Share

Bab 8

Author: Giselle
Puspa berjalan ke ruang tamu. Sisy begitu mengantuk hingga tidak bisa membuka matanya. Puspa menggendong putrinya ke dalam kamar dan menepuk punggung Sisy, lalu meletakkan boneka kelinci merah muda itu ke dalam pelukan Sisy.

Puspa membantu putrinya mengemasi tas sekolahnya dan memandangi anak anjing berwarna krem yang digambar Sisy di koran.

Puspa menghela napas.

Dia memutuskan untuk pergi ke pasar hewan peliharaan besok.

Damar melemparkan ponselnya ke atas meja samping tempat tidur, menggantungkan handuk abu-abu di lehernya dan menyeka rambutnya dengan santai.

Naira berdiri di dekatnya dan mengajukan serangkaian pertanyaan, "Apa pasiennya perempuan? Dari suaranya menurutku dia masih muda dan cantik. Apa dia lajang? Bicaralah padanya dengan lebih lembut. Apa anak anjing gembul ini miliknya?"

"Naira, sejak kapan kamu jadi suka bergosip seperti ini?" Damar merendahkan suaranya dan menurunkan pandangannya sambil memanggil kakaknya dengan nama.

"Ya ampun, aku ini hanya agak khawatir denganmu."

Damar tersenyum kecil dan melemparkan handuk ke sofa. Rambut hitam pendeknya tampak agak mengembang dan setengah tergerai di depan dahinya. "Apa matamu seperti sinar X? Bisakah kamu mengenali wajah seseorang hanya dengan mendengarkan suaranya melalui telepon? Kamu 'kan kurang dihargai di Grup Abimanyu, bagaimana kalau kamu pergi ke pusat khusus? Kamu punya kekuatan super ini."

"Cantik, ya?" Naira langsung tertarik.

"Jelek," jawab Damar dengan santai tanpa mengangkat pandangannya. Dia duduk di sofa, membuka laptop dan melihat-lihat rekam medis.

"Tutup pintunya."

"Dia pasti cantik." Naira tahu betul temperamen adiknya. Dia yakin Damar terpaksa mengatakan yang sebaliknya. Naira pun menghampiri Damar dan duduk, lalu bertanya, "Namanya Puspa? Bagus sekali. Apa kamu punya fotonya? Coba kulihat."

"Naira, sejak kapan kamu jadi cerewet seperti Ibu?"

Damar mengetuk-ngetuk udara dengan jari-jari rampingnya. "Putrinya sudah setinggi ini dan menderita penyakit jantung bawaan. Dia terdaftar di rumah sakitku."

"Dia sudah menikah?"

Naira sontak tertegun. "Ternyata dia pasien, ya. Kukira …."

Saat melihat tatapan adiknya yang dingin dan acuh tak acuh itu, Naira akhirnya berkata dengan pasrah atas instruksi kedua orang tuanya. "Sana temui putri Keluarga Lingga. Dia itu putri kesayangan si kepala staf loh."

"Sudah," jawab Damar sambil menyerahkan ponselnya. "Aku sudah menambahkannya di WhatsApp dan kami sudah mengobrol. Katakan pada Ibu bahwa misi ini selesai."

Naira langsung tahu ada yang tidak beres ketika melihat ekspresi adiknya yang lesu. Dia membuka ponsel Damar dan membaca riwayat obrolan antara Damar dengan Natasha. Benar saja, isinya benar-benar suram.

Natasha: [Apa Kak Damar lagi sibuk hari ini? Aku punya dua tiket ke festival musik ....]

Damar: [Sibuk.]

Natasha: [Kak Damar, aku punya teman yang punya penyakit jantung. Bolehkah aku berkonsultasi?]

Damar: [Daftar saja.]

Natasha: [Kak Damar, katanya hari Sabtu ini libur, ya? Ayo kita pergi ke bioskop.]

Damar: [Aku ada jadwal bertugas.]

Dari rekaman obrolan ini saja Naira sudah tahu betapa penyendiri dan pelit adiknya dalam berkata-kata. Rasanya kepala Naira jadi sakit.

"Tipe idealmu yang seperti apa? Kamu nggak puas dengan putri Keluarga Lingga? Bagaimana dengan putri direktur rumah sakitmu? Atau putri dari Keluarga Pratama? Putri dari Keluarga Radja?"

Naira juga sedikit terganggu dengan sikap dingin dan acuh tak acuh adiknya. Dia tidak menyangka Damar akan benar-benar memberikan standar.

