Mag-log inArdi tersenyum kecil. “Hanya ingin melihat proyek ini dari atas sebentar. Rasanya... seperti melihat sesuatu yang tumbuh dari tangan sendiri.”Maya ikut berdiri di sisinya, menatap bangunan setengah jadi itu. “Aku juga sering berpikir begitu. Kadang aku merasa bangunan ini menyimpan semua tenaga kita — dan sedikit kenangan.”“Kenangan yang seperti apa?”Maya menatap langit. “Tentang semua yang sudah diperjuangkan. Tentang orang-orang yang mungkin tidak akan mengerti betapa sulitnya berdiri di sini.”Ardi menoleh, memperhatikan wajah Maya yang diterpa cahaya senja. Ada kedamaian di sana — sesuatu yang membuat hatinya tenang, sekaligus takut kehilangan.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Telepon Davin bergetar di sakunya.Ia melihat sekilas nama yang tertera: Davin.Hatinya langsung berdesir.“Permisi sebentar, Maya.” Ia berjalan menjauh.Suara Davin terdengar serak di seberang. “Adrian, kau harus dengar ini baik-baik. Nadine sudah menemui ayahmu. Ia menekan keras agar pernikahan d
Langit Jakarta sore itu terlihat seperti baja yang menahan hujan. Di lantai empat puluh delapan Tanaka Tower, suasana lebih dingin dari biasanya. Meja besar di ruang rapat utama masih dipenuhi dokumen merger, tapi fokus semua orang hanya tertuju pada satu sosok wanita yang berdiri tegak di ujung ruangan — Nadine Wijaya.Gaun kerja putih gadingnya tampak sempurna, tapi senyum yang ia bawa lebih tajam daripada ujung stiletonya. Di hadapannya, Pak Bima Tanaka duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja, menatap wanita itu dengan wajah keras yang diselimuti kelelahan.“Pak Bima,” suara Nadine tenang tapi menusuk, “saya datang bukan untuk basa-basi. Kita sama-sama tahu Tanaka Group dan Wijaya Build Corp sudah bertahun-tahun menjadi rekan strategis. Tapi hubungan bisnis itu akan jauh lebih stabil… kalau ikatan personal di antara dua keluarga kita juga kembali dipulihkan.”Bima menatapnya datar. “Maksud Anda?”“Adrian.” Nadine menatap lurus. “Saya ingin pernikahan itu dilanjutkan. Sepert
“Pak Ardi, ini rekap logistik minggu ini. Ada sedikit selisih data di vendor baja, tapi saya sudah koreksi,” ujarnya cepat, mencoba terdengar tenang meski napasnya sedikit tergesa.Ardi menatapnya. Sekilas, semua kekacauan dunia di luar sana lenyap.Satu detik bersamanya terasa lebih damai dari seratus rapat direksi.“Terima kasih, Maya,” katanya singkat.Maya tersenyum, tapi matanya menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Ardi hari itu. Ada gurat letih yang tak biasanya.“Bapak kelihatan capek. Tidak apa-apa?” tanyanya pelan.Ardi hanya menggeleng. “Tidak apa-apa. Hanya… terlalu banyak hal di kepala.”Maya tak bertanya lebih lanjut. Tapi nalurinya tahu: beban itu bukan sekadar laporan proyek.Siang menjelang sore.Adrian duduk di depan laptop butut milik kantor cabang. File laporan terbuka, tapi pikirannya jauh melayang. Setiap detik terasa seperti jarum jam yang menekan.Ia menulis pesan singkat kepada Davin:“Kita tidak bisa membiarkan konflik ini membesar. Aku akan segera menyeles
Semua orang memujinya, tapi tak ada yang benar-benar mengenalnya.Semua menginginkan sesuatu darinya, tapi tak ada yang memberinya ketenangan.Dan kemudian datanglah Maya — gadis yang menatapnya tanpa ambisi, tanpa tahu bahwa pria di depannya memiliki kekayaan cukup untuk membeli seluruh proyek tempat mereka bekerja.Ia menatapnya hanya sebagai manusia.Itu yang membuatnya tak bisa berpaling.Menjelang subuh, Adrian akhirnya bangkit. Ia duduk di meja kecil, menyalakan lampu lagi.Di hadapannya, surat Maya masih terbuka.Ia mengambil buku catatannya, menulis beberapa baris:“Aku bukan takut kehilangan jabatan, tapi takut kehilangan alasan untuk menjadi lebih baik.Dan alasan itu punya nama — Maya.”Tinta pena sedikit meluber karena tangannya gemetar. Ia menatap tulisan itu lama, lalu menutup bukunya perlahan.Ia tahu, pagi akan segera datang.Dan begitu matahari muncul, ia harus kembali memakai topengnya: menjadi Ardi, staf proyek yang tenang dan sederhana.Tapi malam ini, di tengah ke
Malam turun perlahan, seperti tirai hitam yang menutup panggung dunia. Di luar, suara jangkrik bersahutan dengan desir angin yang menembus sela jendela. Lampu di kamar kecil itu redup, hanya menyisakan bayangan samar di dinding — bayangan seorang pria yang duduk diam dengan wajah menunduk.Adrian Tanaka — atau Ardi, sebagaimana semua orang di proyek mengenalnya — memegang selembar kertas lusuh di tangannya. Surat itu, yang kini mulai sedikit kusut di ujungnya, masih membawa aroma samar dari tinta dan tangan yang menulisnya.Ia sudah membacanya entah berapa kali, tapi setiap kali matanya menelusuri huruf-huruf itu, ada sesuatu di dadanya yang bergerak. Bukan hanya rasa senang, tapi juga takut. Takut pada kenyataan bahwa seseorang berhasil menembus lapisan peran yang ia bangun begitu rapat.Ia menarik napas panjang, lalu berbisik pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri,“Maya… apa yang sebenarnya kau lakukan padaku?”Di luar jendela, hujan tipis mulai turun lagi.Adrian mena
Ia tak butuh menebak. Ia tahu.Tulisan itu hanya bisa berasal dari satu orang.Perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum yang tak bisa ia tahan.Bukan senyum kebanggaan, bukan juga kepuasan — tapi senyum lembut yang lahir dari perasaan yang terlalu jujur untuk disembunyikan.Ia meraih dompet dari saku celana, membuka bagian dalamnya yang jarang disentuh.Di sana hanya ada dua hal: foto lama dirinya bersama ayahnya… dan kini, surat kecil itu.Ia melipatnya sekali lagi, menaruhnya di balik foto, lalu menutup dompet itu dengan hati-hati, seolah sedang menyimpan benda paling berharga di dunia.Malam semakin larut.Ardi menatap jendela yang berkabut, pantulan lampu kota menari di matanya.Ia menarik napas panjang, kemudian tertawa kecil tanpa suara.Lucu, pikirnya. Dulu aku menulis laporan ratusan lembar untuk perusahaan yang kumiliki, tapi tak satu pun membuatku merasa segelisah membaca satu kertas sederhana ini.Ia kembali membuka buku catatannya — halaman yang kini sudah hampir penuh.







