INICIAR SESIÓNHari itu matahari terasa lebih bengis dari biasanya. Proyek cabang Timur berdengung oleh suara mesin, obrolan kasar para pekerja, dan debu yang beterbangan di udara. Ardi berdiri di tengah lapangan, memegang lembaran denah yang sebagian besar masih tampak asing baginya.
Ardi berusaha fokus, menunduk untuk mencatat hasil pengukuran tiang pancang. Tapi langkahnya tiba-tiba goyah. Ujung sepatunya tersangkut di kabel las yang melintang di tanah, membuat tubuhnya nyaris terjerembab ke depan.
“Pak! Hati-hati!”
Sebuah tangan kecil tapi kuat menarik lengan bajunya sebelum ia jatuh. Ardi mendongak — wajah Maya begitu dekat, mata hitamnya memantulkan cahaya siang yang menyilaukan.
“Kalau jatuh ke situ, bisa kena besi panas, tahu nggak?” Maya menegurnya setengah kesal.
“Ah… iya, maaf. Saya nggak lihat ada kabel,” jawab Ardi, menepuk-nepuk celananya yang kotor.
Risa yang kebetulan lewat menahan tawa. “Wah, pahlawan kita diselamatkan oleh Maya, nih!”
Maya melirik tajam. “Risa, bantu aja kerjaanmu. Jangan godain orang.”
Risa cengengesan. “Siap, Bu Maya.”
Sementara itu, Ardi hanya tersenyum kaku, menunduk menahan malu.
Mereka berjalan beriringan menuju area material, masih dalam keheningan canggung. Maya menggenggam clipboard, sementara Ardi sibuk memperhatikan sekeliling, mencoba menebak fungsi alat-alat yang berserakan.
“Kamu baru pertama kali turun ke lapangan ya?” tanya Maya akhirnya, suaranya sedikit melembut.
“Kelihatan banget, ya?”
“Kelihatan banget,” jawabnya cepat. Tapi kemudian ia tersenyum kecil, menambahkan, “Nggak apa-apa. Semua orang juga pernah jadi pemula.”
Ardi ikut tersenyum. “Terima kasih sudah nggak menertawakan saya.”
“Siapa bilang nggak?”
Ardi menatapnya kaget, tapi Maya menahan tawa, menutup mulut dengan clipboard-nya. “Tapi serius, jangan terlalu tegang. Lapangan memang keras, tapi kalau mau belajar, semua orang di sini bakal bantu.”
Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa, terasa tulus — dan menenangkan.
Mereka berhenti di dekat tumpukan baja ringan. Ardi berjongkok, mencoba membantu memindahkan salah satu batang logam. Tapi baru dua kali angkat, tangannya nyaris tergelincir karena licin. Maya refleks menahan ujung logam itu agar tidak jatuh menimpa kaki mereka berdua.
“Pak Ardi!”
“Ya Tuhan, saya nggak apa-apa—”
“Harusnya kamu pakai sarung tangan. Ini proyek, bukan ruang rapat.”
Nada Maya tegas, tapi tidak bermaksud merendahkan. Ardi tersenyum kaku. “Baik, saya akan ingat.”
“Kamu ini tipe orang yang lebih suka mengamati dulu daripada langsung kerja ya?”
“Begitulah. Saya... lebih terbiasa memikirkan sistem ketimbang alat.”
“Makanya tadi hampir kejedot sistem,” balas Maya cepat.
Ardi tertawa. Untuk pertama kalinya sejak datang ke cabang itu, tawanya lepas — ringan dan jujur.
Di kejauhan, Andra Putra memperhatikan pemandangan itu dari lantai dua barak pengawas. Matanya menyipit, dagunya terangkat sedikit. Ia tak suka apa yang dilihatnya.
Risa naik ke tangga barak sambil membawa laporan. “Pak Andra, ini data pengiriman material kemarin.”
Andra tak langsung menjawab. Pandangannya masih tertuju pada Maya dan Ardi yang kini berdiri agak dekat, membicarakan sesuatu sambil tertawa kecil.
