiam. Setelah memastikan bahwa Raja Vathu memang bergerak, tanpa sadar kami jadi mendengarkan dengan seksama saat Putri K
“Ada apa?” Tanya Ashlyn begitu kami berada di dalam kamarnya. Akhirnya setelah keluar dari ruangan Raja Vathu dan aku berhasil terbebas dari gempuran pertanyaan bagaimana aku bisa mendengar Raja Vathu, kami berkumpul di kamar Ashlyn. Aku memandang berkeliling kamar lalu duduk di kursi di dekat jendela yang menghadap ke taman. Kuhembuskan nafas dengan perasaan lega sambil bersandar. “Apa yang kamu rahasiakan?” Ashlyn bertanya lagi sambil menyusulku duduk di kursi yang berada di sisi lain meja. “Tadi waktu Lord Enki memintaku bertanya pada Raja Vathu, sebetulnya aku mendengar suaranya.” “Tapi tadi kamu bilang kamu tidak mendengar apa-apa.” “Itu karena Raja Vathu memintaku berhati-hati.” “Berhati-hati? Berhati-hati kenapa?” Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Tapi, ” Aku berhenti sebentar memeriksa kembali ingatanku. “Ia menyebut nama Lord Enki.” Ashlyn tampak tertegun. “Lord Enki? Memangnya ada a
“Kemarilah.” Putri Kaya melambai dan mempersilahkan kami masuk ke perpustakaan tempat ia sedang menghabiskan waktu sore harinya dengan membaca. Kami mengangguk lalu masuk. Begitu berada di dalam ruangan, jiwa pustakawanku seakan terpanggil membuat aku tanpa sadar menoleh kesana kemari memperhatikan setiap sudut ruangan. Bagaimana rak dan lemari diletakkan dan bagaimana setiap buku dengan sampulnya yang berwarna-warni disusun pada tempatnya. “Kau suka membaca?” Pertanyaan Putri Kaya mengembalikanku dari kesibukanku mengagumi perpustakaan ini. Dengan salah tingkah aku menggeleng. “Tidak juga, Putri.” Meskipun aku suka membaca, aku tidak mungkin mengatakannya karena huruf-huruf yang sepintas lalu kulihat tertulis di buku adalah huruf dan kata-kata asing. Akan lucu rasanya kalau aku mengatakan aku suka membaca tapi saat aku harus membaca aku tidak tahu apa yang aku baca. Bisa berbicara dengan peri di dunia ini saja aku masih merasa heran k
Kami baru saja melewati Celah Sunji saat perutku berbunyi. Aku meringis membalas tatapan Ashlyn. “Sepertinya kita memang harus berhenti. Aku lapar sekali.” “Kita makan setelah sampai di kaki bukit saja. Anginnya terlalu kencang di sini.” Kata Firroke yang duduk sambil berpegangan erat di pelana Misu. “Ya.” Ashlyn mengangguk setuju. Wajahnya tampak sedikit kesal karena rambutnya tidak bisa ia kendalikan. Angin terus menerus meniup tudung mantelnya sampai terbuka. “Aku ingin makan makanan apa adanya, tanpa tambahan topping pasir atau tanah.” Aku tertawa. “Sepertinya angin hari ini lebih kencang dibandingkan saat kita pertama datang, ya.” “Um.” Firroke mengangguk sambil menggumam. Wajahnya tampak serius menghadap ke depan. “Apa kamu perlu ku ikat di pelana agar tidak terbawa angin, Firroke?” Firroke melontarkan pandangan kesal padaku dengan mata besarnya. Aku terkekeh. Entah kenapa menggoda Firroke selalu membuatku senang.
Aku menggeliat saat panas matahari menyengat wajahku. Dengan enggan kubuka mataku dan aku disambut Ashlyn yang sedang berdiri sambil merapikan pakaiannya. “Mau kemana?” Tanyaku dengan malas. “Cuci muka.“ Kata Ashlyn. Aku mengangguk lalu menggeliat sambil merapatkan selimut berniat meneruskan tidur. Ashlyn memakai mantelnya saat sesuatu jatuh tepat di samping wajahku. Sebuah belati stiletto berwarna perak gelap dengan sarung yang dihiasi batu mulia berwarna biru dan ungu. “Hei, hati-hati.” Protesku sambil duduk. Kantukku mendadak hilang dan mataku langsung terbuka lebar karena kejadian yang hampir merenggut ketampanan wajahku tadi. Aku meraih stiletto itu dan menyerahkannya pada Ashlyn. Ashlyn meringis sambil menerima stilettonya lalu menyelipkannya di pinggang. “Maaf.” “Kamu melakukannya dengan sengaja.” “Tidak.” Ashlyn tertawa. “Tapi karena kamu sudah bangun, sekalian saja siapkan sarapan kita. Oke? “ Aku mendengus.
