INICIAR SESIÓNPagi itu, udara proyek masih lembap oleh sisa hujan malam. Asap mesin molen bercampur aroma semen yang menusuk. Para pekerja sibuk memindahkan besi, sementara di sisi barak kantor, sekelompok staf lapangan berkumpul di bawah tenda biru.
Pak Darto berdiri di depan mereka, memegang clipboard yang sudah belel di tepiannya. Di sebelahnya, berdiri seorang pria berwajah tenang dengan kemeja polos abu-abu — Ardi Santoso, nama yang baru saja ia pilih untuk menanggalkan identitas lamanya sebagai Adrian Tanaka.
“Teman-teman,” suara Pak Darto berat dan tegas, “mulai hari ini, kita kedatangan staf baru. Namanya Ardi Santoso. Lulusan teknik sipil, katanya. Akan bantu di bagian pengawasan lapangan.”
Beberapa kepala menoleh. Ada yang mengangguk sopan, ada yang hanya mengangkat alis sekilas. Dunia proyek memang keras — tak banyak yang peduli pada pendatang baru, apalagi jika tampak ‘terlalu bersih’ untuk kotoran lapangan.
“Dia... terlalu rapi, deh,” bisik Risa pada sahabatnya, Maya Larasati, yang berdiri di sampingnya.
Maya melirik cepat ke arah pria baru itu. Benar, bahkan di tengah debu proyek, Ardi tampak... lain. Kemejanya disetrika rapi, rambutnya agak berantakan tapi teratur, dan cara berdirinya tegap — bukan khas pekerja lapangan.
“Kamu tahu nggak,” lanjut Risa, menahan tawa, “cowok kayak gitu biasanya kuat di teori, tapi keringetan dikit langsung panik.”
Maya hanya tersenyum kecil. “Kita lihat aja nanti.”
Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari sosok itu. Bukan sekadar tampilan, tapi ketenangan yang tidak dibuat-buat. Seolah ia sudah terbiasa berdiri di tengah kekacauan, tapi tidak ikut jadi bagian darinya.
Setelah perkenalan singkat, Andra Putra, sang project manager, datang mendekat. Posturnya tegap, wajahnya keras, suaranya datar.
“Ardi, ya?”
“Iya, Pak,” jawab Ardi sopan.
Andra menatapnya dari atas ke bawah, tajam seperti sedang menilai sesuatu yang tidak beres. “Kamu dari mana sebelumnya?”
“Saya… sempat bantu di proyek swasta kecil,” jawab Ardi tenang, memilih kata hati-hati.
Andra mendengus pelan. “Baik. Di sini nggak ada proyek kecil, semuanya besar. Nggak cukup cuma modal teori. Saya nggak suka orang yang cuma bisa ngomong tapi nggak bisa kerja.”
“Saya mengerti, Pak,” jawab Ardi, tanpa membela diri.
Tatapan mereka bertemu sejenak, seperti dua pihak yang sama-sama tahu mereka sedang mengukur kedalaman lawan bicara.
Siang menjelang, panas semakin menggigit. Ardi ditugaskan ikut tim Maya memeriksa pondasi di sisi timur proyek. Ia berjalan di belakang, memperhatikan cara mereka bekerja. Maya tampak fokus, cekatan mencatat data di clipboard, sementara Risa bolak-balik membawa alat ukur.
“Pak Ardi,” seru Maya, “tolong catat tinggi tiang pancang di titik 12 ini, ya.”
Ardi mengambil meteran, lalu mencoba mengukur — tapi pegangan tangannya terlalu kaku, membuat pita meteran terlepas dan hampir mengenai wajahnya.
Risa terkekeh. “Nah, bener kan, May. Baru juga jam sepuluh, udah kelihatan kalau dia bukan anak lapangan.”
Maya menahan senyum. “Wajar, mungkin belum terbiasa.”
Ardi ikut tersenyum kaku. “Sepertinya saya perlu belajar banyak dari kalian.”
Maya mengangguk. “Kami juga dulu begitu. Tenang aja, nanti terbiasa.”
Meski canggung, Ardi tidak kehilangan kesabarannya. Ia lebih banyak mendengarkan, mencatat, dan mengamati. Setiap kali Maya memberi instruksi, ia menanggapi dengan sopan dan cepat memahami ritme kerja tim.
Di sela panas dan debu, ia merasakan sesuatu yang belum pernah muncul selama bertahun-tahun duduk di kantor berpendingin udara: rasa hormat pada mereka yang benar-benar bekerja dengan tangan sendiri.
Sementara itu, Andra memperhatikan dari kejauhan. Wajahnya tak berubah, tapi sorot matanya penuh curiga. Ia memanggil Della, staf HR yang sedang lewat. “Kamu yang urus berkas si Ardi, kan?”
“Iya, Pak.”
“Cek lagi riwayatnya. Saya pengen tahu dia sebelumnya kerja di mana.”
Della mengangguk pelan. “Baik, Pak. Tapi... kenapa?”
“Insting saya bilang, orang itu bukan karyawan biasa.”