“Dia lagi ngomongin apa sama Maya?” gumamnya pelan.
“Siapa? Ardi?” tanya Risa polos. “Entahlah. Tapi sepertinya Maya ngajarin hal dasar aja. Kenapa, Pak?”
Andra menoleh dengan senyum datar. “Nggak. Cuma... heran aja. Baru dua hari kerja, tapi udah bisa bikin Maya senyum segitu lepasnya.”
Risa menatapnya bingung, tapi diam. Ia tahu nada itu — bukan sekadar komentar kerja, tapi sentuhan cemburu yang samar.
Sore itu, hujan turun pelan. Proyek mendadak hening, para staf menepi di bawah tenda biru. Maya dan Ardi ikut berteduh di pinggir gudang. Angin membawa aroma tanah basah, menciptakan keheningan aneh yang justru terasa akrab.
“Kamu nggak nyesel turun ke lapangan?” tanya Maya pelan, memandangi hujan yang jatuh.
“Sedikit,” jawab Ardi jujur. “Tapi anehnya, justru di sini aku merasa hidup.”
Maya menoleh. “Kamu bicara seperti orang yang baru keluar dari penjara.”
“Bisa dibilang begitu. Penjara bernama gedung kaca.”
Maya menatapnya lebih lama kali ini. Ada misteri di balik kata-kata itu, tapi ia memilih tidak bertanya. “Asal jangan lari ke atap proyek buat menatap kebebasan, ya. Soalnya di sana banyak paku.”
Ardi tertawa pelan. “Baik, saya catat peringatan itu.”
Hujan makin deras. Maya merapatkan jaketnya. Ardi memperhatikan sekilas, lalu membuka payung kecil dari tasnya. “Kita bisa ke barak dulu, nanti keburu malam.”
Maya menggeleng. “Saya masih harus pastikan pekerja lain udah berhenti semua.”
“Kalau begitu saya temani.”
“Tidak usah repot.”
“Saya repot kalau kamu basah kuyup di bawah hujan,” balas Ardi tenang.
Untuk sesaat, Maya kehilangan kata. Ada cara bicara yang tak biasa dari pria ini — lembut tapi berwibawa, seperti seseorang yang terbiasa memberi perintah tapi sedang berusaha menahan diri.
Akhirnya ia mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan dekat-dekat, nanti payungmu rusak.”
Ardi tersenyum samar. “Payungnya kuat, kok.”
Mereka berjalan beriringan di bawah hujan, menyusuri deretan tenda yang sepi. Lampu-lampu lapangan mulai menyala, memantulkan cahaya lembut di genangan air.
Maya menunduk, menatap bayangan dirinya di tanah. “Kamu aneh.”
“Kenapa?”
“Baru dua hari di sini, tapi udah kelihatan nyaman. Biasanya orang baru butuh seminggu buat menyesuaikan diri.”
“Mungkin karena aku tidak mencari kenyamanan, tapi pelajaran.”
Maya mengernyit. “Pelajaran apa?”
Ardi menatapnya lama, kemudian menjawab pelan, “Tentang bagaimana rasanya jadi manusia biasa.”
Maya tidak mengerti maksudnya, tapi sebelum sempat bertanya, suara berat memotong keheningan.
“Ardi!”
Keduanya menoleh. Di ujung tenda, Andra berdiri dengan jas hujan setengah terbuka, menatap tajam.
“Saya mau bicara. Sekarang.”
Ardi melangkah mendekat, sementara Maya menatap cemas. Suara hujan semakin deras, menelan sebagian percakapan mereka.
“Ada apa, Pak?”
Andra mendekat satu langkah, wajahnya setengah gelap oleh bayangan lampu. “Aku nggak tahu kamu sebenarnya siapa, tapi aku tahu kamu bukan staf lapangan biasa. Dari mana kamu belajar cara bicara seperti itu?
Ardi menatapnya tenang. “Saya hanya mencoba bekerja sebaik yang saya bisa.”
