Share

Bab 9

Author: Giselle
Puspa teringat bahwa seminggu telah berlalu. Waktu itu, Damar berkata dia sangat sibuk dan mengusulkan agar mengembalikan anak anjing itu minggu depan.

Beberapa hari yang lalu, Puspa juga berdiskusi dengan Nenek Aryani terkait rencananya memelihara anak anjing. Nenek Aryani langsung setuju. Ada teras di luar loteng, jadi anak anjing itu punya ruang untuk bergerak. Karena Puspa telah memutuskan untuk memelihara anak anjing, dia akan mendidiknya dengan baik. Selama gonggongannya tidak terlalu keras dan tidak mengganggu tetangga, anjing itu juga bisa menemani Sisy saat Puspa sedang sibuk.

Puspa jadi banyak berpikir minggu ini.

Belum lagi kenyataan bahwa Damar sudah punya pacar.

Sekalipun tidak, tidak mungkin juga dia bisa bersama lagi dengan Damar.

Mulai sekarang, Puspa akan menghindari nomor telepon Damar saat pergi kontrol ke rumah sakit.

Kota Solana sangat besar, jadi Puspa juga tidak mungkin berulang kali bertemu dengannya.

Linda menatap wajah Puspa yang cemberut dan bertanya, "Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Kamu ada waktu besok? Aku mau ke pasar anjing dan beli anak anjing buat Sisy."

"Oke, sampai jumpa besok pagi."

Pagi berikutnya.

Linda menyetir dan membawa Puspa ke pasar hewan peliharaan.

Seekor anak anjing bertubuh gemuk dan bulat, serta berwarna krem. Anak anjing itu menjilati jari-jari Puspa.

Mata kecilnya terlihat sangat pintar.

Puspa membeli anak anjing itu.

Ketika Puspa membawa anak anjing itu pulang, Sisy sangat terkejut dan menggendong anjingnya dengan hati-hati. Namun, Puspa juga menyadari bahwa di balik keterkejutan dalam pandangan putrinya, sebenarnya ada sedikit rasa kehilangan.

Karena anjing ini bukan anak anjing lokal yang putrinya selamatkan.

Di dunia ini, ada hal-hal yang memang tidak dapat tergantikan.

"Sisy, ayo kita beri nama." Puspa membelai poni putrinya dengan lembut.

"Hmm ...." Sisy berpikir sejenak.

Setelah memikirkan banyak nama, keduanya akhirnya memutuskan nama "Roro".

Roro berperilaku sangat baik dan bisa beradaptasi dengan lingkungan baru begitu dibawa pulang.

Puspa membeli beberapa perlengkapan hewan peliharaan.

Roro sangat imut. Dia selalu suka tiduran di sandal Puspa di malam hari. Setiap kali Puspa bangun dari tempat tidur, Puspa pasti refleks mencoba-coba sandalnya karena takut menginjak Roro.

Minggu ini, Puspa tidak pernah menerima panggilan lain dari Damar kecuali panggilan yang tidak dijawab Puspa karena sibuk.

Karena kesibukannya, Puspa perlahan melupakan masalah ini.

Hingga Rabu datang.

Linda menutupi perutnya dan meminta bantuan Puspa.

"Puspa, kamu ada waktu siang ini? Aku lagi kram datang bulan parah. Tolong bantu aku. Ini makan siang yang diminta Bu Natasha."

"Tolong kirimkan ke ruang nomor 2 dari poli bedah jantung di Rumah Sakit Kedua di Jalan Pramana. Bu Natasha membeli makan siang ini untuk pacarnya."

Melihat wajah Linda yang memucat kesakitan, Puspa pun setuju.

Linda adalah asisten Natasha dan biasanya melakukan banyak tugas.

Puspa pergi ke Rumah Sakit Kedua di Jalan Pramana. Waktu menunjukkan pukul 11.50. Ruang nomor 2 terbuka dan ada beberapa pasien di dalamnya. Puspa berjalan ke pintu klinik untuk meletakkan makan siang itu, lalu berjalan pergi.

Namun, di luar dugaan Puspa.

Pacar Natasha ternyata adalah Damar.

Cahaya keemasan bersinar melalui jendela dan menyinari pakaian putih Damar sehingga memberikan sedikit kesan sejuk. Damar tampak fokus mengetik di keyboard untuk meresepkan obat sambil memberikan instruksi spesifik kepada pasien di sebelahnya.

