Home / Romansa / Penyamaran CEO Tanaka / Bab 3 – Pertolongan Canggung

Share

Bab 3 – Pertolongan Canggung

Author: Jeff Ry
last update Last Updated: 2025-10-15 14:34:32

Hari itu matahari terasa lebih bengis dari biasanya. Proyek cabang Timur berdengung oleh suara mesin, obrolan kasar para pekerja, dan debu yang beterbangan di udara. Ardi berdiri di tengah lapangan, memegang lembaran denah yang sebagian besar masih tampak asing baginya. 

Ardi berusaha fokus, menunduk untuk mencatat hasil pengukuran tiang pancang. Tapi langkahnya tiba-tiba goyah. Ujung sepatunya tersangkut di kabel las yang melintang di tanah, membuat tubuhnya nyaris terjerembab ke depan.

“Pak! Hati-hati!”

Sebuah tangan kecil tapi kuat menarik lengan bajunya sebelum ia jatuh. Ardi mendongak — wajah Maya begitu dekat, mata hitamnya memantulkan cahaya siang yang menyilaukan.

“Kalau jatuh ke situ, bisa kena besi panas, tahu nggak?” Maya menegurnya setengah kesal.

“Ah… iya, maaf. Saya nggak lihat ada kabel,” jawab Ardi, menepuk-nepuk celananya yang kotor.

Risa yang kebetulan lewat menahan tawa. “Wah, pahlawan kita diselamatkan oleh Maya, nih!”

Maya melirik tajam. “Risa, bantu aja kerjaanmu. Jangan godain orang.”

Risa cengengesan. “Siap, Bu Maya.”

Sementara itu, Ardi hanya tersenyum kaku, menunduk menahan malu.

Mereka berjalan beriringan menuju area material, masih dalam keheningan canggung. Maya menggenggam clipboard, sementara Ardi sibuk memperhatikan sekeliling, mencoba menebak fungsi alat-alat yang berserakan.

“Kamu baru pertama kali turun ke lapangan ya?” tanya Maya akhirnya, suaranya sedikit melembut.

“Kelihatan banget, ya?”

“Kelihatan banget,” jawabnya cepat. Tapi kemudian ia tersenyum kecil, menambahkan, “Nggak apa-apa. Semua orang juga pernah jadi pemula.”

Ardi ikut tersenyum. “Terima kasih sudah nggak menertawakan saya.”

“Siapa bilang nggak?”

Ardi menatapnya kaget, tapi Maya menahan tawa, menutup mulut dengan clipboard-nya. “Tapi serius, jangan terlalu tegang. Lapangan memang keras, tapi kalau mau belajar, semua orang di sini bakal bantu.”

Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa, terasa tulus — dan menenangkan.

Mereka berhenti di dekat tumpukan baja ringan. Ardi berjongkok, mencoba membantu memindahkan salah satu batang logam. Tapi baru dua kali angkat, tangannya nyaris tergelincir karena licin. Maya refleks menahan ujung logam itu agar tidak jatuh menimpa kaki mereka berdua.

“Pak Ardi!”

“Ya Tuhan, saya nggak apa-apa—”

“Harusnya kamu pakai sarung tangan. Ini proyek, bukan ruang rapat.”

Nada Maya tegas, tapi tidak bermaksud merendahkan. Ardi tersenyum kaku. “Baik, saya akan ingat.”

“Kamu ini tipe orang yang lebih suka mengamati dulu daripada langsung kerja ya?”

“Begitulah. Saya... lebih terbiasa memikirkan sistem ketimbang alat.”

“Makanya tadi hampir kejedot sistem,” balas Maya cepat.

Ardi tertawa. Untuk pertama kalinya sejak datang ke cabang itu, tawanya lepas — ringan dan jujur.

Di kejauhan, Andra Putra memperhatikan pemandangan itu dari lantai dua barak pengawas. Matanya menyipit, dagunya terangkat sedikit. Ia tak suka apa yang dilihatnya.

Risa naik ke tangga barak sambil membawa laporan. “Pak Andra, ini data pengiriman material kemarin.”