"Dada besar, pinggang ramping, kaki jenjang dan kulit cerah. Oh, dan aku nggak suka yang terlalu kurus, terlalu cerah atau terlalu pendek. Idealnya sekitar 168 cm."

Naira terdiam sejenak, lalu mendadak terbayangkan sesosok orang.

Naira pun menatap Damar.

Setelah ragu-ragu, dia akhirnya bertanya, "Almira?"

Detik berikutnya, sorot tatapan gelap dan mendalam Damar menyapu ke arah Naira. Damar tidak menjawab lagi, melainkan hanya menutup komputer dan berujar dengan singkat, "Tutup pintunya."

Damar sudah memberikan perintah pengusiran kepada Naira.

Meskipun Naira enam tahun lebih tua dari adik laki-lakinya dan telah menjabat sebagai CEO Grup Abimanyu selama bertahun-tahun, dia terkadang merasa sulit untuk melawan Damar. Temperamen Damar paling mirip dengan Dipta. Jika bukan karena Damar memilih untuk belajar kedokteran karena tidak ingin merusak hubungan antar saudara, yang pasti jadi pemimpin Keluarga Abimanyu berikutnya adalah Damar.

Damar memiliki aura yang cukup kuat dengan sumber daya yang mumpuni.

Dia adalah seseorang yang terlahir unggul.

Setelah Naira keluar dari kamar, Bu Elvira yang telah lama menunggu di pintu pun meraih tangan Naira dan bertanya. Naira mengucapkan beberapa patah kata dan ibunya terlihat pasrah. "Dia itu lagi mencari pacar atau model sih? Tinggi badan yang dia inginkan bahkan bukan bilangan bulat ...."

Bu Elvira pun berpesan kepada putrinya, "Jangan beri tahu ayahmu tentang kriteria pemilihan pasangan ini dulu, nanti ayahmu yang konservatif itu akan menuduh adikmu memiliki selera yang nggak senonoh."

"Bu, apa Ibu ingat ... Waktu Damar kuliah, dia punya pacar ...."

"Iya, ingat. Gara-gara dia 'kan makanya Damar mengirim Diandra ke luar negeri ...." Bagaimana mungkin Elvira Ananta tidak ingat? Waktu itu, semuanya salah Diandra.

Elvira hampir lupa. Senang rasanya apabila bisa mendapatkan gadis itu kembali. Jika gadis itu belum menikah, mungkin Damar bisa balikan dengan gadis itu.

Naira tahu apa yang ibunya maksud.

Namun, ekspresi Damar langsung berubah menjadi suram begitu Naira menyebut nama Almira.

Naira ingin berkata dengan jujur, tetapi dia menahan diri karena melihat ekspresi riang ibunya.

Namun, Naira juga ingat bahwa tujuh tahun yang lalu, tidak lama setelah adiknya pergi ke luar negeri, gadis itu memutuskan hubungan mereka dan bahkan mengirimkan sebuah paket kilat berukuran besar.

Damar baru membuka paket itu saat pulang di Tahun Baru.

Gadis itu mengembalikan semua yang dia miliki selama tiga tahun berpacaran kepada Damar, dia juga membagi semuanya dengan bersih dan menghilang tanpa jejak.

Bahkan biaya sebotol air mineral pun dihitung dengan jelas oleh gadis itu.

Baru pertama kali itu Naira melihat ekspresi adiknya begitu kelam.

Seminggu berlalu dengan cepat.

Puspa berpartisipasi dalam pameran pakaian dan kain di Kota Solana, dia mengumpulkan beberapa bahan.

Beberapa rekannya saling berbisik.

Linda menggenggam tangan Puspa dan berkata, "Sudah dengar? Bu Natasha sedang jatuh cinta. Keluarganya sedang merencanakan pernikahan. Keluarga si calon suami sangat kaya, salah satu keluarga terkemuka di Kota Solana."

Salah satu keluarga terkemuka di Kota Solana? Meskipun Puspa jarang tahu tentang gosip keluarga kaya raya ini, dia sontak terpikirkan akan Keluarga Abimanyu yang menduduki posisi teratas dalam masyarakat kelas atas Kota Solana.

Puspa tidak menyukai beberapa perilaku Natasha di tempat kerja.

Namun, dia juga tidak ingin mengomentari urusan pribadi Natasha.

"Kalau bos yang kaya dan berkuasa saja bisa menyukai temanku, itu berarti aku bisa hidup enak." Linda mengguncang lengan Puspa dan berkata, "Ayo, Sayang, berusahalah lebih keras dan gunakan kecantikanmu untuk memikat pria."