Andra mendengus. “Kita lihat saja nanti, Ardi Santoso. Dunia proyek nggak bisa disembunyikan di balik senyum sopan.”
Lalu ia berbalik, meninggalkan mereka dalam guyuran hujan.
Maya menatap Ardi lama, seolah ingin bertanya banyak hal — tapi yang keluar hanya satu kalimat pelan:
“Kamu... sebenarnya siapa, sih?”
Ardi tak menjawab. Ia hanya menatap hujan yang turun deras, sementara di sakunya, ponselnya bergetar dengan pesan masuk:
“Berhenti mendekati Maya, atau rahasiamu bukan lagi rahasia.”
“Ya, makanya! Ini kayak mendadak banget.” Vina menurunkan suara. “Tapi aku dengar gosip, katanya ada kemungkinan besar… CEO baru bakal turun langsung.”Risa spontan menoleh, matanya membesar. “Hah? Yang Adrian Tanaka itu?”“Shhh! Jangan keras-keras,” bisik Vina. “Cuma kemungkinan, ya. Tapi kalau iya… ya ampun, aku belum sempat ke salon!”Risa menghela napas panjang sambil menggeleng. “Sudah deh, Vin. Kalau beneran dia yang datang, kamu kira dia sempat lihat rambutmu? Orang kayak gitu kan sibuk mikirin laporan, bukan poni orang.”Tegar yang baru masuk ruangan menimpali, “Atau mungkin sibuk mikirin seseorang di sini.”Risa menoleh cepat. “Apa maksudmu?”Tegar hanya tersenyum misterius. “Nggak tahu. Perasaanku aja. Soalnya tiap kali nama CEO itu disebut, ada satu orang di sini yang tiba-tiba diam.”Risa spontan menatap ke arah meja Maya yang berada di pojok ruangan.Maya sedang menulis laporan proyek, matanya fokus, ekspresinya datar — tapi jari-jarinya sedikit gemetar.Risa mendekat pel
Adrian membuka matanya. Kali ini, pandangannya mantap.Ia berdiri, mengambil ponselnya, lalu menekan nomor yang sudah lama tidak ia hubungi — sekretaris pribadinya.“Halo, Pak Adrian?” suara di seberang terdengar sopan.“Siapkan jadwal perjalanan ke cabang Timur,” katanya pelan.“Jangan umumkan dulu ke media. Ini kunjungan internal. Rahasia.”“Baik, Pak. Tanggalnya?”Adrian menatap kalender di meja. Ada banyak pertemuan besar minggu depan, tapi ia tidak peduli.“Dua hari lagi.”“Baik, saya atur.”Setelah sambungan ditutup, Adrian menatap jendela besar di depan mejanya. Kota Jakarta malam itu dipenuhi cahaya — tapi entah kenapa, pikirannya tertuju pada langit di Timur.Ia tersenyum kecil, nyaris seperti seseorang yang baru saja menemukan arah setelah sekian lama tersesat.Davin yang diam-diam kembali masuk ke ruangan hanya bisa menggeleng sambil menatap sahabatnya yang kini berdiri menatap jauh keluar jendela.“Jadi, kau benar-benar mau pergi ke sana?” tanyanya pelan.Adrian menoleh, m
Ruang kerja CEO Tanaka Group sore itu dipenuhi cahaya jingga dari matahari yang mulai condong ke barat. Suasana kantor pusat perlahan mereda; pegawai pulang satu per satu, meninggalkan jejak langkah di koridor marmer yang mulai sunyi. Di tengah keheningan itu, Adrian Tanaka duduk sendirian di depan layar komputer, matanya terpaku pada video berdurasi tiga menit yang dikirim oleh tim komunikasi internal perusahaan.Di layar, tampak aula cabang Timur yang sederhana.Bunga-bunga kertas menghiasi dinding, dan di tengah panggung berdiri sosok perempuan dengan senyum hangat yang tidak pernah gagal membuatnya terdiam.Maya Larasati.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok hitam, rambutnya disanggul rapi. Tidak ada kemewahan, tidak ada polesan yang berlebihan — tapi justru di situlah pesonanya.Suara pembawa acara terdengar, disusul tepuk tangan riuh dari rekan-rekan kantor. Maya maju perlahan ke depan untuk menerima penghargaan. Saat berbicara di podium, suaranya jernih namun penuh ketu