Andra tak langsung menjawab. Pandangannya masih tertuju pada Maya dan Ardi yang kini berdiri agak dekat, membicarakan sesuatu sambil tertawa kecil.

“Dia lagi ngomongin apa sama Maya?” gumamnya pelan.

“Siapa? Ardi?” tanya Risa polos. “Entahlah. Tapi sepertinya Maya ngajarin hal dasar aja. Kenapa, Pak?”

Andra menoleh dengan senyum datar. “Nggak. Cuma... heran aja. Baru dua hari kerja, tapi udah bisa bikin Maya senyum segitu lepasnya.”

Risa menatapnya bingung, tapi diam. Ia tahu nada itu — bukan sekadar komentar kerja, tapi sentuhan cemburu yang samar.

Sore itu, hujan turun pelan. Proyek mendadak hening, para staf menepi di bawah tenda biru. Maya dan Ardi ikut berteduh di pinggir gudang. Angin membawa aroma tanah basah, menciptakan keheningan aneh yang justru terasa akrab.

“Kamu nggak nyesel turun ke lapangan?” tanya Maya pelan, memandangi hujan yang jatuh.

“Sedikit,” jawab Ardi jujur. “Tapi anehnya, justru di sini aku merasa hidup.”

Maya menoleh. “Kamu bicara seperti orang yang baru keluar dari penjara.”

“Bisa dibilang begitu. Penjara bernama gedung kaca.”

Maya menatapnya lebih lama kali ini. Ada misteri di balik kata-kata itu, tapi ia memilih tidak bertanya. “Asal jangan lari ke atap proyek buat menatap kebebasan, ya. Soalnya di sana banyak paku.”

Ardi tertawa pelan. “Baik, saya catat peringatan itu.”

Hujan makin deras. Maya merapatkan jaketnya. Ardi memperhatikan sekilas, lalu membuka payung kecil dari tasnya. “Kita bisa ke barak dulu, nanti keburu malam.”

Maya menggeleng. “Saya masih harus pastikan pekerja lain udah berhenti semua.”

“Kalau begitu saya temani.”

“Tidak usah repot.”

“Saya repot kalau kamu basah kuyup di bawah hujan,” balas Ardi tenang.

Untuk sesaat, Maya kehilangan kata. Ada cara bicara yang tak biasa dari pria ini — lembut tapi berwibawa, seperti seseorang yang terbiasa memberi perintah tapi sedang berusaha menahan diri.

Akhirnya ia mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan dekat-dekat, nanti payungmu rusak.”

Ardi tersenyum samar. “Payungnya kuat, kok.”

Mereka berjalan beriringan di bawah hujan, menyusuri deretan tenda yang sepi. Lampu-lampu lapangan mulai menyala, memantulkan cahaya lembut di genangan air.

Maya menunduk, menatap bayangan dirinya di tanah. “Kamu aneh.”

“Kenapa?”

“Baru dua hari di sini, tapi udah kelihatan nyaman. Biasanya orang baru butuh seminggu buat menyesuaikan diri.”

“Mungkin karena aku tidak mencari kenyamanan, tapi pelajaran.”

Maya mengernyit. “Pelajaran apa?”

Ardi menatapnya lama, kemudian menjawab pelan, “Tentang bagaimana rasanya jadi manusia biasa.”

Maya tidak mengerti maksudnya, tapi sebelum sempat bertanya, suara berat memotong keheningan.

“Ardi!”

Keduanya menoleh. Di ujung tenda, Andra berdiri dengan jas hujan setengah terbuka, menatap tajam.

“Saya mau bicara. Sekarang.”

Ardi melangkah mendekat, sementara Maya menatap cemas. Suara hujan semakin deras, menelan sebagian percakapan mereka.

“Ada apa, Pak?”

Andra mendekat satu langkah, wajahnya setengah gelap oleh bayangan lampu. “Aku nggak tahu kamu sebenarnya siapa, tapi aku tahu kamu bukan staf lapangan biasa. Dari mana kamu belajar cara bicara seperti itu? 

