Kintan tak henti-henti menebar senyum pada tamu undangan yang hadir. Kilat cahaya kamera berulang kali menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata jernih itu menyapu satu per satu tamunya dan memperhatikan detail khusus untuk mengenali mereka."Halo, Tante Lina. Terima kasih sudah hadir," sapa Kintan pada wanita paruh baya yang mengenakan setelan putih. Penampilannya terlihat nyentrik karena menenteng tas merek ternama dengan motif kulit ular."Selamat, ya, Kintan. Tante enggak nyangka kamu bisa sesukses ini."Meski tersenyum, komentar wanita bernama Lina itu lebih terdengar sinis. Tangannya sibuk mengayunkan kipas lebar seolah-olah ruangan dengan AC itu masih terasa gerah.Kintan mengabaikan sikap dingin tantenya itu. Harinya terlalu baik untuk dirusak oleh hal sepele. Acara pembukaan cabang pertama Key and Cake itu bersamaan dengan restoran Rasa Nusantara milik Pak Wishnu, rekan sekaligus investor Kintan. Banyak tamu penting hadir dan itu bagus itu memperluas koneksi.Rest area tempat
"Maaf tidak bisa mengantar Mas Dejan. Hati-hati di jalan."Dejan tersenyum membaca pesan yang dikirim oleh Kintan. Dia bisa memahami, Kintan tidak mungkin mengantarnya ke bandara tanpa ada yang menemani. Dinda juga masih enggan menemuinya semenjak keributan di mall."Tidak apa-apa, Tan. Minta doanya saja semoga perjalanan saya lancar."Sebenarnya Dejan ingin menambahkan kalimat: supaya bisa segera pulang ke Indonesia. Akan tetapi, Dejan menghapus sebelum mengirim pesan balasan. Kintan cukup sensitif untuk hal semacam itu. Hatinya masih rapuh karena ulah Devan. Jika Dejan terlihat terang-terangan mendekatinya, gadis itu justru akan menghindar.Dejan terbang ke Belanda dengan membawa setumpuk permasalahan. Semenjak dirinya terlalu nyaman tinggal di Indonesia dan banyak membagi waktu untuk membersamai Kintan, urusan pekerjaan menjadi berantakan.Satu per satu masalah yang datang tidak segera dia selesaikan. Akibatnya, berbagai permasalahan itu menimbun serupa gunung es. Terlihat sepele d
Devan mendapat jatah libur dari kantor selama lima hari. Tadinya dia ingin bersantai saja dan tinggal di Jambi, tetapi Talita merengek ingin ditemani ke Jakarta. Dia sudah kangen dengan hiruk pikuk suasana metropolitan dan menyambangi pusat perbelanjaan.Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya ajakan Talita itu menarik juga. Devan bisa pulang mengunjungi orang tuanya dan berkoordinasi langsung dengan rekan kerja dari kantor pusat. Selain itu, dia juga penasaran dengan alasan orang tua Kintan marah-marah lewat telepon beberapa waktu sebelumnya.Kalau dipikir-pikir, Kintan sendiri juga tidak pernah menghubungi Devan semenjak dia pindah tugas. Jika akhirnya hubungan mereka kandas, kesalahan itu bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Devan.Maka hari itu, di suatu akhir pekan yang cerah, Devan dan Talita berangkat dengan penerbangan paling pagi pukul 06.45. Proyek mereka sementara ditangani oleh Penanggung Jawab Lapang yang sudah lebih dahulu ditugaskan di sana.Kintan. Nama itu seakan-ak
Sepeninggal Devan, Kintan hanya bisa terduduk lemas di lantai ruang kerja. Semuanya terlalu sulit untuk dicerna akal sehat. Tatapannya kosong. Air matanya sampai tidak bisa lagi menetes. Satu-satunya penanda bahwa dia masih sadar adalah kelopak matanya yang masih berkedip perlahan. Detak jam dinding seolah-olah mengantarkan ingatan Kintan akan kebersamaannya dengan Devan palsu. Ya, bagi Kintan semuanya palsu.Sikap Dejan pasti palsu. Perhatian Dejan juga palsu. Pun dengan rasa cinta yang sempat membuat jantung Kintan berdebar kencang. Itu juga palsu.Dalam bayangannya, dua lelaki kembar tersebut tengah mentertawakan kebodohannya. Mau marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa. Toh, muara semua kesalahpahaman itu sebenarnya dari kekurangannya yang tidak bisa membedakan wajah.Suara ketukan di pintu membuat Kintan akhirnya tersadar bahwa dirinya masih berada di ruang kerja. Ratri memanggilnya dari luar berulang kali. Kintan pun akhirnya menguatkan kedua lutut untuk berdiri dan mem