Puspa tersenyum dan berkata, "Putriku sudah berusia enam tahun."

Lagi pula, Puspa tidak menganggap dirinya cantik.

Meskipun dia menerima pujian dari rekan-rekannya di tempat kerja dan tatapan kagum dari orang yang lewat setelah berat badannya turun, Puspa juga tidak menganggap dirinya cantik.

Mungkin karena dia mengalami terlalu banyak diskriminasi saat masih gemuk dulu.

Rasa rendah diri dan kurangnya kepercayaan diri seolah sudah mendarah daging dalam tubuh Puspa.

"Terus kenapa kalau sudah punya anak? Di masyarakat sekarang, kecantikan adalah aset yang langka." Linda mengangkat dagunya. "Kalau aku laki-laki, aku pasti suka dengan kulitmu yang lembut dan cantik." Lalu, Linda menyentuh pinggang Puspa dan berkata, "Ramping sekali! Kok bisa sih?"

Puspa menepuk tangan Linda, dia beranggapan Linda hanya bercanda.

"Sudah, ayo ambil beberapa foto dan rekam. Kita harus mempelajari kain-kain ini buat rapat besok."

Tiba-tiba, ponselnya bergetar.

Namun, Puspa sedang memotret dengan kameranya. Pameran hari ini penuh sesak. Setelah selesai bekerja, Puspa dan Linda mencari restoran mi untuk makan malam.

Barulah pada saat itu Puspa melihat panggilan tidak terjawab yang masuk ke ponselnya sore ini.

Begitu melihat nomor yang menelepon ….

Nafsu makan Puspa langsung lenyap.

Itu nomor Damar.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 100

    Namun, di balkon itu, seolah ada batas antara terang dan gelap.Sosok pria yang tegap dan ramping berdiri di antara cahaya redup dan bayangan.Tak seorang pun tahu.Dia menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh.…Hari ini, Puspa datang ke kantor agak terlambat. Meskipun di Studio Desain L&M jam kerjanya fleksibel, tetapi seiring berjalannya waktu, tahun ini hampir berakhir. Menjelang akhir tahun dan penilaian kinerja, semua orang mulai bekerja lebih giat.Baru saja Puspa duduk di mejanya, karena beberapa hari lalu komputernya bermasalah dan teknisi belum memperbaikinya, Puspa pun terpaksa mengeluarkan tabletnya dari tasnya.Belum sempat duduk dua menit dan melepas jaket, rapat rutin sudah dimulai. Seperti biasa, prosesnya tidak pernah berubah. Setelah rapat bubar, Natasha memanggilnya.Natasha meminta Puspa mengerjakan sebuah pesanan pribadi, merancang sebuah gaun pesta, dengan tenggat setengah bulan.Natasha menawarkan harga yang pantas dan Puspa mengangguk setuju."Baik, akan k

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 99

    "Mana ada orang berkata begitu tentang adiknya sendiri? Kamu ini kok nggak mendoakan yang baik-baik."Belum sempat Naira menjawab ….Elvira sudah menambahkan, "Aku tahu, sepupunya Rama itu kan Argo. Kakeknya Argo profesor senior di Universitas Solana. Sepertinya, dia pasti sulit menerima keadaan seperti ini."Naira tak berhasil mendapatkan jawaban. Hatinya juga ikut merasa tak tenang.Naira menopang lengan Elvira, berjalan menuju taman kecil di luar rumah. Keduanya berjalan santai sambil mengobrol.Elvira terlihat seperti seorang nenek-nenek ramah yang sedikit usil. Namun, di masa mudanya dia pernah mendampingi Dipta berkiprah di dunia bisnis. Pengalamannya dan wawasannya tentu luar biasa.Naira akhirnya masih mencoba membela diri. "Aku cuma bilang andaikan saja .…""Andaikan sekalipun tetap nggak boleh. Kalimat ini cuma boleh kamu ucapkan di depanku saja. Kalau ayahmu sampai dengar, bisa-bisa dia marah besar dan tekanan darahnya langsung melonjak."…Damar pulang ke rumah.Nemo hanya