Sore itu, Maya duduk sendirian di taman belakang kantor, di bangku kayu tua yang menghadap ke area proyek yang kini hampir rampung.Plakat penghargaan itu ia letakkan di pangkuan.Langit mulai berubah warna ke jingga, seperti selalu terjadi setiap kali hidupnya berada di persimpangan.Ia membuka ponselnya, menatap foto ibunya yang tersenyum di rumah sakit.Bu Ratna sudah mulai membaik. Kondisinya stabil, dan dokter bilang beberapa minggu lagi boleh pulang.Maya menatap foto itu lama, lalu berbisik pelan,“Bu, aku berhasil. Aku kuat, seperti yang Ibu mau.”Angin berhembus lembut, membawa aroma semen dan tanah basah dari proyek.Suara tawa para pekerja terdengar di kejauhan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Maya merasa hidupnya kembali berjalan ke arah yang benar.Tidak sempurna, tapi tenang.Tidak bahagia sepenuhnya, tapi penuh syukur.Ia tahu ada satu ruang kosong di dadanya, ruang yang dulu diisi oleh seseorang bernama Ardi.Namun alih-alih menutupnya dengan amarah, ia
Malam harinya, sebelum pulang, Adrian kembali ke ruang ayahnya.Lampu ruangan sudah dimatikan, tapi di meja kerja masih ada secangkir kopi yang belum habis. Di sampingnya, selembar catatan tangan:“Untuk Adrian.Aku tak tahu apakah aku ayah yang baik,tapi hari ini, aku bangga menjadi ayahmu.”– Bima TanakaAdrian menatap tulisan itu lama.Air matanya menetes, tapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena penerimaan.Ia melipat catatan itu hati-hati, menyimpannya di saku jas, lalu berjalan keluar.Langit malam Jakarta tampak luas, bintang-bintang jarang tapi nyata.Untuk pertama kalinya, Adrian merasa pulang.Bukan ke rumah megah Tanaka, tapi ke pelukan ayah, ke pengakuan, dan ke dirinya sendiri.Dan di kejauhan, entah kenapa, ia merasa—ada seseorang yang juga memandang langit yang sama, memikirkan hal yang sama: bahwa cinta, seberapa pun rumitnya, selalu punya cara untuk membawa pulang.Beberapa pengakuan datang terlambat,tapi tak pernah sia-sia —karena sebagian hati mema
Pagi itu, langit Jakarta berwarna keemasan. Sinar mentari jatuh menembus kaca tinggi ruang direksi Tanaka Group, memantulkan cahaya lembut di dinding-dinding yang selama ini dingin. Di balik pintu kayu besar bertuliskan Chairman Office, seorang pria tua duduk diam di balik meja besar dari kayu mahoni.Bima Tanaka—nama yang selama ini menggema dengan wibawa dan ketegasan, kini tampak lelah.Di depannya, beberapa laporan keuangan terbuka begitu saja. Angka-angka yang biasanya membuatnya bangga kini terasa kosong. Pandangannya tidak benar-benar tertuju ke kertas, melainkan ke bayangan masa lalu: seorang anak lelaki kecil yang dulu sering ia marahi karena bermain di gudang proyek, dan seorang pria dewasa yang kini berdiri di dunia yang sama—tapi jauh lebih berani dari dirinya.Ketukan pelan terdengar di pintu.“Masuk,” katanya tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan Adrian melangkah masuk dengan langkah tenang.Wajahnya tampak lebih matang, lebih dewasa daripada beberapa bulan lalu. Tidak ada l







