MasukMaya menoleh, kaget. “Ada apa, Ris? Kenapa wajahmu begitu?”Risa tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu duduk di hadapan Maya.Tangannya merogoh ponsel, menyalakan layar, dan memperlihatkan artikel yang sama yang ia lihat siang tadi.“Lihat ini.”Maya mengernyit. “Berita bisnis?”“Baca, lalu lihat fotonya.”Maya mengambil ponsel itu, awalnya santai. Tapi detik berikutnya, jantungnya seolah berhenti berdetak.Tatapannya tertuju pada satu foto di tengah layar — seorang pria berjas abu-abu, berdiri di panggung bersama para pejabat negara.Senyum itu.Sorot mata itu.Wajah itu.Tangannya mulai gemetar. Ia menggulir ke atas, membaca nama yang tertera dengan jelas di judul.Adrian Tanaka.CEO Tanaka Group.Suara di dalam kepalanya berbisik pelan — nama itu, “Tanaka”.Bukankah ia pernah mendengarnya dari Davin waktu kunjungan singkat beberapa minggu lalu? Nama perusahaan pusat mereka juga “Tanaka Development”.Maya menatap foto itu lama, hingga napasnya terasa berat.“Itu…”
Sebuah kelegaan hangat menyusup ke dadanya — perasaan damai yang tidak bisa dibeli oleh semua uang yang pernah ia punya.Ia menulis di buku memorinya lagi malam itu:“Kebaikan bukan tentang siapa yang tahu. Tapi tentang siapa yang merasa lega setelah melakukannya. Hari ini aku tidak menyelamatkan perusahaan, tapi mungkin aku menyelamatkan sesuatu yang jauh lebih berharga.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan:“Maya, semoga kau tidak perlu tahu apa-apa. Aku hanya ingin kau tersenyum besok pagi.”Beberapa hari kemudian, Maya kembali ke proyek.Ia tampak lebih segar, meski masih menyimpan lelah. Saat memasuki area lapangan, Ardi sudah berdiri di sana, memeriksa dokumen sambil memegang helm.Begitu melihatnya, Ardi segera mendekat. “Bagaimana kabar ibumu?”Maya tersenyum lembut. “Lebih baik. Ajaibnya… ada yang bantu urus semuanya. Rumah sakit, ambulans, bahkan biaya rawatnya. Aku nggak tahu siapa, tapi semua terasa… terlalu cepat dan terlalu rapi untuk kebetulan.”Ardi menatapnya, lalu
Pagi itu, udara di proyek cabang Timur terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis masih menggantung di antara tiang-tiang baja yang belum dicat, dan suara burung laut terdengar samar dari kejauhan.Maya berjalan cepat menuju ruang kontrol dengan wajah pucat. Matanya sedikit sembab, dan langkahnya tidak sekuat biasanya.“Pagi, Maya!” sapa Risa dari kejauhan.Maya menoleh sekilas, memaksakan senyum. “Pagi, Ris.”Namun senyum itu pudar cepat ketika ia melihat Ardi berdiri di dekat papan rencana proyek, menatap laporan dengan ekspresi fokus seperti biasa. Saat ia menoleh dan mata mereka bertemu, Maya menunduk pelan, menahan sesuatu yang berat di dadanya.“Ardi,” katanya dengan suara pelan, “aku mau izin pulang lebih awal hari ini.”Ardi mengerutkan kening. “Ada apa? Kau sakit?”“Bukan,” jawabnya cepat. “Ibu. Kondisinya tiba-tiba menurun tadi malam. Aku baru dapat kabar dari tetangga pagi ini.”Ekspresi tenang di wajah Ardi perlahan berubah.“Seberapa parah?”Maya menggeleng cepat, ber
Maya menatapnya, mencari-cari sesuatu di balik tatapan mata itu. “Kau selalu terlihat seperti seseorang yang sedang memikirkan rumahnya, tapi tak tahu harus pulang ke mana.”Kalimat itu menancap dalam.Adrian menatap jauh ke horizon, matanya menerawang. “Rumah, ya… aku sering bertanya-tanya apa arti rumah sebenarnya.”“Bagi sebagian orang,” kata Maya pelan, “rumah itu tempat kau tumbuh. Tapi bagiku, rumah adalah tempat di mana hatimu berhenti berlari.”Ardi menoleh, matanya bergetar. “Dan di mana rumah itu untukmu?”Maya tersenyum kecil. “Aku tidak tahu. Tapi aku selalu percaya, rumah itu bukan tempat. Rumah adalah orang yang membuatmu ingin pulang.”Angin berhenti sesaat.Kata-kata itu mengalun lembut, tapi mengguncang hati Adrian seolah dunia berhenti berputar.Ia menatap wajah Maya yang diterpa sinar jingga matahari sore. Senyumnya tenang, tulus, tapi tak sadar betapa kalimat itu baru saja mengubah segalanya.Dalam dirinya, sesuatu bergetar pelan.Semua tekanan dari ayahnya, ancama
Keesokan paginya, suasana di proyek terasa berbeda. Hujan semalam membuat tanah lembek, tapi langit biru cerah seolah menandakan hari baru.Maya tiba membawa laporan logistik dan menyerahkannya pada Ardi di ruang kontrol.“Semua data sudah kuperiksa dua kali,” katanya sambil menaruh berkas.“Terima kasih,” jawab Ardi singkat.“Kau yakin baik-baik saja? Kau terlihat tidak tidur lagi.”“Aku baik,” katanya, meski matanya merah.Maya menggigit bibir, menahan keinginan untuk bertanya lebih jauh. “Kalau butuh istirahat, jangan paksa diri, Ardi. Tidak semua hal harus kau tanggung sendiri.”Kata-kata itu membuat Adrian berhenti mengetik. Ia menatap Maya lama, lalu tersenyum — senyum yang lembut tapi menyesakkan.“Kalau aku pergi suatu hari nanti, apa kau akan marah?”Pertanyaan itu datang tiba-tiba.Maya menatapnya, bingung. “Kenapa bicara seperti itu lagi?”“Tidak tahu,” jawab Adrian pelan. “Mungkin hanya ingin tahu jawabannya.”Maya menunduk. “Aku tidak tahu apa aku akan marah… tapi aku pas
Pagi itu, matahari belum naik sempurna. Di halaman proyek, udara masih lembap dengan aroma semen dan tanah basah. Para pekerja baru berdatangan, beberapa menyeruput kopi panas di pojok barak. Di antara mereka, sosok Ardi—yang bagi dunia luar hanyalah staf lapangan biasa—tampak sibuk memeriksa laporan logistik. Tapi di balik kemeja polos dan helm putihnya, Adrian Tanaka tengah berperang dengan pikirannya sendiri.Sejak Davin datang membawa pesan dari ayahnya, tidurnya tak pernah utuh. Ia tahu waktunya di cabang Timur tidak akan lama lagi. Namun semakin ia mencoba menenangkan diri dengan pekerjaan, semakin besar beban yang menghimpit dadanya.Ia menatap proyek di hadapannya: bangunan semi-apartemen yang sudah 70% rampung, dinding-dinding beton mulai berdiri, jendela dipasang satu per satu. Di sinilah ia memulai semuanya — bukan sebagai CEO, tapi sebagai manusia bernama Ardi Santoso.Dan di sinilah pula, ia menemukan seseorang yang membuat dunianya berubah arah: Maya Larasati.Suara lang