Dihadapan kami berdiri sesosok peri memakai baju berwarna perunggu sambil menenteng busur di tangan kiri dan menyandang tabung berisi anak panah di punggungnya. Di atas baju yang ia pakai itu ia mengenakan mantel berwarna hitam dengan tudung menutupi seluruh kepalanya. Namun yang membuat kami terkejut adalah, yang tadinya kami pikir wajah yang dingin tanpa ekspresi, ternyata sebenarnya adalah topeng yang senada dengan baju perunggu yang ia pakai.“Bagaimana keadaan kalian?” tanya peri itu lagi dengan nada lebih lembut sepertinya menyadari bahwa kami masih dalam keadaan terguncang. Aku dan Ashlyn saling pandang lalu tersenyum lega. Sadar bahwa peri asing ini tidak berniat buruk.“Kami sakit semua.” Kata Ashlyn dengan senyum lemah.Peri itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya memapah Ashlyn. Peri yang satu lagi mendekat lalu mengulurkan tangan berniat membantuku berjalan. Dengan ragu-ragu aku menerima bantuannya karena tubuhnya yang seaka
“Sudah berapa lama kalian berada di sini?” Pertanyaan Flaresh yang tiba-tiba saat kami makan malam membuatku hampir tersedak. Ini adalah hari kedua kami melakukan perjalanan bersama Flaresh dan Lynx. Biasanya ia tidak akan bicara bila tidak ditanya. Apalagi Lynx. Tapi hari ini tiba-tiba ia menanyakan hal tidak terduga. Meskipun aku tahu maksud sebenarnya dari pertanyaannya, tapi aku tidak mau gegabah. “Bukankah kita sama?” “Kalian tahu yang aku maksud.” Flaresh menatap kami. Bahkan dari balik topengnya aku bisa merasakan pandangan matanya yang menusuk. “Apa maksudmu?” “Sudah berapa lama kalian di dunia ini? “ “Apa? Dunia apa?” Arah pembicaraan ini seperti yang aku khawatirkan. Flaresh menghela nafas tidak sabar. “Untuk ukuran manusia, kau pembohong yang buruk Axel.” Aku melongo mendengar perkataan Flaresh. Hanya dalam waktu dua hari ia bisa mengungkapkan fakta bahwa aku adalah manusia dan terlebi
“Kapan kita sampai?” Ashlyn bertanya saat kami semua sedang menikmati sarapan. Flaresh memicingkan mata ke hamparan padang rumput di hadapan kami. “Sebelum siang kita akan sampai di perbatasan Anila.” “Syukurlah.” Aku mendesah lega. Perjalanan kami kali ini memakan waktu yang sangat lama karena letak Anala yang cukup jauh. Tapi aku bersyukur tidak ada halangan berarti yang menimpa kami selain kejadian Darkash terakhir kali. Luka dan lebam di tubuh kami hampir sembuh seluruhnya. Dan Firroke juga hampir pulih meski masih tidak bisa menggunakan sayapnya. “Apa kita akan melewati stepa ini?” Tanya Ashlyn lagi. “Ya.” Jawab Flaresh pendek. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru stepa di hadapan kami. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan rumput tanpa ada pepohonan yang bisa digunakan untuk tempat berteduh. Pasti akan panas sekali siang nanti. Aku menoleh ke belakang kami, ke sabana yang menjadi temp
Rasa kesal dan lelah yang kurasakan mau tidak mau menghilang. Pemandangan indah di hadapan kami membuatku merasa lebih santai. Angin sepoi yang hampir tak pernah berhenti berhembus berhasil menyegarkan baik tubuh dan pikiranku.“Apa kita nanti melewati danau itu?” Tanya Firroke.“Apa kau ingin lewat sana?” Flaresh balik bertanya. “Sepertinya akan menyenangkan.”Flaresh mengangguk.