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 98

    Alis Damar sedikit bergetar.Dia menunduk, menggigit sebuah apel.Di luar jendela, malam begitu pekat. Hanya lampu jalan, pejalan kaki dan bayangan kendaraan yang samar berbaur.Cahaya itu jatuh di wajahnya.Dalam dan dingin.Lalu menerangi apel di tangannya, merah menyala, indah sekali.Sisy memberinya apel itu, yang terbesar dan paling merah di antara semuanya.Namun, makin dimakannya, rasa asamnya makin menusuk."Bilang pada ibu, minggu depan aku sibuk. Minggu depannya lagi juga sibuk. Suruh dia nggak usah repot soal itu. Beberapa putri keluarga terpandang yang dia kenalkan padaku, aku nggak akan datang ke pertemuan itu."Naira merasa, saat ini hal yang paling mendesak bukan soal datang atau tidak datang ke pertemuan.Namun ….Adiknya.Pewaris bungsu Keluarga Abimanyu. Keluarga konglomerat papan atas di Kota Solanaakan ikut campur dalam pernikahan orang lain."Damar, kamu tahu nggak, kalau orang tua kita sampai tahu, ini bisa jadi masalah besar?""Kan sekarang mereka belum tahu? La

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 97

    "Hmm." Sisy mengerjap-ngerjapkan matanya."Kalau begitu, Sisy juga suka Paman Rudy?""Suka, dong."Ibu Rudy sangat akrab dengan Nenek Aryani. Mereka tinggal di kompleks yang sama. Nenek Aryani tinggal sendirian di rumah. Jika pancuran bocor atau lampu rusak, Rudy biasanya datang membantu memperbaiki saat dia sedang luang.Sisy sudah sering melihatnya.Puspa semula mengira gadis kecil itu akan menjawab dengan tegas.Berhubung anak-anak seusia ini biasanya berpikir lebih sederhana daripada orang dewasa.Namun, yang tidak disangka Puspa ….Sisy justru melihat tanda-tanda keraguan dan berpikir di wajah Sisy."Suka Paman Eudy itu bagus, tapi Paman Damar lebih … lebih bagus."Melihat Puspa terdiam ….Sisy melanjutkan kata-katanya, "Ibu, waktu ulang tahunku nanti, boleh nggak ajak Leo dan Paman Damar datang bersama?"Ulang tahun Sisy jatuh satu minggu lagi.Puspa mengusap rambut gadis kecil itu. "Sisy, hari itu kan hari Sabtu. Kita harus pulang menemui buyut.""Oh." Gadis itu sedikit kecewa.

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 96

    Damar duduk di sofa.Sofanya kecil, tetapi sangat empuk.Di atasnya terhampar bantalan sofa berwarna krem.Ruang tamunya tidak besar, tetapi di setiap sudut terasa kehangatan.Di atas meja, ada bunga dalam vas kaca bening.Di ambang jendela, beberapa pot tanaman sukulen tersusun rapi.Televisinya kecil dan model lama. Di meja televisi menempel beberapa stiker bergambar yang disukai anak perempuan.Udara di ruangan membawa aroma segar dan nyaman.Permukaan meja agak berantakan, ada buku milik seorang gadis, selembar buletin tulis tangan dan berbagai spidol cat air. Begitu pulang, Sisy langsung duduk di sana, menggambar dengan penuh keseriusan.Damar memandangnya.Sisy mengangkat kepalanya. "Paman Damar, mau makan buah?"Damar ingin berkata, aku nggak mau.Namun, dia malah menganggukkan kepalanya.Sisy segera berdiri, berlari kecil ke arah kulkas. Saat dia berlari, ekor kuda rambutnya bergoyang ke sana kemari, sungguh menggemaskan.Sisy membuka kulkas, berjinjit, lalu memanggil ibunya. S

  • Penyakitku adalah Mencintaimu   Bab 95

    Di dalam kompleks, tidak banyak orang yang tahu jika dia pernah menikah dan bercerai dengan Albert. Pernikahan yang mereka sepakati itu pun bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan atau layak diumbar. Terutama bagi orang-orang yang lebih tua, mereka tidak akan memahaminya.Daripada membuang-buang waktu menjelaskan kepada orang yang memang tidak mau mendengar, percuma saja. Jika kamu menjelaskannya kepada nenek-nenek berusia enam puluh atau delapan puluh tahun, mereka juga tidak akan percaya.Lama-kelamaan, Puspa hanya ingin menjalani hidupnya dengan baik. Dia memilih untuk tidak mendengar ucapan-ucapan yang menyakitkan itu.Tiba di depan rumah.Sisy tiba-tiba tersenyum pada Puspa.Sepertinya Sisy merasa permainan barusan sangat menyenangkan.Di dunia gadis kecil yang polos dan murni itu,Mama mendorong Paman Damar maju, seperti sedang bermain.Puspa pun tersenyum, mengulurkan jari dan mencolek ujung hidung gadis itu. "Ayo turun."Di depan putrinya, Puspa selalu merasa memiliki kekuatan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status