Puspa menggenggam rantang makanan yang dia bawa dan menggigit bibirnya erat-erat.

Tindakannya seolah diperbesar. Tepat saat Puspa mengangkat kakinya untuk mundur, Damar mendongak dan menatapnya.

Langkah Puspa langsung membeku.

Damar mengernyit, lalu mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja.

"Masuklah."

Para pasien di klinik telah pergi, hanya Puspa dan Damar yang tersisa di tempat itu.

Puspa menenangkan dirinya dan berjalan selangkah demi selangkah.

Dia meletakkan rantang makanan itu di atas meja.

"Pacarmu, Natasha, memintaku membawakan ini. Pengasuh Keluarga Lingga yang menyiapkannya. Minumlah selagi hangat."

Puspa tampak seperti boneka dengan misi yang ditetapkan dan bersiap pergi setelah mengatakan ini.

"Pacarku?" sahut Damar dengan suara yang rendah dan agak dingin. "Kok aku sendiri nggak tahu?"

"Bu Natasha adalah bosku. Kami semua tahu tentang hubungan asmaranya baru-baru ini." Puspa tiba-tiba teringat suara wanita yang didengarnya di ponsel Damar beberapa malam yang lalu. Mungkinkah itu suara Natasha?

"Ini urusan pribadi kalian. Pokoknya, aku sudah mengantar makan siangnya. Sudah ya, aku pergi dulu."

Puspa tidak ingin berlama-lama meladeni Damar.

Namun, ketika Puspa berbalik hendak pergi, tiba-tiba Damar mencengkeram pergelangan tangannya. Sebelum Puspa sempat bereaksi, Puspa terhuyung beberapa langkah ke depan dan langsung jatuh ke pelukan Damar..

Itulah yang terjadi pada saat ini.

Salah satu tangan Damar mencengkeram pinggang Puspa.

Tangan Damar yang satu lagi memegang dagu Puspa, ibu jari Damar menekan bibir lembut Puspa.

"Tolong bantu aku, Nona Puspa," bisik Damar.

Ujung jari Damar terasa agak kasar.

Gesekan kecil itu membuat bulu mata Puspa bergetar.

Damar melirik sosok yang berjalan masuk dari pintu dan menyipitkan matanya sedikit, lalu meraih pinggang wanita di pelukannya. Dia terkejut melihat betapa rampingnya pinggang Puspa. Damar menarik Puspa ke depan dengan kuat dan Puspa langsung duduk di pangkuannya.

Setelah itu, Damar menundukkan kepalanya dan mencium Puspa.

Namun, ciuman itu mengenai ibu jari Damar dan tidak menyentuh bibir Puspa secara langsung. Meskipun begitu, tetap saja jarak mereka begitu dekat.

Hanya sejengkal jauhnya.

Sekujur tubuh Puspa menegang dan dia menatap wajah di depannya dengan mata terbelalak. Damar memiliki alis yang tinggi dan tampan, hidungnya juga mancung.

Deru napas mereka saling terkait.

Dan benar-benar diselimuti oleh aura Damar yang kuat.

Rasanya sekujur tubuh Puspa jadi mati rasa.

Otak Puspa tiba-tiba berdengung.

Dia refleks mendorong Damar menjauh, tetapi tangan Damar justru merangkul pinggang Puspa dengan lebih erat.

Puspa benar-benar bingung.

"Ah, apa yang kamu lakukan!"

Jeritan seorang wanita terdengar di pintu klinik.

Jeritan itu juga menyadarkan Puspa. Damar mengangkat tangannya yang memegang pinggang ramping Puspa dan menempelkan bagian belakang kepala Puspa ke dadanya. Damar melihat ke arah pintu dan berkata, "Nona Ratna, ini sudah jam pulang kerja. Kamu nggak berhak ikut campur dengan urusanku."

"Damar, apa kamu menolakku karena wanita ini? Apa bagusnya dia? Kedua keluarga kita sudah saling kenal bertahun-tahun. Aku lebih cocok untukmu daripada dia!"

Jari-jari Damar yang dingin dan ramping dengan lembut menjelajahi punggung ramping Puspa. Pupil matanya yang gelap menatap pintu dan dia berkata kepada Ratna dengan dingin, "Tutup pintunya. Aku nggak akan mengantarmu."