Sore menjelang, Maya dan Ardi duduk di tangga barak sambil menyeruput air mineral. Risa sibuk memotret hasil kerja hari itu untuk laporan.
“Gimana rasanya kerja pertama di lapangan?” tanya Maya.
Ardi tersenyum tipis. “Panas, berat, tapi... jujur, menyenangkan.”
Maya mengernyit. “Menyenangkan?”
“Ya. Karena semua orang di sini bekerja sungguh-sungguh. Tidak ada yang berpura-pura sibuk.”
Maya menatapnya dengan mata sedikit melembut. “Kamu bicara seolah sebelumnya kerja di tempat yang penuh kepura-puraan.”
Ardi menatap ke arah horizon, seakan menimbang jawabannya. “Mungkin... bisa dibilang begitu.”
Maya tidak bertanya lagi. Ada sesuatu di nada suara pria itu — seperti seseorang yang memikul rahasia besar tapi memilih diam.
Senja turun perlahan. Tim proyek mulai membubarkan diri. Maya dan Risa berjalan menuju pos logistik, sementara Ardi menatap papan nama besar bertuliskan Tanaka Development – Cabang Timur.
Ia menatap nama itu lama sekali. Ironi yang begitu dekat di depan matanya — berdiri sebagai bawahan di perusahaan yang seharusnya ia pimpin.
Di kejauhan, suara Andra terdengar memberi instruksi keras kepada beberapa pekerja. “Besok kita inspeksi ulang area barat! Jangan sampai ada kesalahan!”
Tatapannya sempat bertemu dengan Ardi. Singkat, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa tegang.
Andra berjalan mendekat, menepuk bahu Ardi. “Jangan pikir aku nggak memperhatikan. Di sini, semua orang harus pantas berdiri di tanah ini. Termasuk kamu.”
Ardi menatap balik, tenang tapi mantap. “Saya akan berusaha pantas, Pak.”
Malam tiba. Ardi kembali ke kamar kosnya yang sempit. Ia membuka catatan kecil dan menulis sesuatu:
“Hari kedua di dunia nyata.
Orang-orang di sini tulus, tapi tajam dalam menilai.
Seorang pria bernama Andra menatapku seperti musuh,
dan seorang wanita bernama Maya — entah kenapa — terasa seperti masa depan.”
Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Kamu belum berhenti, ya? Sepertinya kamu memang ingin ketahuan.”
Ardi menatap layar itu. Kali ini, tidak ada nama pengirim, tidak ada tanda siapa pun.
Ia berdiri, membuka jendela kecil kosnya. Di seberang jalan, samar-samar tampak siluet seseorang berdiri di balik bayangan lampu jalan — seolah sedang mengawasinya.
Jantungnya berdegup pelan namun tegas. Ia menatap kembali pesan itu dan berbisik lirih,
“Siapa sebenarnya kau?”
“Ya, makanya! Ini kayak mendadak banget.” Vina menurunkan suara. “Tapi aku dengar gosip, katanya ada kemungkinan besar… CEO baru bakal turun langsung.”Risa spontan menoleh, matanya membesar. “Hah? Yang Adrian Tanaka itu?”“Shhh! Jangan keras-keras,” bisik Vina. “Cuma kemungkinan, ya. Tapi kalau iya… ya ampun, aku belum sempat ke salon!”Risa menghela napas panjang sambil menggeleng. “Sudah deh, Vin. Kalau beneran dia yang datang, kamu kira dia sempat lihat rambutmu? Orang kayak gitu kan sibuk mikirin laporan, bukan poni orang.”Tegar yang baru masuk ruangan menimpali, “Atau mungkin sibuk mikirin seseorang di sini.”Risa menoleh cepat. “Apa maksudmu?”Tegar hanya tersenyum misterius. “Nggak tahu. Perasaanku aja. Soalnya tiap kali nama CEO itu disebut, ada satu orang di sini yang tiba-tiba diam.”Risa spontan menatap ke arah meja Maya yang berada di pojok ruangan.Maya sedang menulis laporan proyek, matanya fokus, ekspresinya datar — tapi jari-jarinya sedikit gemetar.Risa mendekat pel
Adrian membuka matanya. Kali ini, pandangannya mantap.Ia berdiri, mengambil ponselnya, lalu menekan nomor yang sudah lama tidak ia hubungi — sekretaris pribadinya.“Halo, Pak Adrian?” suara di seberang terdengar sopan.“Siapkan jadwal perjalanan ke cabang Timur,” katanya pelan.“Jangan umumkan dulu ke media. Ini kunjungan internal. Rahasia.”“Baik, Pak. Tanggalnya?”Adrian menatap kalender di meja. Ada banyak pertemuan besar minggu depan, tapi ia tidak peduli.“Dua hari lagi.”“Baik, saya atur.”Setelah sambungan ditutup, Adrian menatap jendela besar di depan mejanya. Kota Jakarta malam itu dipenuhi cahaya — tapi entah kenapa, pikirannya tertuju pada langit di Timur.Ia tersenyum kecil, nyaris seperti seseorang yang baru saja menemukan arah setelah sekian lama tersesat.Davin yang diam-diam kembali masuk ke ruangan hanya bisa menggeleng sambil menatap sahabatnya yang kini berdiri menatap jauh keluar jendela.“Jadi, kau benar-benar mau pergi ke sana?” tanyanya pelan.Adrian menoleh, m