Ardi menatapnya tenang. “Saya hanya mencoba bekerja sebaik yang saya bisa.”

Andra mendengus. “Kita lihat saja nanti, Ardi Santoso. Dunia proyek nggak bisa disembunyikan di balik senyum sopan.”

Lalu ia berbalik, meninggalkan mereka dalam guyuran hujan.

Maya menatap Ardi lama, seolah ingin bertanya banyak hal — tapi yang keluar hanya satu kalimat pelan:

“Kamu... sebenarnya siapa, sih?”

Ardi tak menjawab. Ia hanya menatap hujan yang turun deras, sementara di sakunya, ponselnya bergetar dengan pesan masuk:

“Berhenti mendekati Maya, atau rahasiamu bukan lagi rahasia.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 16 – Penghiburan

    “Tidak selalu. Kadang aku juga ingin berteriak.”Maya menatapnya. “Tapi kau tidak melakukannya.”“Karena aku belajar bahwa marah tidak membuat dunia mendengarkan. Kadang, bertahan jauh lebih keras daripada membalas.”Maya menarik napas panjang, lalu memeluk lututnya. “Aku tidak salah kali ini, Ardi. Aku tahu datanya benar. Tapi kenapa rasanya... seperti semua orang senang kalau aku disalahkan?”“Karena mereka butuh seseorang untuk menanggung kesalahan,” jawab Ardi lembut. “Dalam dunia yang berisik seperti ini, orang sering mencari kambing hitam, bukan kebenaran.”Ia membuka botol air dan menyerahkannya pada Maya. “Minumlah dulu.”Maya menerimanya pelan. Tangan mereka bersentuhan sekilas — dingin air berpadu dengan hangat kulit manusia.Ardi melanjutkan dengan suara rendah, seolah takut merusak keheningan.“Dulu aku pernah membuat keputusan yang salah di tempat kerja. Aku pikir itu keputusan terbaik karena semua orang menekan waktu. Tapi akhirnya banyak orang yang menanggung akibatnya,

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 15 – Luka

    Ardi tersenyum, menunduk. “Mungkin aku hanya pernah salah menilai apa artinya tanggung jawab.”Hening mengisi ruang di antara mereka.Lalu Maya berkata pelan, “Terima kasih, Ardi. Aku tahu kau tidak suka sorotan, tapi aku ingin kau tahu — bantuanku kemarin menyelamatkan proyek ini.”“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Ardi lembut. “Kau yang berani bicara duluan.”Sore harinya, kabar uji material menyebar. Vendor dipanggil ulang ke lokasi, dan kali ini, bukti hasil laboratorium membuat mereka tak bisa mengelak.Pak Darto bahkan memuji Maya di depan semua staf karena “ketelitian administrasinya.”Maya hanya tersenyum samar, sementara matanya secara refleks mencari seseorang di antara kerumunan.Ardi berdiri di belakang, tidak banyak bicara. Hanya mengangguk kecil ketika tatapan mereka bertemu.Maya membalasnya dengan senyum tipis — senyum yang mengandung ucapan terima kasih yang tak perlu diucapkan.Malam tiba, dan proyek kembali sunyi.Maya duduk di ruang administrasi sendirian, menat

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 14 – Masalah di Lapangan

    Pagi itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung, tapi bukan karena hujan — melainkan suasana di area proyek yang mendadak tegang.Maya berdiri di depan meja vendor, berhadapan dengan pria berjaket hitam yang menatapnya dengan ekspresi menantang.“Jadi intinya, kami tidak bisa ganti rugi,” kata pria itu dengan nada ketus.“Tapi material yang kalian kirim tidak sesuai spesifikasi. Itu melanggar kontrak.”“Kontrak itu bisa ditafsirkan. Kami sudah kirim sesuai yang disepakati lewat telepon.”“Yang disepakati tertulis, bukan lewat kata-kata!” suara Maya meninggi tanpa bisa ditahan.Beberapa pekerja yang lewat berhenti sejenak, pura-pura sibuk tapi jelas memperhatikan.Pria vendor itu bersedekap. “Kalau tidak suka, silakan komplain ke kantor pusat. Tapi sampai surat resmi keluar, kami tidak akan mengganti satu pun.”Maya menggigit bibir. Ia tahu jalur resmi akan memakan waktu, sementara deadline pengecoran sudah di depan mata. Beton butuh pasir dan semen dengan kadar tertent