Ratna menatap punggung Puspa dengan saksama.

Dia menggertakkan gigi.

Seolah-olah hendak melubangi punggung Puspa.

Puspa terlambat menatap sorot tatapan Damar yang mendalam. Mata sipit nan indah itu penuh godaan. Baru pada saat itulah Puspa menyadari bahwa Damar sengaja bertindak seperti itu agar Ratna melihatnya.

Damar ingin menyingkirkan wanita yang mengejarnya dengan getol.

Dari sudut pandang Ratna, Damar dan Puspa tampak seperti sedang berciuman.

Padahal, sebenarnya bibir mereka berdua tidak menempel.

Hanya jaraknya saja yang begitu dekat ….

Tubuh mereka sampai nyaris saling menempel.

"Nona Puspa, sampai kapan kamu mau duduk di pangkuanku?" tanya Damar dengan suaranya yang serak dan memikat. Damar menatap mata Puspa yang jernih dan agak termangu itu sambil tersenyum kecil dengan kesan memikat.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 100

    Namun, di balkon itu, seolah ada batas antara terang dan gelap.Sosok pria yang tegap dan ramping berdiri di antara cahaya redup dan bayangan.Tak seorang pun tahu.Dia menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh.…Hari ini, Puspa datang ke kantor agak terlambat. Meskipun di Studio Desain L&M jam kerjanya fleksibel, tetapi seiring berjalannya waktu, tahun ini hampir berakhir. Menjelang akhir tahun dan penilaian kinerja, semua orang mulai bekerja lebih giat.Baru saja Puspa duduk di mejanya, karena beberapa hari lalu komputernya bermasalah dan teknisi belum memperbaikinya, Puspa pun terpaksa mengeluarkan tabletnya dari tasnya.Belum sempat duduk dua menit dan melepas jaket, rapat rutin sudah dimulai. Seperti biasa, prosesnya tidak pernah berubah. Setelah rapat bubar, Natasha memanggilnya.Natasha meminta Puspa mengerjakan sebuah pesanan pribadi, merancang sebuah gaun pesta, dengan tenggat setengah bulan.Natasha menawarkan harga yang pantas dan Puspa mengangguk setuju."Baik, akan k

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 99

    "Mana ada orang berkata begitu tentang adiknya sendiri? Kamu ini kok nggak mendoakan yang baik-baik."Belum sempat Naira menjawab ….Elvira sudah menambahkan, "Aku tahu, sepupunya Rama itu kan Argo. Kakeknya Argo profesor senior di Universitas Solana. Sepertinya, dia pasti sulit menerima keadaan seperti ini."Naira tak berhasil mendapatkan jawaban. Hatinya juga ikut merasa tak tenang.Naira menopang lengan Elvira, berjalan menuju taman kecil di luar rumah. Keduanya berjalan santai sambil mengobrol.Elvira terlihat seperti seorang nenek-nenek ramah yang sedikit usil. Namun, di masa mudanya dia pernah mendampingi Dipta berkiprah di dunia bisnis. Pengalamannya dan wawasannya tentu luar biasa.Naira akhirnya masih mencoba membela diri. "Aku cuma bilang andaikan saja .…""Andaikan sekalipun tetap nggak boleh. Kalimat ini cuma boleh kamu ucapkan di depanku saja. Kalau ayahmu sampai dengar, bisa-bisa dia marah besar dan tekanan darahnya langsung melonjak."…Damar pulang ke rumah.Nemo hanya

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 98

    Alis Damar sedikit bergetar.Dia menunduk, menggigit sebuah apel.Di luar jendela, malam begitu pekat. Hanya lampu jalan, pejalan kaki dan bayangan kendaraan yang samar berbaur.Cahaya itu jatuh di wajahnya.Dalam dan dingin.Lalu menerangi apel di tangannya, merah menyala, indah sekali.Sisy memberinya apel itu, yang terbesar dan paling merah di antara semuanya.Namun, makin dimakannya, rasa asamnya makin menusuk."Bilang pada ibu, minggu depan aku sibuk. Minggu depannya lagi juga sibuk. Suruh dia nggak usah repot soal itu. Beberapa putri keluarga terpandang yang dia kenalkan padaku, aku nggak akan datang ke pertemuan itu."Naira merasa, saat ini hal yang paling mendesak bukan soal datang atau tidak datang ke pertemuan.Namun ….Adiknya.Pewaris bungsu Keluarga Abimanyu. Keluarga konglomerat papan atas di Kota Solanaakan ikut campur dalam pernikahan orang lain."Damar, kamu tahu nggak, kalau orang tua kita sampai tahu, ini bisa jadi masalah besar?""Kan sekarang mereka belum tahu? La