Ruang kerja CEO Tanaka Group sore itu dipenuhi cahaya jingga dari matahari yang mulai condong ke barat. Suasana kantor pusat perlahan mereda; pegawai pulang satu per satu, meninggalkan jejak langkah di koridor marmer yang mulai sunyi. Di tengah keheningan itu, Adrian Tanaka duduk sendirian di depan layar komputer, matanya terpaku pada video berdurasi tiga menit yang dikirim oleh tim komunikasi internal perusahaan.Di layar, tampak aula cabang Timur yang sederhana.Bunga-bunga kertas menghiasi dinding, dan di tengah panggung berdiri sosok perempuan dengan senyum hangat yang tidak pernah gagal membuatnya terdiam.Maya Larasati.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok hitam, rambutnya disanggul rapi. Tidak ada kemewahan, tidak ada polesan yang berlebihan — tapi justru di situlah pesonanya.Suara pembawa acara terdengar, disusul tepuk tangan riuh dari rekan-rekan kantor. Maya maju perlahan ke depan untuk menerima penghargaan. Saat berbicara di podium, suaranya jernih namun penuh ketu
Sore itu, Maya duduk sendirian di taman belakang kantor, di bangku kayu tua yang menghadap ke area proyek yang kini hampir rampung.Plakat penghargaan itu ia letakkan di pangkuan.Langit mulai berubah warna ke jingga, seperti selalu terjadi setiap kali hidupnya berada di persimpangan.Ia membuka ponselnya, menatap foto ibunya yang tersenyum di rumah sakit.Bu Ratna sudah mulai membaik. Kondisinya stabil, dan dokter bilang beberapa minggu lagi boleh pulang.Maya menatap foto itu lama, lalu berbisik pelan,“Bu, aku berhasil. Aku kuat, seperti yang Ibu mau.”Angin berhembus lembut, membawa aroma semen dan tanah basah dari proyek.Suara tawa para pekerja terdengar di kejauhan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Maya merasa hidupnya kembali berjalan ke arah yang benar.Tidak sempurna, tapi tenang.Tidak bahagia sepenuhnya, tapi penuh syukur.Ia tahu ada satu ruang kosong di dadanya, ruang yang dulu diisi oleh seseorang bernama Ardi.Namun alih-alih menutupnya dengan amarah, ia
Malam harinya, sebelum pulang, Adrian kembali ke ruang ayahnya.Lampu ruangan sudah dimatikan, tapi di meja kerja masih ada secangkir kopi yang belum habis. Di sampingnya, selembar catatan tangan:“Untuk Adrian.Aku tak tahu apakah aku ayah yang baik,tapi hari ini, aku bangga menjadi ayahmu.”– Bima TanakaAdrian menatap tulisan itu lama.Air matanya menetes, tapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena penerimaan.Ia melipat catatan itu hati-hati, menyimpannya di saku jas, lalu berjalan keluar.Langit malam Jakarta tampak luas, bintang-bintang jarang tapi nyata.Untuk pertama kalinya, Adrian merasa pulang.Bukan ke rumah megah Tanaka, tapi ke pelukan ayah, ke pengakuan, dan ke dirinya sendiri.Dan di kejauhan, entah kenapa, ia merasa—ada seseorang yang juga memandang langit yang sama, memikirkan hal yang sama: bahwa cinta, seberapa pun rumitnya, selalu punya cara untuk membawa pulang.Beberapa pengakuan datang terlambat,tapi tak pernah sia-sia —karena sebagian hati mema
Pagi itu, langit Jakarta berwarna keemasan. Sinar mentari jatuh menembus kaca tinggi ruang direksi Tanaka Group, memantulkan cahaya lembut di dinding-dinding yang selama ini dingin. Di balik pintu kayu besar bertuliskan Chairman Office, seorang pria tua duduk diam di balik meja besar dari kayu mahoni.Bima Tanaka—nama yang selama ini menggema dengan wibawa dan ketegasan, kini tampak lelah.Di depannya, beberapa laporan keuangan terbuka begitu saja. Angka-angka yang biasanya membuatnya bangga kini terasa kosong. Pandangannya tidak benar-benar tertuju ke kertas, melainkan ke bayangan masa lalu: seorang anak lelaki kecil yang dulu sering ia marahi karena bermain di gudang proyek, dan seorang pria dewasa yang kini berdiri di dunia yang sama—tapi jauh lebih berani dari dirinya.Ketukan pelan terdengar di pintu.“Masuk,” katanya tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan Adrian melangkah masuk dengan langkah tenang.Wajahnya tampak lebih matang, lebih dewasa daripada beberapa bulan lalu. Tidak ada l