"Kasih jalan! Kasih jalan!" seru seorang lelaki yang membopong tubuh mungil Kintan. Kerumunan yang semula mengitari mereka lantas menepi untuk membiarkan orang itu lewat.Kintan dibawa ke bawah pohon yang teduh. Kakinya diluruskan dan badannya dikipasi. Seorang wanita berseragam minimarket menepuk pipinya berulang kali untuk memeriksa kesadaran Kintan."Permisi, Mas, Mbak ...." Dinda sampai di tempat itu dengan terengah-engah. Dia langsung berlutut di samping tubuh Kintan yang tergolek tak berdaya."Kintan! Sadar, Tan ... Ya Allah, kenapa jadi kayak gini, sih?" Embun menggelayut di ujung mata Dinda."Mas, ini teman saya. Kalau nggak keberatan, saya mau minta tolong bawa dia ke salon saya yang di ujung itu. Nanti biar saya panggilkan dokter untuk diperiksa," pinta Dinda dengan wajah cemas."Oh, boleh, Mbak. Syukurlah kalau Mbak ini temannya."Dinda dan wanita berseragam minimarket membopong tubuh Kintan bagian atas sedangkan kakinya dibopong lagi oleh lelaki itu. Sinar matahari yang te
Dejan mencengkeram ponselnya kuat-kuat setelah sambungan telepon terputus. Berita dari Dinda bagaikan petir di siang bolong.Entah apa yang harus dia perbuat untuk menebus kesalahan kepada Kintan. Ya, kesalahan. Meski awalnya Devan yang menyakiti hati Kintan dengan diam-diam menduakannya, Dejan juga punya andil karena menutupi kebohongan itu dengan kebohongan lain.Sebagai manusia yang punya hati, Dejan bisa merasakan sakitnya menjadi Kintan. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah calon suami selingkuh, kembaran suaminya malah mengaku-aku demi bisa mendekatinya.Pasca dihubungi Dinda, tak lama kemudian Devan juga menghubunginya. Dia dihadapkan pada dua pilihan: tidak mengangkat telepon itu, tetapi akan dicap sebagai pecundang atau mengangkat telepon dan menerima konsekuensi akan ditertawakan habis-habisan.Semuanya sudah kepalang tanggung. Nasi sudah menjadi bubur. Mengelak bukanlah sifat seorang ksatria. Dia harus berani menghadapi risiko dari semua perbuatannya
Welcome to IndonesiaTulisan di Bandara Soekarno-Hatta itu membuat wajah Malia berseri-seri. Meski telah melalui perjalanan panjang selama belasan jam, Malia masih sanggup berfoto-foto dan menggeret kopernya penuh semangat.Wajah Dejan masih seasam perasan jeruk nipis. Kalau saja tidak berhutang budi kepada Malia, sudah pasti dia akan mengusir gadis itu jauh-jauh.Mereka memesan taksi menuju sebuah hotel bintang empat di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Malia sempat menawarkan agar Dejan menumpang mandi dan berganti pakaian, tetapi langsung ditolak mentah-mentah. Tujuan Dejan hanya satu: segera kembali ke rumah untuk menemui Devan dan menyelesaikan semuanya."Ingat, Malia, jangan cari gara-gara! Aku mengizinkanmu ikut sebagai timbal balik atas bantuanmu," tegasnya sebelum meninggalkan hotel."Telingaku masih di sini, Dejan, tidak perlu kau ulangi berkali-kali!"Malia cemberut. Dia memang belum tau tujuan kepulangan Dejan yang sebenarnya, tetapi gelagatnya jelas terlihat marah sekali
"Emm, omong-omong, ke dokter apa kamu akan berobat? Maksudku, apakah cukup ke dokter umum atau perlu ke spesialis?" tanya Dejan saat turun dari mobil.Malia adalah warga negara asing sehingga Dejan perlu membantunya melakukan registrasi di lobi rumah sakit."Spesialis kandungan," jawab Malia tanpa ragu. Dejan terhenyak beberapa detik. Dokter spesialis kandungan? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Malia?"Kenapa wajahmu tegang begitu? Kamu pikir aku hamil?" terka Malia tanpa tedeng aling-aling."Ya, emm, tidak ... Maksudku, sedikit saja." Dejan mengacungkan jempol dan telunjuk yang hampir menyatu untuk menegaskan kata 'sedikit' itu. Malia terkekeh. Jawaban Dejan yang terbata-bata itu jelas menunjukkan bahwa dia grogi dan takut salah bicara."Bagaimana kalau nanti dokter bertanya siapa ayahnya? Haruskah kujawab bahwa itu kamu?" Malia semakin merasa di atas angin, ingin mengusilinya.Dejan memasang muka datar dengan lirikan setajam belati. "Kalau kau tidak sesakit itu dan masih bisa b