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 97

    "Hmm." Sisy mengerjap-ngerjapkan matanya."Kalau begitu, Sisy juga suka Paman Rudy?""Suka, dong."Ibu Rudy sangat akrab dengan Nenek Aryani. Mereka tinggal di kompleks yang sama. Nenek Aryani tinggal sendirian di rumah. Jika pancuran bocor atau lampu rusak, Rudy biasanya datang membantu memperbaiki saat dia sedang luang.Sisy sudah sering melihatnya.Puspa semula mengira gadis kecil itu akan menjawab dengan tegas.Berhubung anak-anak seusia ini biasanya berpikir lebih sederhana daripada orang dewasa.Namun, yang tidak disangka Puspa ….Sisy justru melihat tanda-tanda keraguan dan berpikir di wajah Sisy."Suka Paman Eudy itu bagus, tapi Paman Damar lebih … lebih bagus."Melihat Puspa terdiam ….Sisy melanjutkan kata-katanya, "Ibu, waktu ulang tahunku nanti, boleh nggak ajak Leo dan Paman Damar datang bersama?"Ulang tahun Sisy jatuh satu minggu lagi.Puspa mengusap rambut gadis kecil itu. "Sisy, hari itu kan hari Sabtu. Kita harus pulang menemui buyut.""Oh." Gadis itu sedikit kecewa.

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 96

    Damar duduk di sofa.Sofanya kecil, tetapi sangat empuk.Di atasnya terhampar bantalan sofa berwarna krem.Ruang tamunya tidak besar, tetapi di setiap sudut terasa kehangatan.Di atas meja, ada bunga dalam vas kaca bening.Di ambang jendela, beberapa pot tanaman sukulen tersusun rapi.Televisinya kecil dan model lama. Di meja televisi menempel beberapa stiker bergambar yang disukai anak perempuan.Udara di ruangan membawa aroma segar dan nyaman.Permukaan meja agak berantakan, ada buku milik seorang gadis, selembar buletin tulis tangan dan berbagai spidol cat air. Begitu pulang, Sisy langsung duduk di sana, menggambar dengan penuh keseriusan.Damar memandangnya.Sisy mengangkat kepalanya. "Paman Damar, mau makan buah?"Damar ingin berkata, aku nggak mau.Namun, dia malah menganggukkan kepalanya.Sisy segera berdiri, berlari kecil ke arah kulkas. Saat dia berlari, ekor kuda rambutnya bergoyang ke sana kemari, sungguh menggemaskan.Sisy membuka kulkas, berjinjit, lalu memanggil ibunya. S

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 95

    Di dalam kompleks, tidak banyak orang yang tahu jika dia pernah menikah dan bercerai dengan Albert. Pernikahan yang mereka sepakati itu pun bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan atau layak diumbar. Terutama bagi orang-orang yang lebih tua, mereka tidak akan memahaminya.Daripada membuang-buang waktu menjelaskan kepada orang yang memang tidak mau mendengar, percuma saja. Jika kamu menjelaskannya kepada nenek-nenek berusia enam puluh atau delapan puluh tahun, mereka juga tidak akan percaya.Lama-kelamaan, Puspa hanya ingin menjalani hidupnya dengan baik. Dia memilih untuk tidak mendengar ucapan-ucapan yang menyakitkan itu.Tiba di depan rumah.Sisy tiba-tiba tersenyum pada Puspa.Sepertinya Sisy merasa permainan barusan sangat menyenangkan.Di dunia gadis kecil yang polos dan murni itu,Mama mendorong Paman Damar maju, seperti sedang bermain.Puspa pun tersenyum, mengulurkan jari dan mencolek ujung hidung gadis itu. "Ayo turun."Di depan putrinya, Puspa selalu merasa memiliki kekuatan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status