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 13 – Langit Juga Butuh Istirahat

    Matanya sedikit perih, tapi semangatnya masih menyala.Entah kenapa, pikirannya sempat terlintas pada seseorang — Ardi, rekan barunya yang diam-diam menjadi alasan kenapa hari-hari di proyek terasa lebih ringan.Ia ingat bagaimana pria itu memperbaiki sistem laporan tanpa diminta, membantu tanpa pamrih, mendengarkan tanpa menghakimi.Mungkin karena itu, ia percaya padanya. Mungkin karena itu juga, ia tidak tahu bahwa kepercayaannya sedang menempel pada kebohongan yang besar.Di kamar kosnya, Adrian membuka buku catatan hitam yang sudah mulai penuh dengan coretan observasi, pikiran, dan refleksi kecil yang ia tulis setiap malam.Halaman terakhir bertuliskan:Hari ini aku sadar, penyamaran ini bukan lagi tentang menyelidiki sistem, tapi tentang menyelami manusia. Aku belajar bahwa bekerja keras bukan selalu soal ambisi — kadang, itu soal bertahan.Ia menatap kalimat itu lama, kemudian menambahkan baris baru:Aku pikir aku turun untuk memperbaiki mereka. Tapi ternyata, akulah yang diperb

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 12 – Dunia yang Terpisah

    Adrian berhenti sejenak dan melanjutkan kata-katanya.“Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa jujur — meski semua ini adalah kebohongan.”Setelah panggilan berakhir, Adrian menatap layar ponselnya lama. Lalu, perlahan ia menutup laptopnya, mematikan lampu, dan duduk di tepi ranjang.Dalam kegelapan kamar, pikirannya melayang pada dua dunia yang kini sama-sama memanggilnya.Di satu sisi, dunia lamanya — ruang rapat beraroma kopi mahal, suara sepatu mengilap di lantai marmer, laporan laba rugi yang tumbuh tanpa wajah manusia di baliknya.Di sisi lain, dunia yang kini ia tempati — barak kayu dengan lampu redup, tawa para pekerja yang sederhana, dan seorang perempuan bernama Maya yang bekerja bukan demi ambisi, tapi demi bertahan hidup.Ia memejamkan mata, dan dua dunia itu seolah berdiri berdampingan di pikirannya — tinggi dan rendah, bersih dan berdebu, dingin dan hangat.Kontrasnya begitu nyata, tapi anehnya, justru membuatnya ingin menjembatani keduanya.Keesokan harinya

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 11 – Rahasia Terungkap ke Pembaca

    Malam turun perlahan di langit Timur.Proyek sudah sepi, hanya suara serangga dan mesin pendingin barak yang berputar malas. Di kamar kos sempit yang ia sewa di dekat lokasi proyek, Ardi — atau lebih tepatnya, Adrian Tanaka — duduk di tepi ranjang dengan laptop terbuka dan layar ponsel menyala redup.Cahaya lampu pijar membuat bayangan wajahnya tampak samar. Tidak ada jas mahal, tidak ada ruang rapat kaca dengan panorama kota — hanya pria biasa dengan kemeja kusut, wajah letih, dan tangan yang masih berdebu sisa siang tadi.Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar: Davin Haryono.Asisten pribadinya.Satu-satunya orang yang tahu siapa dia sebenarnya.Adrian menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu.“Davin.”Suara di seberang terdengar pelan, tapi penuh ketegangan. “Akhirnya kau menjawab. Aku sudah menelepon tiga kali.”“Maaf, sinyal di sini buruk.”“Sinyal buruk atau memang kau sengaja menghindar?”Adrian tersenyum samar. “Kau masih sama, Davin. Selalu menuduh dulu s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status